"Maafkan aku Lara. Aku telah lancang mengusik barang milikmu. Maafkan aku yang telah menghujam hinaan keji pada Ibumu. Sekali lagi maafkan aku."
      Ia menatap nanar bola mataku. Hawa negatif masih tersirat dari tatapan netranya. Aku menundukkan kepala. Kapalaku serasa layu tak berdaya berhadapan dengannya. Jantungku seperti ingin meledak, nafasku berat, nadiku berhenti berdetak, dan tubuhku bergetar begitu  dahsyat . Rasa bersalah semakin membuatku lemah di hadapannya. Aku tersungkur dalam lubang penyesalan atas lisannku sendiri. Tak dapat kubayangkan jika orang yang sudah kuanggap adik kandungku sendiri menbenciku.
      "Sudahlah Aprilia, lupakan. Kamu tidak salah. Kurasa yang kamu katakan siang tadi itu tidak salah. Mungkin Ibuku tak akan pernah kembali padaku." Katanya dengan bahasa isyarat. Respon itu sangat mengejutkanku.
      "Yakinlah Lara. Ibumu pasti akan kembali suatu saat nanti."
      Ia menghela napas berat. Tak menggerakkan isyarat tangan sedikitpun atas pernyataanku itu.
      "Lalu origami itu maksudnya apa?"
      "Oh, sebenarnya pusi-puisi dalam origmi itu ingin kujadikan surat-surat berisi curahan hatiku yang ingin aku kirim untuk Ibuku. Aku ingin Ibu membaca puisi dalam surat itu, aku ingin Ibu tahu bahwa aku sangat merindukannya, aku selalu menantinya. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengirimnya. Alamat Ibuku saja tidak jelas."
      "Ayo ikutlah denganku. Kita akan mengirim surat itu."
      Aku mengajaknya ke pantai yang tak jauh dari rumah. Kami mendekat ke bibir pantai. Ombak kecil membasuh kaki kami. Kutuntun langkah Lara menuju laut. Dan kuhentikan langkahnya tatkala air sudah setinggi lutut.
      "Kamu ingatkan orang jaman dulu mengirim surat botol yang dihanyutkan ke laut. Kita juga akan melalukannya. Bedanya surat ini di dalam toples, bukan botol. Ayo cepat hanyutkan surat-surat hujan itu."
      "Apa? Surat-surat hujan?"