"Aku akan masuk kalau hujan sudah berhenti." Jawabnya dengan bahasa isyarat tangan
***
Satu dekade kemudian. Ketika hujan melarutkan kesedihan..
      Gadis kecil itu kini telah tumbuh menjadi gadis manis nan anggun. Ia juga masih menanti Ibunya dalam naungan hujan. Menanti harapan palsu. Inikah tipuan kehidupan? Tipuan yang mengundang pilu. Mungkinkah ini noda derita semesta fana? Sungguh menyiksa.
      "Masuklah ke dalam rumah Lara! Jangan menyiksa dirimu sendiri. Ini sudah hampir tengah malam."  Perintahku.
      "Aprilia, aku akan tetap menunggu Ibuku. Sebentar lagi beliau pasti kembali." Jawabnya dengan menggunakan bahasa isyarat tangan.
      Pancaran raut wajahnya sungguh menyedihkan. Menanti dan terus menanti. Kuyup nan dingin menyusup tubuh tak ia hiraukan. Masuk angin bukan hal asing lagi baginya. Seperti biasa sebuah reseptor tertangkap oleh syaraf sensoriku lalu menghantarkannya ke pusat syarafku. Dari pusat syarafku memberi perintah melalui syaraf motorik ke efektor untuk memberikan payung kepadanya tatakala menanti di bawah hujan. Mengapa dunia begitu kejam kepadanya?
      Ketika aku memberikan payung kepadanya, ia jatuh terkulai tak berdaya. Ia pingsan. Kupanggil Ayahku untuk memindahkannya ke dalam rumah. Batinku menjerit miris saat melihat tubuh lemah itu. Betapa sunyi hatinya disesaki rindu tak bermuara. Sedih, pilu, galau, gelisah menjadi dimensi kelam jiwanya.
      Satu jam lebih Lara belum sadar. Di dalam kamarnya kututupi tubuhnya dengan selimut tebal. Pandangan mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah toples kaca berisi puluhan origami berbentuk burung. Di samping toples kaca itu juga ada origami dari Ibunya. Rasa penasaran menyeruak dalam otakku. Kubuka tutup toplesnya dan kulihat ada tulisan di lipatan origami itu. Kubaca deretan kalimat yang kurasa lebih mirip seperti puisi.
      Biarlah derai hujan sebagai saksi bisu
      Biarlah rintihan kilatnya meraung