Mohon tunggu...
Cerpen

Surat-surat Hujan

27 Desember 2017   20:40 Diperbarui: 27 Desember 2017   20:45 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh, aku tak sampai hati menyaksikan pecahnya tangisan anak tuna rungu  sepuluh tahun itu ketika berpisah dengan Ibunya. Sang ibu memeluk erat tubuh mungil anaknya. Lalu ia mengeluarkan sebuah origami berbentuk burung dari saku bajunya. Dengan ketulusan hati ia memberikan origami itu kepada anaknya. Dari pancaran netranya aku dapat menangkap naluri keibuan yang begitu besar pada jiwanya.

            "Lara, origami ini yang akan menggantikan ibu untuk menemanimu. Ibu berjanji tahun depan akan menjemputmu saat hujan mengguyur semesta seperti sekarang ini." 

            Dengan bahasa isyarat tangannya ia mengatakan sesuatu sebagai respon ucapan manis ibunya.

            "Saat hujan nanti aku akan menunggu ibu. Aku pasti merindukan ibu."

            "Ibu juga akan selalu merindukanmu, baiklah Ibu akan pergi sekarang juga. Sampai bertemu lagi sayang, jadilah anak yang baik ."

            Sebelum berlalu sang ibu lantas mengecup kening Lara dengan hangat. Tangis Lara pun semakin deras ketika punggung bidadari hatinya semakin menjauh. Aku hanya bisa mematung kaku melihat peristiwa pahit itu. Andai saja ia tahu bahwa janji Ibunya itu adalah dusta. Aku mendengar dari mulut orang tuaku bahwa Lara sengaja dibuang oleh Ibunya. Hal itu dilakukannya lantaran  tak tega melihat  anaknya mendapat cibiran pedas orang-orang. 

Segala macam hinaan keji dan caci maki telah ia telan mentah-mentah. Tak sedikit yang mengatakan bahwa kebisuan Lara itu adalah sebuah hukum karma akibat perbuatan yang dilakukan oleh sang Ibu. 

Memang bukan kehendaknya dilahirkan dari rahim seorang pelacur. Bahkan  Ayahnya saja tak jelas siapa orangnya. Namun ia tak pernah memendam benci atas keaadan itu. Demi kebahagiaan putrinya, Ibu Lara memelas kepada orang tuaku agar mau mengadopsi Lara.

Musim hujan telah datang. Batinku miris melihatnya terpekur dibawah ganasnya hujan. Korneanya memandang lekat setiap orang yang melintas di jalan. Menanti asa yang tak mungkin datang. Bagiku itu hanya mengundang kesedihan untuknya. Kucoba menghampirinya dan kupasangkan payung diatas kepalanya agar tak kena terpaan hujan. 

Bau tanah basah karena hujan meraba syaraf penciuman hidungku. Irama kilatan petir menggelitik gendang telingaku. Dinginnya tamparan angin dan percikan hujan menusuk-nusuk epidermis kulitku hingga membuatku menggigil disampingnya. Orang tuaku juga berusaha membujuknya agar mau masuk ke dalam rumah. Namun, ia tetap bergeming. Kami pun menyerah akan keputusannya.  

            "Masuklah ke dalam rumah Lara. Nanti kamu bisa sakit kalau kena hujan terus."

            "Aku akan masuk kalau hujan sudah berhenti." Jawabnya dengan bahasa isyarat tangan

***

Satu dekade kemudian. Ketika hujan melarutkan kesedihan..

            Gadis kecil itu kini telah tumbuh menjadi gadis manis nan anggun. Ia juga masih menanti Ibunya dalam naungan hujan. Menanti harapan palsu. Inikah tipuan kehidupan? Tipuan yang mengundang pilu. Mungkinkah ini noda derita semesta fana? Sungguh menyiksa.

            "Masuklah ke dalam rumah Lara! Jangan menyiksa dirimu sendiri. Ini sudah hampir tengah malam."  Perintahku.

            "Aprilia, aku akan tetap menunggu Ibuku. Sebentar lagi beliau pasti kembali." Jawabnya dengan menggunakan bahasa isyarat tangan.

            Pancaran raut wajahnya sungguh menyedihkan. Menanti dan terus menanti. Kuyup nan dingin menyusup tubuh tak ia hiraukan. Masuk angin bukan hal asing lagi baginya. Seperti biasa sebuah reseptor tertangkap oleh syaraf sensoriku lalu menghantarkannya ke pusat syarafku. Dari pusat syarafku memberi perintah melalui syaraf motorik ke efektor untuk memberikan payung kepadanya tatakala menanti di bawah hujan. Mengapa dunia begitu kejam kepadanya?

            Ketika aku memberikan payung kepadanya, ia jatuh terkulai tak berdaya. Ia pingsan. Kupanggil Ayahku untuk memindahkannya ke dalam rumah. Batinku menjerit miris saat melihat tubuh lemah itu. Betapa sunyi hatinya disesaki rindu tak bermuara. Sedih, pilu, galau, gelisah menjadi dimensi kelam jiwanya.

            Satu jam lebih Lara belum sadar. Di dalam kamarnya kututupi tubuhnya dengan selimut tebal. Pandangan mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah toples kaca berisi puluhan origami berbentuk burung. Di samping toples kaca itu juga ada origami dari Ibunya. Rasa penasaran menyeruak dalam otakku. Kubuka tutup toplesnya dan kulihat ada tulisan di lipatan origami itu. Kubaca deretan kalimat yang kurasa lebih mirip seperti puisi.

            Biarlah derai hujan sebagai saksi bisu

            Biarlah rintihan kilatnya meraung

            Sekalipun tak sanggup kudengar

            Agar sapuannya membebaskan pasung rindu

            Menggelitik ragaku yang enggan letih

            Agar dia tahu labuhan tiada daratan

            Terombang-ambing lautan sunyi tak berujung

            Menembus tangga langit rapuh

            Menerobos jembatan tebing luka

            Membentang asa untuk jiwa semu dirimu

            Yang kuharap menjadi nyata walau sekejap berkedip

            Sel neuron otakku berpikir keras memahami baris-baris kalimat itu. Apa maknanya? Ini sangat sulit kupahami. Kubuka lipatan lainnya. Kulihat tulisan berbeda dari sebelumnya. Dan masih menggunakan konotasi yang membuatku semakin pusing menemukan maknanya.

Bila rintik hujan memecah senyap

Biarkan helaiannya membentang kasih

Menutup dimensi lubang rindu

Jika ini takdir, mengapa jawabannya masih bisu?

Tak bolehkah kutapaki jejak mimpimu

Pelukan hangat jiwamu menggenggam hati

Mengalirkan arus lembut hujan dalam nadi

Adakah kau rasakan? Risau hujan ini

Siksaan rindu yang kau hempaskan

Sungguh menyiksa batinku

Menebar hambar kehidupan semestaku

Aku ingin membuka lagi lipatan yang lain, namun aku melihat tubuhkan bergerak. Ia mulai sadarkan diri. Aku segera memasukkan kembali origaminya dan menutup toplesnya. Tak lama kemudian kelopak matanya terbuka. Beruntung ia tak memergokiku membaca puisi dalam lipatan origaminya.

***

Kubentangkan tubuhku diatas kasur nan empuk. Rasa lelah menguasai ragaku. Lelah karena memikirkan gadis bisu itu. Dalam pikiranku masih menyimpan tanda tanya besar tentang maksud puisi itu. Andai aku sastrawan pasti aku mahir mencerna diksi-diksi itu. Otakku benar-benar buntu. Aku berpikir dan terus berpikir. Segala khalayan menyeruak dalam imajinasiku. Aku merasa seperti pecandu ganja yang kehabisan stok. Mungkin pening ini sudah mencapai stadium empat.

Kucoba menenangkan pikiranku. Kuhela nafas panjang-panjang. Kupenjamkan mataku beberapa menit. Kubiarkan arus darahku mengalir dengan tenang agar dapat menyampaikan oksigen dengan maksimal ke otakku yang pening. Setelah merasa lebih baik, kubuka kembali kelopak mataku. Dan setelah mencari jalan pencerahan, aku menemukan sedikit petunnjuk. Dari kata 'hujan' dan 'rindu' mungki seseorang yang dia maksud dalam puisi itu adalah Ibunya. Aku yakin itu.

Siang ini Lara pergi bersama Ibuku. Inilah kesempatan emas untuk membaca puisi lain di origaminya. Dengan rasa bersalah yang menggunung aku menyelinap masuk ke dalam kamarnya. Beruntung pintu kamarnya tak terkunci. Aku membuka tutup toples dan lipatan origami. Maafkan aku Lara, telah membaca puisi ini tanpa seizinmu.

Dan hujan yang menyapuh duka

Alunan dentingnya pelan menyeringai

Itu katamu bukan?

Namun adakah kau rasa? Itu tak benar bagiku.

Alunan nada denting hujan tak berirama

Ucapmu tak pernah menyeringai dalam telingaku

Namun menyeringai dalam hatiku

Salahkah bila kulayangkan murka segunung duka

Tentang lisan ambigu yang abstrak

Tiada ujung tiada arah pasti

Hanya sebersit asa hujan yang kau tanamkan

Semangatku semakin terpacu untuk membaca sampai habis. Baru kali pertama ini aku tahu ungkapan hatinya dibalik kebisuannya. Seseorang yang tak pernah mendengar sebuah kata. Mustahil sekali dapat merangkai kata-kata seelok ini. Benar-benar sulit dipercaya. Itulah keajaiban Tuhan. Tak ada yang mustahil jika Tuhan sudah berkehendak. Lagi pula Lara itu gadis jenius. Dulu waktu ia masih bersekolah di SLB ia pernah dinobatkan menjadi siswa teladan.

Dan tetes hujan menyusupkan sepisau duri

Beribu harap kau gantung di punggung rapuhku

Sampai kapan kau hantamkan petir nyanyian hujan?

Pada jeruji rindu, pada belenggu asa

Menyeruak hujan menatap mendung benakku

Jerit kata yang terikat erat oleh hujan

Luruh bersama nyawa sang hujan

Apakah kau juga merasakan sesaknya jiwaku?

Sesak tiada berisi, hanya memori

Tentang dirimu yang mencengkeram alam pikiranku

Tentang memori hujan yang kau hembuskan

Sayang, permadani hujan  tak berujung

Yang kubisa, hanya menantimu bidadariku

Aku semakin yakin orang yang dimaksudnya dalam puisi ini adalah Ibunya. Ya, aku sangat-sangat yakin. Lara, sebesar inikah kerinduanmu pada seseorang yang meninggalkanmu?

Kala euforia hujan bersenandung

Kudapati rinainya berkelana dalam poros

Poros rotasi lingkaran sunyi

Inikah tipuan euforia dalam kesunyian?

Kudaki tikungan kerikil hujan

Yang dingin sedingin hatiku

Menerobos kabut putih tirai hujan

Adakah dirimu di dalam kabut itu

Haruskah kusibak helaian hujan untuk kuresapi sosokmu?

Dan biarlah hujan bercengkrama bersamaku

Menemani hatiku yang mulai roboh terkikis luka

Agar kau tahu keruhnya raga ini dalam penantian

Agar kau tahu hentakan rindu ini melumpuhkan pikiranku

Ketika tinggal satu puisi yang kubaca, namun Lara memergokiku. Ia memasang muka merah berkobar kepadaku. Tatapan matanya setajam tatapan mata elang. Dengan tangkas ia merebut origami di tanganku. Kini aku hanya bisa mematung. Lidahku serasa kaku. Untuk berpindah tempat pun rasanya sulit sekali.  Rasanya tubuhku telah membatu. " Plaakkkk..." Ia memberi hadiah tamparan untuk pipi kananku.

"Lara, Ibumu itu penipu, ia tak akan pernah kembali. Asal kamu tahu, kamu sengaja dibuang oleh Ibumu agar tak ada lagi yang mencibirmu. Janji Ibumu itu hanya lisan dusta."

Dari gerak bibirku ia tahu arti kalimatku. Kalimat yang tak ingin ia ketahui. Bendungan air matanya pecah. "Plaakkk..." ia melayangkan tamparan untuk kedua kalinya. Segera aku enyah dari hadapannya.  Rasa bersalah menggerogoti pikiranku. Tetapi aku juga tak tahan bila harus menyimpan rahasia pahit ini. Kini kepalaku serasa pening berlipat-lipat dari sebelumnya. Rasa sakit tamparan ini menjalar ke seluruh sel-sel pipiku. Baru kali ini pipiku merah karena tamparan seseorang yang tersulut emosi tingkat tinggi. Sungguh sakit.

***

Aku bersandar di dekat jendela kamarku. Merenungkan kejadian siang tadi. Sampai saat ini masih sering kupegangi pipi kananku. Sakitnya tak hanya menjalar di seluruh sel-sel pipiku, tetapi sudah menjalar ke seluruh sudut batinku. Aku ingin membalas amarahnya, tetapi itu hanya akan membuat perseteruan kami semakin memanas.

Saat aku luruh dalam renungan, ibuku menghampiriku. Raut wajahnya datar tak berkesan. Aku melempar sedetik pandangan untuknya. Aku tahu Ibu pasti akan menyemburkan makian kepadaku tentang masalahku dengan Lara. Ibu berdiri di sampingku. Ia tak menampakkan senyum manis khasnya. Wajah datarnya semakin membuatku tak ingin memandangnya. Kutunggu makian itu. Dan setelah sekian menit tak kunjung keluar dari mulutnya. Aku pun akhirnya meluncurkan sebuah kalimat untuk mengawali dialog dengannya. Meski aku tahu hanya semburan amarah yang akan diucapkannya.

"Apa Ibu menyalahkan aku?"

"Ibu tak dapat menjawabnya nak. Yang jelas kasih sayang Lara kepada Ibunya tak akan pernah musnah. Tak ada yang dapat menghalanginya. Tak ada yang dapat menghentikan penantiannya."

Ternyata aku salah. Ibu tak sedikit pun marah kepadaku.

"Tapi aku sudah muak dengan kebohongan ini Bu. Jika kita terus menyimpan rahasia ini, kita sama-sama munafiknya."

"Pergilah ke kamar Lara. Minta maaflah kepadanya. Cairkan suasana tegang diantara kalian."

Aku berpikir sebentar hingga aku menuruti perintah Ibu. Kumasuki kamar Lara dengan kedua tangan menyelimuti kedua pipi. Aku khawatir jikalau ia menamparku lagi. Kucoba mendekatinya. Kucoba melontarkan kata maaf kepadanya.

"Maafkan aku Lara. Aku telah lancang mengusik barang milikmu. Maafkan aku yang telah menghujam hinaan keji pada Ibumu. Sekali lagi maafkan aku."

            Ia menatap nanar bola mataku. Hawa negatif masih tersirat dari tatapan netranya. Aku menundukkan kepala. Kapalaku serasa layu tak berdaya berhadapan dengannya. Jantungku seperti ingin meledak, nafasku berat, nadiku berhenti berdetak, dan tubuhku bergetar begitu  dahsyat . Rasa bersalah semakin membuatku lemah di hadapannya. Aku tersungkur dalam lubang penyesalan atas lisannku sendiri. Tak dapat kubayangkan jika orang yang sudah kuanggap adik kandungku sendiri menbenciku.

            "Sudahlah Aprilia, lupakan. Kamu tidak salah. Kurasa yang kamu katakan siang tadi itu tidak salah. Mungkin Ibuku tak akan pernah kembali padaku." Katanya dengan bahasa isyarat. Respon itu sangat mengejutkanku.

            "Yakinlah Lara. Ibumu pasti akan kembali suatu saat nanti."

            Ia menghela napas berat. Tak menggerakkan isyarat tangan sedikitpun atas pernyataanku itu.

            "Lalu origami itu maksudnya apa?"

            "Oh, sebenarnya pusi-puisi dalam origmi itu ingin kujadikan surat-surat berisi curahan hatiku yang ingin aku kirim untuk Ibuku. Aku ingin Ibu membaca puisi dalam surat itu, aku ingin Ibu tahu bahwa aku sangat merindukannya, aku selalu menantinya. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengirimnya. Alamat Ibuku saja tidak jelas."

            "Ayo ikutlah denganku. Kita akan mengirim surat itu."

            Aku mengajaknya ke pantai yang tak jauh dari rumah. Kami mendekat ke bibir pantai. Ombak kecil membasuh kaki kami. Kutuntun langkah Lara menuju laut. Dan kuhentikan langkahnya tatkala air sudah setinggi lutut.

            "Kamu ingatkan orang jaman dulu mengirim surat botol yang dihanyutkan ke laut. Kita juga akan melalukannya. Bedanya surat ini di dalam toples, bukan botol. Ayo cepat hanyutkan surat-surat hujan itu."

            "Apa? Surat-surat hujan?"

            "Ya. Aku menyebutnya surat-surat hujan, karena selalu hujan yang kau cantumkan dalam surat itu. "

            Surat-surat hujan itu kini telah hanyut bersama langkah ombak. Sang mentari turun dari tangga kerajaan langit kembali ke haribaannya. Helaian hujan pun mengguyur sekujur kulit tubuh kami. Senja ini begitu indah. Di bawah naungan hujan Lara melengkungkan senyum. Senyum sebagai pertanda awal baru lembaran hidupnya. Meski asa untuk bertemu lagi dengan Ibunya masih ada. Tuhan, kumohon sampaikan surat-surat itu kepada Ibunya. Pertemukanlah mereka untuk sekali lagi.

Cerpen ini ditulis tahun 2011 saat penulis masih duduk di bangku SMA. Pada tahun 2013 Cerpen ini menghantarkan penulis menjadi pemenang karya terbaik pada Lomba Cerpen Se-Universitas Negeri Malang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun