Sakti mengacungkan jempol.
“Tapi gimana kalau kita udah nemu yang cocok, tapi bertepuk sebelah tangan?” tanya gue lagi.
“Cinta ditolak, dukun bertindak!” teriak Sakti histeris. Alih-alih melotot karena kini banyak pengunjung berlalu-lalang memandangi kami, kami justru tertawa keras-keras.
Laela merengkuh bahu gue dan berkata,”Kamu kan belum jadi perawan tua, nggak usah khawatir deh, Ren. Santai aja, lagi. Atau kalau udah pengen banget, jadian aja sama Dimas!”
“Hah! Enak aja!” Gue dan Dimas menyergah bersamaan. Oh, plis deh. Gue ingin punya cowok yang ceriwis, bukan yang nggak hobi ngomong dan hobi ngemut permen kayak Dimas.
*
Perbincangan malam itu membekas di hati gue, tapi entah kenapa rasanya gue belum puas. Malah membuat gue jadi semakin ingin tahu kenapa sampai sekarang gue yang imut ini masih menjomblo. Oleh karena itu, gue memutuskan berkonsultasi dengan mbak Lisa, sepupu gue yang gaul dan modis abis.
“Kamu tahu nggak, apa kesalahan yang kamu perbuat selama ini?”
Gue menggeleng.
“Dilihat dari penampilan kamu, kamu itu.. urakan banget!”
Bola mata gue hampir meloncat dari tempatnya. Gue.. urakan? Oke, penampilan gue emang (agak) norak dan sebagainya, tapi itu karena gue menganut paham kebebasan. Tapi rasanya gue rapi kok. Ehm, kayaknya sih.