“Ya udah, besok kita ke sini lagi. Cepet sehat ya Nyil! Bikin susah aja,” Sakti meleletkan lidah.
“Rese!” Hanya itu yang gue ucapkan. Sebenarnya gue terharu sih. Ya, gue memang melankolis abis.
Laela dan mbak Lisa butuh waktu lebih lama untuk pamitan. Setelah mereka benar-benar pergi, perawat tadi menyuruh gue untuk beristirahat dan meminum obat yang dia berikan. Gue memandangi sebatang mawar kuning yang terletak di atas meja sebelah gue. Ini pasti dari mbak Lisa.
Triririri. Ponsel gue bunyi. Oh iya, apa kabar itu ponsel? Ternyata di dalamnya banyak sekali pesan yang terpampang dan belum gue baca. Sebentar, ternyata Papa nelepon gue.
“Halo, Pa...”
“Halo, Rena? Ya ampun sayang, maaf ya Papa baru nelepon sekarang. Maklum, jadwal Papa padat banget di London. Kamu apa kabar? Kamu sakit apa, Rena? Tifus? Duh, besok-besok hati-hati ya kalau makan, dan jaga kebersihan...”
Gue tambah terharu mendengar suara bokap gue. Ya, karena.. gue nggak akan pernah mendengar suara Nyokap gue lagi untuk selamanya. “Iya Pa, Rena gak apa-apa.. Papa tahu dari mana Rena sakit?”
“Dari Dimas. Dia yang ngenterin kamu semalam, kan?”
Oh iya, Dimas. Kemana bocah satu itu? Dari tadi nggak kelihatan.
“Dimas cemas banget saat nelepon Papa. Belum pernah Papa mendengar suaranya secemas itu. Papa jadi ikutan cemas. Tapi untunglah, dia bisa bertindak cepat...”
Gue menahan napas.