“Coba lihat koleksi bajumu. Nggak ada yang manis! Nggak ada yang satu setel juga. Semuanya misah. Dan coba lihat, warnanya gelap semua!” Mbak Lisa membentangkan isi lemari baju gue yang baru saja ia inspeksi sambil menggelengkan kepalanya. Gue terkekeh. Iya juga ya.
“Yah.. itu kan...”
Mbak Lisa geleng-geleng kepala. “Kamu tahu nggak sih, logat bicaramu aja tuh yang agak keren. Tapi penampilannya enggak!”
Gue tersedak. Sebelum tangan gue mendarat untuk menggebuk mbak Lisa, terlebih dahulu gue berikan pendapat gue. “Oke, mbak. Karena mbak sudah berjasa memberikan komentar yang menyakitkan, maka mbak harus memberi solusi yang setimpal..”
Mbak Lisa tertawa. “Nah, coba kamu nurutin nasihatku dari dulu. Ayo ikut!”
*
Gue nggak tahu kemana gue akan diseret sama mbak Lisa. Tiba-tiba gue sudah duduk manis di dalam mobilnya, dan kita sampai di sebuah toko pakaian yang cukup terkenal di kota ini. Gue mengikuti mbak Lisa yang melangkahkan kakinya ke sana.
“Kamu ini kan perempuan. Jangan yang gitu-gitu aja dong gayanya. Sekali-sekali pakai yang gaya ini,” mbak Lisa meraih blus berwarna kuning lembut dan menyerahkannya pada gue. Ia lalu memilih beberapa pasang busana yang pas untuk gue, dan membayarnya di kasir dengan sebuah kartu ajaib berwarna biru. Gue nggak berani membayangkan berapa rupiah yang disedot dari kartu itu untuk baju-baju ini.
“Sekarang make-over,” mbak Lisa menggamit lengan gue dan kami berjalan menuju salon. Gantian gue yang pucat. Rambut gue! Mau diapain?
“Tenang aja, nggak diapa-apain kok. Creambath dan dirapiin ya mbak,” mbak Lisa memberi pesan pada mbak-mbak salon yang berdiri di belakang gue. Ia lalu berjalan pergi.
“Mbak! Mau ke mana?” teriak gue panik. Aduh, kok gue malu-maluin sih. Teriak-teriak kayak tarzan.