Saat anak-anak sekolah bertemu, lalu menemukan kesamaan dengan beberapa anak lain, secara tidak sadar mereka akan sering berkumpul dan mencari nama untuk menggambarkan ikatan persahabatan mereka. Mereka menyebutnya dengan istilah geng. Gengtor; nama untuk geng bermotor yang menyukai motor dan terobsesi dengan motor. Gengdut; penyuka musik dangdut. Atau yang bernama agak keren, seperti geng Cheezy; kumpulan penyuka keju yang gaul atau Wingardium Levi-ousa; penggemar Harry Potter. Mereka yang bertemankan bayangan biasanya tidak bergeng.
Saat SMP dan SMA, rasanya hal itu tidak salah dan semacam lucu untuk dikenang. Tetapi saat kuliah, rasanya tabu untuk menyebutnya geng. Pertama, itu menunjukkan kekakuan dalam bergaul, dan kedua, itu bukan tindakan manusia yang hampir beranjak dewasa. Meskipun pada kenyataannya mahasiswa juga membentuk lingkaran persahabatan karena persamaan minat atau nasib, namanya pun berganti. Bukan geng, namun perkumpulan, komunitas, atau klub. Yang anggotanya bisa keluar masuk dan tentu tidak sekaku geng.
Mungkin ini jugalah yang gue alami. Gue tiba-tiba menemukan diri gue bertemankan dengan tiga makhluk menyedihkan yang saling melengkapi hidup gue selama menimba ilmu di perguruan tinggi ini. Ada Sakti, anak Fisika teladan yang lebih sering jalan-jalan daripada kuliah. Lalu Laela, anak Hukum yang santai dan super kocak. Ditambah gue dan Dimas, yang satu SMA dan kini satu jurusan lagi di universitas. Entah bagaimana awalnya kami bisa bertemu, lalu menemukan nasib yang sama sebagai sesama jomblo.
Jomblo. Persamaan yang mengenaskan. Perkumpulan yang sama sekali nggak keren.
“Kita mau sampai kapan sih kayak gini terus?” tanya gue suatu kali saat kami berkumpul di tengah lapangan Simpang Lima. “Udah semester tujuh nih.”
“Kenapa tiba-tiba ngomongin itu, Ren?” tanya Dimas. “Aku happy-happy aja tuh.”
“Gue juga sih, tapi..,” gue mengalihkan pandangan pada anak perempuan yang bermain sepatu roda dengan riang. “Rasanya ada yang aneh kalau sampai setua ini belum menggandeng pasangan juga...”
“Kalau kita sih gampang. Tinggal milih!” celetuk Sakti sambil menyendok wedang ronde. Ia lalu tos dengan Dimas. “Tapi menurut aku, Ren, itu bergantung sama kita juga.”
“Maksudnya?”
“Ya kalau kamu memaknai cinta dengan mudah, pacaran saja dengan semua orang. Putus, cari lagi. Tapi ada juga orang yang berhati-hati memilih cinta. Kalau bisa ya, satu untuk selamanya.”
Gue mengangguk. “Maksud elo, kita masih jomblo karena kita adalah tipe yang kedua?”
Sakti mengacungkan jempol.
“Tapi gimana kalau kita udah nemu yang cocok, tapi bertepuk sebelah tangan?” tanya gue lagi.
“Cinta ditolak, dukun bertindak!” teriak Sakti histeris. Alih-alih melotot karena kini banyak pengunjung berlalu-lalang memandangi kami, kami justru tertawa keras-keras.
Laela merengkuh bahu gue dan berkata,”Kamu kan belum jadi perawan tua, nggak usah khawatir deh, Ren. Santai aja, lagi. Atau kalau udah pengen banget, jadian aja sama Dimas!”
“Hah! Enak aja!” Gue dan Dimas menyergah bersamaan. Oh, plis deh. Gue ingin punya cowok yang ceriwis, bukan yang nggak hobi ngomong dan hobi ngemut permen kayak Dimas.
*
Perbincangan malam itu membekas di hati gue, tapi entah kenapa rasanya gue belum puas. Malah membuat gue jadi semakin ingin tahu kenapa sampai sekarang gue yang imut ini masih menjomblo. Oleh karena itu, gue memutuskan berkonsultasi dengan mbak Lisa, sepupu gue yang gaul dan modis abis.
“Kamu tahu nggak, apa kesalahan yang kamu perbuat selama ini?”
Gue menggeleng.
“Dilihat dari penampilan kamu, kamu itu.. urakan banget!”
Bola mata gue hampir meloncat dari tempatnya. Gue.. urakan? Oke, penampilan gue emang (agak) norak dan sebagainya, tapi itu karena gue menganut paham kebebasan. Tapi rasanya gue rapi kok. Ehm, kayaknya sih.
“Coba lihat koleksi bajumu. Nggak ada yang manis! Nggak ada yang satu setel juga. Semuanya misah. Dan coba lihat, warnanya gelap semua!” Mbak Lisa membentangkan isi lemari baju gue yang baru saja ia inspeksi sambil menggelengkan kepalanya. Gue terkekeh. Iya juga ya.
“Yah.. itu kan...”
Mbak Lisa geleng-geleng kepala. “Kamu tahu nggak sih, logat bicaramu aja tuh yang agak keren. Tapi penampilannya enggak!”
Gue tersedak. Sebelum tangan gue mendarat untuk menggebuk mbak Lisa, terlebih dahulu gue berikan pendapat gue. “Oke, mbak. Karena mbak sudah berjasa memberikan komentar yang menyakitkan, maka mbak harus memberi solusi yang setimpal..”
Mbak Lisa tertawa. “Nah, coba kamu nurutin nasihatku dari dulu. Ayo ikut!”
*
Gue nggak tahu kemana gue akan diseret sama mbak Lisa. Tiba-tiba gue sudah duduk manis di dalam mobilnya, dan kita sampai di sebuah toko pakaian yang cukup terkenal di kota ini. Gue mengikuti mbak Lisa yang melangkahkan kakinya ke sana.
“Kamu ini kan perempuan. Jangan yang gitu-gitu aja dong gayanya. Sekali-sekali pakai yang gaya ini,” mbak Lisa meraih blus berwarna kuning lembut dan menyerahkannya pada gue. Ia lalu memilih beberapa pasang busana yang pas untuk gue, dan membayarnya di kasir dengan sebuah kartu ajaib berwarna biru. Gue nggak berani membayangkan berapa rupiah yang disedot dari kartu itu untuk baju-baju ini.
“Sekarang make-over,” mbak Lisa menggamit lengan gue dan kami berjalan menuju salon. Gantian gue yang pucat. Rambut gue! Mau diapain?
“Tenang aja, nggak diapa-apain kok. Creambath dan dirapiin ya mbak,” mbak Lisa memberi pesan pada mbak-mbak salon yang berdiri di belakang gue. Ia lalu berjalan pergi.
“Mbak! Mau ke mana?” teriak gue panik. Aduh, kok gue malu-maluin sih. Teriak-teriak kayak tarzan.
“Ke toko sebelah, sebentar aja,” jawab mbak Lisa.
Gue pasrah rambut gue entah diapa-apain sama mbak-mbak di belakang gue. Setelah semua selesai, gue berdoa semoga mbak Lisa nggak ngajak gue ke tempat yang aneh-aneh lagi.
“Gimana? Seru kan?” tanya mbak Lisa begitu kami masuk ke dalam mobil. Ia lalu menghidupkan kemudi. Sementara gue menerawang, masih belum tahu dimana letak keseruannya.
“Coba lihat wajah kamu. Sudah lebih segar sekarang. Mbak tahu kamu kaget, tapi lama-lama pasti biasa. Sebenarnya sebagai perempuan, kamu, ehm. Kita, memang sudah seharusnya merawat diri... Itu artinya, kita menghargai apa yang diberikan Tuhan,” ucap mbak Lisa. Gue mengangguk.
Ah, rupanya itu kesalahan gue... Mungkin karena gue terlalu cuek, gue masih jomblo sampai sekarang. Siapa tahu saat gue lebih memperhatikan diri gue sendiri, gue gak akan jomblo lagi....
Hahaha. Semoga aja.
*
“Kita bertiga doang?” Gue mengedarkan pandangan sekeliling. Mata gue yang agak kabur, atau gimana. Soalnya Sakti nggak keliatan. “Mana si nyablak?”
Laela mengambil sepotong kentang goreng dan memasukkannya ke dalam mulut. “Dia udah gak bisa ikut kita nongkrong tiap malam minggu. Udah punya acara sendiri!”
Gue melotot. “Maksudnya, dia gak jomblo lagi?”
Dimas mengangguk. Ia lalu membuka bungkusan lolipop dan menggantungkannya ke dalam mulut. “Iya. Sama Vivi. Teman sejurusannya itu lho. Yang lucu, imut, dan ngegemesin.”
Hah! Gue terperanjat. Ternyata Sakti sukanya sama cewek kayak gitu. Tapi, kenapa tiba-tiba?
“Sebenernya sih udah lama. Tapi baru ngomongnya sekarang,” Dimas memuaskan informasi yang ingin gue ketahui.
“Dasar pengkhianat!” tiba-tiba gue nyeplos. Dengan segera Laela dan Dimas menatap gue tajam. Gue memalingkan muka. Aduh, gue ngomong apaan sih. Entar dikira gue cemburu, lagi.
“Yaelah, Ren. Ada masanya juga kali kita gak bakalan sendiri lagi,” hibur Laela.
“Eh, kamu potong rambut ya? Tambah keren deh,” pujinya mengalihkan pembicaraan. Gue mengangguk. Setengah melamun. Pertama, gue akan merasa kehilangan Sakti karena cowok rese itu ternyata menjadi teman gue yang baik. Kedua, gue takut ditinggalin. Siapa tau setelah ini Laela dan Dimas tiba-tiba dapat pasangan juga, dan tinggal gue sendirian aja. Ketiga, gue kadang-kadang benci situasi kayak gini karena takut kita gak akan pernah kumpul lagi. Ngobrolin kisah mengenang masa-masa kejombloan.
“Hai, Lae!”
Kami bertiga yang sedang khusyuk terdiam segera menoleh. Eh, siapa tuh? Ada cowok imut yang melintas. Eh, bukan melintas. Dia menghampiri kami.
Tanpa gue sadari, sepertinya Laela menjadi sedikit pucat. Gue meraba kening gue sendiri. Hangat. Ya ampun, apa gue berhalusinasi? Berita Sakti jadian membuat gue sakit? Apa memang sebelumnya gue nggak enak badan?
“Ehm, dia ini... Leo. Pp..pp... temen deketku,” Laela menatapku khawatir. Ternyata cowok itu memang beneran ada dan beneran menghampiri kami. “Dia mau ikutan kita nongkrong, nggak papa kan?”
Gue mengangguk. Tapi gue merasa lemas banget. Tiba-tiba Dimas menggenggam tangan gue dan berkata,”Maaf, kayaknya Rena lagi sakit deh. Kami pulang duluan, ya?”
Laela dan Leo mengangguk. Laela lalu berkata,”Aku juga...”
Dimas menggeleng. “Nggak, kamu di sini aja. Nanti aku kabari kamu lagi. Yuk, Leo. Maaf ya harus duluan.”
“Ya. Nanti kami jenguk Rena,” jawab Leo kalem. Sementara gue udah nggak bisa berpikir.
Gue memang sakit.
*
Bangun-bangun, gue membuka mata melihat sekeliling. Ini kayaknya bukan kamar kos gue deh. Terlalu datar. Dan..lho, ada selang di sebelah gue. Gue di mana sih?
“Kamu sudah bangun!” Suara yang pertama kali gue denger adalah teriakan cempreng mbak Lisa. “Ya ampun, Ren, kok kamu bisa sih kena tifus? Pasti gaya hidup kamu nggak sehat, iya kan! Udah dibilangin, tinggal sama aku aja, pasti...”
Sebenarnya gue ingin segera mengisolasi mulut mbak Lisa yang cerewet banget. Tapi melihat Laela dan Sakti yang tiba-tiba menghambur dari luar, gue merasa terharu seketika. Ternyata mereka ada di sini!
“Eh Nyil, kamu kenapa sih? Baru ditinggal nongkrong sekali langsung sakit,” Sakti menaruh buah-buahan di sampingku.
“Ren, kamu nggak apa-apa, kan?” Laela memelukku. “Aku khawatir banget gara-gara malam itu... kamu sebegitu shocknya sampai sakit tifus gini...!!!”
“Iya, lo semua udah ninggalin gue sendirian jadi jomblo. Tega lo....!!” Gue tertawa renyah. Gue menggeleng. O em ji, kayaknya bukan gitu deh skenarionya.
“Sepertinya mbak Rena sudah agak lama merasakan gejalanya. Tapi baru malam tadi kondisinya memburuk,” sahut perawat yang datang tiba-tiba. “Mohon maaf mbak, mas, jam besuknya sudah habis. Mbak Rena perlu istirahat.”
“Ya udah, besok kita ke sini lagi. Cepet sehat ya Nyil! Bikin susah aja,” Sakti meleletkan lidah.
“Rese!” Hanya itu yang gue ucapkan. Sebenarnya gue terharu sih. Ya, gue memang melankolis abis.
Laela dan mbak Lisa butuh waktu lebih lama untuk pamitan. Setelah mereka benar-benar pergi, perawat tadi menyuruh gue untuk beristirahat dan meminum obat yang dia berikan. Gue memandangi sebatang mawar kuning yang terletak di atas meja sebelah gue. Ini pasti dari mbak Lisa.
Triririri. Ponsel gue bunyi. Oh iya, apa kabar itu ponsel? Ternyata di dalamnya banyak sekali pesan yang terpampang dan belum gue baca. Sebentar, ternyata Papa nelepon gue.
“Halo, Pa...”
“Halo, Rena? Ya ampun sayang, maaf ya Papa baru nelepon sekarang. Maklum, jadwal Papa padat banget di London. Kamu apa kabar? Kamu sakit apa, Rena? Tifus? Duh, besok-besok hati-hati ya kalau makan, dan jaga kebersihan...”
Gue tambah terharu mendengar suara bokap gue. Ya, karena.. gue nggak akan pernah mendengar suara Nyokap gue lagi untuk selamanya. “Iya Pa, Rena gak apa-apa.. Papa tahu dari mana Rena sakit?”
“Dari Dimas. Dia yang ngenterin kamu semalam, kan?”
Oh iya, Dimas. Kemana bocah satu itu? Dari tadi nggak kelihatan.
“Dimas cemas banget saat nelepon Papa. Belum pernah Papa mendengar suaranya secemas itu. Papa jadi ikutan cemas. Tapi untunglah, dia bisa bertindak cepat...”
Gue menahan napas.
“Sementara ini, Papa berterima kasih sekali sama Dimas. Papa sudah minta dia menjaga kamu di sana. Oh iya, gimana, kamu sudah nerima dia, kan?”
“Maksud Papa?”
Gue mengernyitkan alis. Nerima dia? Emang kapan dia nembak gue? Mana mungkin Dimas suka sama gue! Jangan-jangan gue masih berhalusinasi lagi.
“Dimas pernah nelepon Papa sebelum ini?” tanya gue memastikan.
“Sering, Rena. Video-call juga pernah. Dia juga mengirim biodatanya pada Papa, malah. Apa Dimas belum cerita? Dari awal, dia sudah suka sama kamu, Rena. Sejak SMA. Sampai sekarang. Dan dua minggu lalu, dia melamar kamu lewat Papa. Papa bilang sih, itu bergantung keputusanmu. Tapi Papa sendiri sudah setuju. Eh, Papa kira dia sudah ngomong sama kamu. Belum, ya?”
Gue shock. Ya ampun, sejak kapan? Kenapa Dimas nggak pernah bilang sama gue? Kenapa gue justru tahu dari Papa, dan kenapa justru saat gue sakit?
“Ng.. nggak mungkin, Pa. Rena dan Dimas sekadar teman aja. Dia nggak mungkin suka sama Rena!” Gue berusaha menyangkal. Otak gue terlalu berat untuk menerima kenyataan bahwa... apa, Dimas melamar gue?
Terdengar helaan napas di seberang. “Kamu pikir, dia betah menjomblo karena nunggu siapa? Nunggu kamu, nak!”
Gue melongo. Ya ampun, kenapa bisa...? Gue sendiri nggak pernah menyangka...tindak tanduk Dimas selama ini untuk gue?
Perlahan gue nggak mengucapkan apa-apa. Padahal ini sambungan ke luar negeri lho. Masak sih Dimas nelepon Papa? Memang dia punya banyak pulsa?
Oh, tidak. Justru bukankah itu tanda keseriusannya pada gue?
Mata gue perlahan berkaca-kaca. Terutama saat melihat Dimas berdiri mematung di pintu kamar gue. Tapi itu seperti bukan Dimas. Dia.. terlalu rapi.. Eh, rambutnya dipotong juga? Rambut gondrongnya kini berganti menjadi potongan yang biasa. Yang agak memahasiswa. Gaya acak-acakannya masih ada.
“Kamu sudah sadar?” tanyanya lembut. Ia lalu meletakkan kantong plastik yang dibawanya dan meletakkannya di atas meja. Dimas lalu duduk si sebelah gue.
“Rambut lo.. kenapa?” Gue menunjuk kepalanya.
“Oh iya. Kan kamu belum siuman sejak kemarin. Jadi aku curi waktu untuk memperbaiki penampilan,” Dimas mengacak-acak rambutnya. “Masa kamu melihatku dalam keadaan hancur begini..”
Gue memandangi ponsel. Masih menyala. Lalu mendekatkannya ke telinga.
“Halo, Rena? Dimas ada di sana, ya?”
Gue mematikan ponsel sepihak. Dimas menatap gue tidak mengerti.
“Apa elo.. pernah ngobrol sama bokap gue?”
Dimas mengangguk.
“Apa yang bokap gue bilang... bener?” Apa elo melamar gue, Dit? Tapi, kok bisa??
Dimas mengangguk lagi. “Iya... tapi, aku yang belum siap ngomong sama kamu. Tapi percayalah, aku tulus. Dan kalau kamu menolakku untuk mencari yang lebih baik, tidak apa-apa. Aku akan menunggu sampai kamu mau denganku.”
“Dan kalau gue gak bakalan mau?” tanya gue menguji. “Sampai kapan elo mau menunggu gue?”
“Yang aku percaya, setiap usaha ada hasilnya,” jawabnya santai. “Dan apapun jawabanmu, aku tetap akan bersilaturrahmi denganmu dan om Satria sampai kapanpun kok.”
Gue berkaca-kaca. Ya ampun, gue memang bodoh. Kenapa gue sibuk mempertanyakan status kejombloan gue.. kalau ternyata selama ini ada yang mencintai gue? Dan ternyata, temen gue sendiri! Gue kemana aja selama ini?
Dan dia...
Dia....
Dia rela menjomblo bertahun-tahun karena nungguin gue? Jadi selama ini sebenarnya dia juga menjaga gue?
Gue jadi ingat masa silam gue. Masa-masa SMA, lulus bareng... dan mulai dekat banget sejak kuliah. Kalau gue butuh bantuan, gue bilang ke Dimas. Kalau gue lagi sedih, gue menghubungi Dimas. Gue lagi marah, dia juga kena amukan gue. Gue lagi seneng, dia yang pertama kali gue kabari. Eh, sebenarnya, Dimas memang nggak pernah kemana-mana dari gue sih. Gue nyaman sama dia, tapi gue sama sekali gak kepikiran buat mengarah ke hal lain di luar itu...
“Terima kasih,” gue berkaca-kaca. “Gue.. eh...gue butuh waktu untuk mencerna ini semua, Mas...”
Dimas mengangguk dan tersenyum. “Iya, aku tahu. Aku nggak kemana-mana kok, Ren. Aku menunggu jawabanmu disampaikan oleh langit.”
Gue tertegun saat Dimas bangkit dan memeluk gue. Rasanya begitu hangat. Dan menentramkan.
Gue terdiam. Gue nggak butuh apa-apa lagi. Gue nggak akan mempertanyakan soal status gue lagi. Karena gue tahu, ada Dimas. Dan gue berdoa, semoga ... ini akan berlangsung selamanya.
*
Kisah ini adalah memoarku di masa lalu. Ah ya, aku sudah berhenti memakai sapaan lo-gue yang lama kugunakan karena aku besar di Jakarta. Dimas yang menyarankan itu.
“Kesannya individualis sekali,” begitu katanya.
Dan bagaimana selanjutnya? Aku, Laela, dan Sakti lulus bersama-sama. Dimas mengkhianati kami dengan cara lulus lebih cepat. Ternyata banyak yang tidak kuketahui darinya. Dia berhasil menjadi lulusan terbaik satu angkatan. Dan di hari kelulusannya, kami bertunangan. Aku sendiri belum tahu kapan perasaanku berubah untuknya. Tiba-tiba di mataku, dia berubah menjadi pria dewasa yang .. yah, sesuai untukku.
Setelah itu, dia langsung mengambil gelar master sambil bekerja di sebuah perusahaan. Dimas bukan orang yang gampang menyerah. Dia menolak jabatan yang diberikan Papanya dan memulai dari bawah. Aku juga baru tahu ternyata Dimas anak petinggi sebuah perusahaan. Tiga tahun kemudian, kami menikah.
Dan lihatlah, laki-laki kecil itu menjadi saksi pernikahan kami. Setiap kubaca lagi catatan itu, aku merasa malu. Tetapi sudahlah, itu kan masa lalu.
Semoga mulai saat itu dan selamanya, Dimas selalu ada di sampingku.
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H