"Jian***!" umpat Ghulam . Ia meloncat menghindari benda yang jatuh di dekat kakinya.
"Ndas Kluntung!" teriak Dipa
Mereka lari menuju ke arahku yang berdiri di ujung jembatan. Mereka menabrakku. Aku terpelanting. Nyaris terjatuh ke dalam sungai. Â Kepalaku terbentur. Ketika bangun aku tak bisa melihat apa-apa. Mana kacamataku?
"Lari, Dar!"
Kudengar teriakan Ghulam. Tanganku masih meraba-raba mencari kacamata. Mana mungkin aku yang minus tujuh belas ini berlari tanpa kacamata. Â Samar-samar kulihat ada bola bersinar di depanku. Ketika kuraih sinarnya padam. Sial! Itu ada lagi menggelinding dekat di kakiku. Hampir bisa kupegang. Aku perlu sinarnya untuk mencari kacamataku. Namun lagi-lagi bola itu padam.
 "Nandar!"
Itu suara Dipa. Ketika aku menoleh sebuah bola jatuh mengarah tepat di dadaku. Kupegang sambil mataku memicing melihat ke arah lantai. Â Alhamdulillah ketemu kacamataku.
"Dar, lari!"
Sebuah bola menggelinding dekat kakiku. Bukan bola. Seperti kepala manusia. Tanpa badan. Ada matanya. Melotot. Ada mulutnya. Menyeringai. Â Keluar lidahnya. Panjang. Baunya.
"Nandar!"
Lari! Lari! Lari Nandar!