"Ke ... na ... pa?" tanyaku terbata. Mataku nanar melihat nasi , mie goreng dan tempe penyet yang tercecer di lantai. Ibuku harus bangun pagi-pagi untuk membuatnya dan sekarang tersia-sia seperti  itu.
"Kamu 'kan yang menulis , hantu itu tidak selalu jahat. Ada hantu yang baik, contohnya penunggu sungai. Cih! Baik apanya? Gak ada demit yang baik. Jahat. Jahat semuanya!" cecarnya. Ia duduk lalu meremas kepalanya.
Aku jadi heran, tak mengerti.  Aku memang sering menulis cerpen horor di mading. Tapi apakah bapaknya Ghulam ikut membaca? Kalau pun benar , amazing juga. Berarti  betul  setiap tulisan akan menemukan pembacanya.
"Kamu harus ikut kami, menemui Mbah Jabat. Aku akan meminta agar Mbah jahanam itu melepaskan Pak Gathan," jelas Dipa, teman sejurusan namun beda kelas.
Itu asal muasal kami bertiga ada di sini.
"Hoop! Hoop!"
Terdengar suara Dipa memecah lamunanku. Karena berhenti mandadak badanku menabrak punggung Ghulam, sedangkan Ghulam menabrak  punggung Dipa.  Sepertinya lucu.  Tetapi kami tak berani tertawa. Suara berisik bisa memancing keluarnya hantu di sekitar sini.
"Bapakmu ditemukan di sana?" tanya Dipa sambil mengarahkan sorot senternya.
Ghulam mengangguk.
Sesuai perintah Dipa, kami berjalan menuju jembatan kecil tempat pintu air  berada. Dipa akan mengadakan ritual di sana. Aku menarik napas lega melihat ada lampu disana. Gelap membuatku sesak bernapas.
Kami duduk bersila. Dipa menyalakan rokoknya. Ghulam mengeluarkan segala peralatan yang telah dibawanya dari rumah. Ternyata banyak sekali, pantas saja tas yang dibawanya kelihatan sesak.