Kali Swereg di malam hari. Gelap. Aku bahkan tidak bisa melihat telapak tanganku sendiri. Tak ada bedanya membuka ataupun menutup mata. Kedua tanganku berpegangan pada pundak Ghulam. Beberapa  kali ujung  sepatuku  mengenai kakinya.Kurasa ia tak berani mengaduh karena sudah dipesan oleh Dipa yang berada di paling depan agar tidak berbicara sepatah kata pun sampai di tempat tujuan.
Kami bertiga sedang menyusuri tepian Kali Swereg. Sungai yang membentang di ujung selatan kota Malang . Sungai ini tidak sepanjang Sungai Brantas, tak pula selebar Sungai Metro, hanya sempalan dari Sungai Buring namun siapa yang menyangka jika sungai setenang ini bisa menenggelamkan kano dan menewaskan sebagian penumpangnya.
Siapa pula yang menyangka kali Swereg bisa juga membalikkan nasib ayahnya Ghulam. Pak Gathan namanya, preman yang paling ditakuti di kampung sini. Orang-orang bisa gemetar mendengar namanya. Apalagi yang sampai didatangi rumahnya, bisa terkencing-kencing di celana. Itu dulu, sebelum  ia menghilang lalu ditemukan di tepian Kali Swereg dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Sebulan yang lalu, lelaki seumuran ayahku itu pergi memancing di sini. Biasanya ia berangkat siang lalu pulang  menjelang magrib. Namun hari itu ia tidak pulang. Seminggu  kemudian ia ditemukan di bawah jembatan Kali Swereg. Lelaki yang mempunyai tato tengkorak di dada sebelah kiri itu seperti pingsan , sebagian tubuhnya terendam air dan seluruh tubuhnya basah seperti baru diangkat dari dalam air lalu didudukkan di tepi sungai.
Ada  yang menduga ia terpeleset dari tempatnya mancing, tetapi tidak ada jejak yang menjadi buktinya. Ada pula yang menduga bila lelaki itu kambuh penyakitnya  lalu mencebur masuk ke dalam sungai. Tetapi keluarganya tidak ada yang mengaku jika ia mempunyai penyakit ayan.
Keluaganya sudah membawanya berobat, tak kurang pula orang pintar yang sudah didatangkan, tetapi Pak Gathan masih tidak bisa bicara. Satu-satunya ucapan yang keluar dari bibirnya hanya "Ampun Mbah Jabat". Ia juga tidak berani membuka mata. Ia ketakutan setengah mati sampai berteriak histeris ketika dipaksa melek.
Ghulam  mempercayai pendapat orang pintar yang mengatakan bahwa biang keroknya adalah si penunggu sungai, Mbah Jabat.  Kemungkinan pertama, Pak Gathan telah mengganggu komunitas di sana sehingga Mbah Jabat murka lalu menghukumnya. Kedua, Mbah Jabat sedang  repot karena sedang mempunyai 'gawe' sehingga memerlukan bantuan dari Pak Gathan.
Apapun kemungkinannya, Ghulam marah. Hidupnya menjadi jungkir balik setelah ayahnya sakit. Sepeda motornya nyaris ditarik dealer karena menunggak pembayaran. Lelaki yang gemar memamerkan bisepnya itu tak bisa lagi bergaya 'bossy' karena tak bisa lagi mentraktir teman-temannya. Jenis makanan dan jajanannya sudah turun kasta berakibat ukuran celananya turun dua nomor.Â
Ia yang mengajakku ke sini, padahal sumpah aku tidak bisa melihat hantu. Aku tidak mempunyai indera keenam, Â Berbeda dengan Dipa yang mengaku sebagai indigo karena hobinya kesurupan.
"Kamu yang harus bertanggungjawab!" seru Ghulam sambil menarik lengan, memaksaku berdiri.
Aku yang sedang  menghabiskan bekal makan siang di kelas tentu saja terkejut. Bekal yang masih separuh terjatuh di lantai. Kacamataku terangkat sampai di dahi.  Sejenak kemudian kusadari banyak mata memandang ke arah kami, padahal tadi aku sendirian di dalam kelas.
"Ke ... na ... pa?" tanyaku terbata. Mataku nanar melihat nasi , mie goreng dan tempe penyet yang tercecer di lantai. Ibuku harus bangun pagi-pagi untuk membuatnya dan sekarang tersia-sia seperti  itu.
"Kamu 'kan yang menulis , hantu itu tidak selalu jahat. Ada hantu yang baik, contohnya penunggu sungai. Cih! Baik apanya? Gak ada demit yang baik. Jahat. Jahat semuanya!" cecarnya. Ia duduk lalu meremas kepalanya.
Aku jadi heran, tak mengerti.  Aku memang sering menulis cerpen horor di mading. Tapi apakah bapaknya Ghulam ikut membaca? Kalau pun benar , amazing juga. Berarti  betul  setiap tulisan akan menemukan pembacanya.
"Kamu harus ikut kami, menemui Mbah Jabat. Aku akan meminta agar Mbah jahanam itu melepaskan Pak Gathan," jelas Dipa, teman sejurusan namun beda kelas.
Itu asal muasal kami bertiga ada di sini.
"Hoop! Hoop!"
Terdengar suara Dipa memecah lamunanku. Karena berhenti mandadak badanku menabrak punggung Ghulam, sedangkan Ghulam menabrak  punggung Dipa.  Sepertinya lucu.  Tetapi kami tak berani tertawa. Suara berisik bisa memancing keluarnya hantu di sekitar sini.
"Bapakmu ditemukan di sana?" tanya Dipa sambil mengarahkan sorot senternya.
Ghulam mengangguk.
Sesuai perintah Dipa, kami berjalan menuju jembatan kecil tempat pintu air  berada. Dipa akan mengadakan ritual di sana. Aku menarik napas lega melihat ada lampu disana. Gelap membuatku sesak bernapas.
Kami duduk bersila. Dipa menyalakan rokoknya. Ghulam mengeluarkan segala peralatan yang telah dibawanya dari rumah. Ternyata banyak sekali, pantas saja tas yang dibawanya kelihatan sesak.
Ada buku Yasin, garam, merica, daun sirih, rokok klobot, aneka kembang seperti mawar, melati, kantil  dan sedap malam.  Ada juga gelas air mineral yang berisi kopi, teh dan air. Dipa menata barang-barang tersebut di depan kami duduk. Aku memegang senternya, sedangkan Ghulam ikutan merokok.
"Banyak penghuninya disini," kata Dipa lirih. Ia sudah mulai melakukan ritual.
Duh, bulu kuduk  yang sedari tadi meremang sekarang menjadi merinding. Hawa dingin tiba-tiba terasa seperti mengitari tubuh.
"Di depan sana ada pocong yang sedang memperhatikan kita," kata Dipa sambil merem.
Ghulam menghisap rokoknya dalam-dalam. Aku gelisah, seperti ada yang merayapi kakiku.
 Â
"Di belakang Nandar ada  Mbak Kunti."
Eh, sakti juga si Dipa. Ia bisa melihat tanpa menoleh. Aku tidak jadi mundur untuk menghindari serangan semut.
"Kayaknya si Mbak itu naksir kamu Dar." Ghulam ikut berkomentar.
Apa-apaan? Aku mendengkus. Kesal. Mana ada hantu naksir lelaki kurus, kerempeng pakai kacamata pula.
"Mbaknya pengin kenalan Dar. Kayaknya ia pengin minta tolong kamu untuk menuliskan kisah cintanya yang kandas." Â Ghulam mulai tertawa.
"Kalau soal itu gampang. Dipa, tolong tanyakan kepadanya, wani piro?" Â kataku.
Ghulam tertawa  keras, sampai  diingatkan Dipa. Kami berkonsentrasi lagi. Aku mulai bisa beradaptasi dengan hawa-hawa dingin. Tampaknya aura di sini mulai mengakrabkan diri. Sementara Dipa masih meneruskan celotehan tentang penampakan yang hanya bisa dilihatnya sendiri. Rupanya ia hanya bisa melihat hantu-hantu mainstream semisal pocong, kuntilanak, genderuwo, sundel bolong  dan wewe gombel.
"Kamu tidak bisa memanggil  Mbah Jabat?" tanya Ghulam. Tampaknya ia mulai tidak sabar. Hampir satu  jam di sini belum juga sosok yang ditunggunya menampakkan diri.
Dipa menggeleng. Ia menyulut rokok ketiganya. "Tidak ada energi yang lebih besar lagi di sini," bisiknya. Mungkin ia juga mulai lelah.
"Katanya Mbah Surip, Mbah Jabat yang paling berkuasa di sini," jelas Ghulam.
"Apa Mbah Surip menjelaskan ciri-cirinya?" tanya Dipa.
"Tanyalah kepada Nandar, dia kan pernah nulis hantu penunggu sungai." Ghulam mulai kesal.
"Pake jubah putih, berjenggot sampai di kaki, rambutnya juga putih dan ada mahkota di kepalanya," jawabku. Ngawur  saja sebenarnya. Aku 'kan tidak bisa melihat hantu.
Dipa mengangguk. Ia merem lagi. Mungkin sedang memusatkan konsentrasi atau ... mengantuk?
"Bacakan  Yasin saja," usul Ghulam.
"Dia lebih fasih membacanya daripada kamu," tolak Dipa.
Ghulam mendengkus. Ia memang selalu kabur saat pelajaran baca tulis Al Qur'an.
"Dar, dulu sewaktu masih hidup, dia jadi apa?" tanya Ghulam kepadaku.
"Tentara. Pejuang!" jawabku asal.
Ghulam melompat dari duduknya. "Bagaimana kalau kita menyanyikan lagu Gugur Bunga? Â Dia 'kan bekas pejuang, pasti kenal dengan lagu ini."
Semprul! Aku menahan tawa. Begitu pun Dipa. Tapi apa salahnya mencoba. Aku ingin hal ini cepat berakhir.
"Pelan-pelan saja, ya," pesan Dipa.
Kami berdiri lalu mulai menyanyi.
Betapa hatiku takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri
Siapakah kini plipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Guur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti
Â
 Selesai menyanyi kami menunggu lagi. Kali ini Ghulam bersandar di sisi jembatan. Aku mundur ke belakang yang tadi kata Dipa ditempati Mbak Kunti. Hanya Dipa yang tetap bersila sambil melek merem.
Tiba-tiba terdengar  seperti suara  benda jatuh. Tidak hanya satu. Serempak kami mendongak.
"Jian***!" umpat Ghulam . Ia meloncat menghindari benda yang jatuh di dekat kakinya.
"Ndas Kluntung!" teriak Dipa
Mereka lari menuju ke arahku yang berdiri di ujung jembatan. Mereka menabrakku. Aku terpelanting. Nyaris terjatuh ke dalam sungai. Â Kepalaku terbentur. Ketika bangun aku tak bisa melihat apa-apa. Mana kacamataku?
"Lari, Dar!"
Kudengar teriakan Ghulam. Tanganku masih meraba-raba mencari kacamata. Mana mungkin aku yang minus tujuh belas ini berlari tanpa kacamata. Â Samar-samar kulihat ada bola bersinar di depanku. Ketika kuraih sinarnya padam. Sial! Itu ada lagi menggelinding dekat di kakiku. Hampir bisa kupegang. Aku perlu sinarnya untuk mencari kacamataku. Namun lagi-lagi bola itu padam.
 "Nandar!"
Itu suara Dipa. Ketika aku menoleh sebuah bola jatuh mengarah tepat di dadaku. Kupegang sambil mataku memicing melihat ke arah lantai. Â Alhamdulillah ketemu kacamataku.
"Dar, lari!"
Sebuah bola menggelinding dekat kakiku. Bukan bola. Seperti kepala manusia. Tanpa badan. Ada matanya. Melotot. Ada mulutnya. Menyeringai. Â Keluar lidahnya. Panjang. Baunya.
"Nandar!"
Lari! Lari! Lari Nandar!
Ghulam dan Dipa menangkapku. Kami ada di tepi jalan raya sekarang. Suara napas kami seperti deru motor. Baju kami basah oleh keringat. Tubuh kami gemetar. Kami saling menatap. Tidak masalah barang-barang juga sandal yang tertinggal. Kami pulang tanpa bicara. Tanpa suara.
Ternyata bertemu hantu itu layaknya mencari jodoh, kadang kita upayakan setengah mati untuk mencari ternyata hasilnya nihil. Malahan kalau tidak niat mencari, sosok itu mak njegagik  hadir di pelupuk mata. Seperti  kalian yang sedang membaca tulisan ini. Cobalah  tengok ke belakang .
..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI