"Kalau soal itu gampang. Dipa, tolong tanyakan kepadanya, wani piro?" Â kataku.
Ghulam tertawa  keras, sampai  diingatkan Dipa. Kami berkonsentrasi lagi. Aku mulai bisa beradaptasi dengan hawa-hawa dingin. Tampaknya aura di sini mulai mengakrabkan diri. Sementara Dipa masih meneruskan celotehan tentang penampakan yang hanya bisa dilihatnya sendiri. Rupanya ia hanya bisa melihat hantu-hantu mainstream semisal pocong, kuntilanak, genderuwo, sundel bolong  dan wewe gombel.
"Kamu tidak bisa memanggil  Mbah Jabat?" tanya Ghulam. Tampaknya ia mulai tidak sabar. Hampir satu  jam di sini belum juga sosok yang ditunggunya menampakkan diri.
Dipa menggeleng. Ia menyulut rokok ketiganya. "Tidak ada energi yang lebih besar lagi di sini," bisiknya. Mungkin ia juga mulai lelah.
"Katanya Mbah Surip, Mbah Jabat yang paling berkuasa di sini," jelas Ghulam.
"Apa Mbah Surip menjelaskan ciri-cirinya?" tanya Dipa.
"Tanyalah kepada Nandar, dia kan pernah nulis hantu penunggu sungai." Ghulam mulai kesal.
"Pake jubah putih, berjenggot sampai di kaki, rambutnya juga putih dan ada mahkota di kepalanya," jawabku. Ngawur  saja sebenarnya. Aku 'kan tidak bisa melihat hantu.
Dipa mengangguk. Ia merem lagi. Mungkin sedang memusatkan konsentrasi atau ... mengantuk?
"Bacakan  Yasin saja," usul Ghulam.
"Dia lebih fasih membacanya daripada kamu," tolak Dipa.