Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Eksoskeleton #1

9 September 2018   00:17 Diperbarui: 18 September 2018   00:31 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita pendek ini merupakan fragmen pertama dari omnibus Tenggelam di Langit (2017) yang pernah saya garap dengan pseudonim Tan Panama. Pernah tayang di blog Monolog Tan Panama, namun saya putuskan untuk menghapus dan memindahkannya kemari. Setiap fragmennya akan saya tayangkan secara berkala di Kompasiana. Selamat menikmati!

***

Fragmen 1. Eksoskeleton


(Semesta dalam perspektif Makhluk Pertama)

Malam semakin tua dan membosankan. Tidak banyak pilihan hidangan, selain dingin mencekam dan tanah lembab menghampar. Ditambah, taburan gerimis yang turun perlahan di bawah lampu jalan. 

Magis godaan alam sepertinya telah usang. Renta dan hampa. Semua orang berlalu-lalang, bergegas tanpa menaruh perhatian. Mereka hanya sibuk berkejaran dengan bayang-bayang. 

Tapi, tunggu, lihat ke utara. Ternyata tidak semua orang kelimpungan tanpa perasaan. Seorang gadis duduk mengulum senyum di pojok taman. Dia memerhatikan setiap rintik yang menitik dengan binar yang mengagumkan. Mungkin baginya, gerimis itu menarik. 

Benarkah? Karena bagiku, matanya lah yang cantik. 

Coba kita lihat, apa yang tersimpan di sana hingga terlihat begitu memesona?

Cinta? Iya, tentu saja ada. Meringkuk manis di sudut kanan. Segaris dengan bintang polaris. Dibalutnya dengan rindu teramat pekat. Mengikat, nyaris mencekat. Lamat-lamat, menghimpun waktu untuk tertambat. 

Benar saja, aku sulit bergerak.

Merasakan lumpuh menjalari seluruh tubuh, hanyut oleh pesona yang memancar teduh. Menciptakan suasana nyaman, laiknya aroma teh yang baru diseduh. 

Ketika angin terembus ragu, penasaran tak henti mengggangu. Gerisik daun, katak, dan derap hujan, sempurna menjadi lagu. Aku gemetar. Tidak, bukan karena kedinginan. Tapi karena sekilat gurat seketika berkelebat. Luka. Baru tiba di sana. Gerimis beringsut pindah ke matanya.

Tidak, jangan menangis! 

Ah, terlambat. Dia membuat langit semakin luruh saja. 

Kupalingkan pandangan ke seberang jalan. Tak tega melihatnya tampak merana. Lagipula, jarak kami yang hanya dua hasta, tak memberiku kuasa untuk menawarinya pundak atau sekadar sapa. 

Nanti lagi saja aku nikmati kilau matanya. Itupun jika dia belum beranjak kemana-mana. 

"Sedang apa, Kevin? Aku bosan. Apa ada tontonan menarik?"

Suara serak Ketang terdengar dari belakang. Seperti sebelum-sebelumnya dan sebelumnya lagi, sahabatku ini tidak pernah rela melihatku sendirian. Mungkin memang itu gunanya teman, tapi terkadang aku juga butuh kesunyian. 

"Tidak ada. Hanya hujan, orang-orang berlarian, lampu jalan, dan ... kamu lihat saja sendiri," jawabku tanpa menoleh. Menatap lurus tanpa fokus. 

"Bagiku itu semua menarik," ujar Ketang lugas. 

"Apanya yang menarik?"

"Mereka semua. Err ... maksudku, orang-orang kota. Mereka tidak seperti penghuni kampung halamanku dulu," jawab Ketang, bernada menyesal. Tatapannya nanar, tertunduk menatap trotoar.

Aku berpikir sejenak. Ketang tidak seperti aku yang lahir, hidup, dan mungkin mati pun di taman kota. Ia menamatkan masa kecilnya di sebuah desa dengan perkebunan mencapai cakrawala. 

Ketang dan seluruh keluarganya hidup untuk berkhidmat di kebun tomat. Menghabiskan waktu dalam rutinitas tak berkesudahan. Dimanjakan alam dengan makanan berkelimpahan. 

Bagi mereka, hidup begitu mudah diprediksi, hingga takdir memberikan sedikit friksi. Pada suatu sore kelabu -tidak jingga seperti biasanya- Ketang tengah mencari makan untuk ibunya yang sakit. Hingga, suatu insiden membuatnya terjebak dalam mobil bak berisi lobak. Dapat ditebak, ia terbawa hingga ke kota. 

"Apakah soal penampilan? Aku pernah dengar tentang orang-orang desa yang menutup kepala dengan anyaman bambu," tanyaku.

"Bukan hanya itu. Tidakkah kau merasa orang-orang di sini sangat rentan dan sering ketakutan?" 

Aku tergelak. 

"Kenapa kau malah tertawa?" Intonasi Ketang terdengar sedikit tersinggung. 

"Kamu ingat ketika Kemi sakit beberapa hari lalu? Dia trauma karena ada laki-laki besar mengganggunya. Lalu, apa kamu lupa berapa banyak teman kita ditangkap dan dibawa pergi? Makhluk seberingas itu, mana mungkin merasa takut," tuturku cepat. 

Terbayang adegan getir saat adikku, Kesya disergap saat bersembunyi di balik semak. 

Ketang tertegun, menghela napas. "Kurasa mereka hanya lupa, bahwa kita juga bernyawa," ia berkata lirih. 

Aku mendengus. "Itu pikiran bodoh." 

"Kesombongan dapat menyelubungi akal dan ... benar katamu. Itu membuat mereka bodoh. Tapi, aku tetap merasakan kerapuhan, juga ketakutan mereka," Ketang berkata-kata tenang, memancarkan hawa bijaksana. Sejenak, aku terpesona.  

"Baiklah Ketang Sang Guru, jelaskan padaku. Apa yang membuat makhluk sekejam itu merasa takut dan ... rapuh? Ah, tidak mungkin. Manusia kota begitu kuat." 

Aku tersendat di akhir kalimat. Teringat luka yang hinggap dalam tatapan Sang Pemilik Mata Cantik. Aku melirik ke utara, memastikan dia masih di sana. 

Mungkin, Ketang ada benarnya. Gadis itu juga satu di antara orang-orang kota. Tapi, lihat, luka menjajah binar matanya hingga rapuh dan tanpa daya.

Apa semua orang kota sesendu itu saat sendirian menatap hujan? Kata ibuku, hujan mampu membawa cinta, rindu, dan luka bersamaan. Merebak portal, masuk ke dunia perasaan. 

"Kevin, perhatikan pria berkemeja biru di seberang jalan," seru Ketang tidak sabar. Sepertinya ia geram karena aku tampak kehilangan minat terhadap ucapannya. 

Ayolah Ketang, jelaskan dengan singkat dan padat saja, agar aku bisa membenamkan diri dalam kubangan mata cantik itu lagi. Dengan enggan, aku mencari pria yang Ketang maksud. 

"Apakah pria itu tampak rapuh dan ketakutan? Bagiku ia tampak sangat percaya diri," kataku skeptis.


"Perhatikan yang ia lakukan."

Agar pembicaraan ini cepat selesai, aku menurut. Pria itu baru saja keluar dari sebuah rumah, lalu masuk ke mobil, dan menghilang di ujung jalan. Tidak ada yang aneh. 

"Lalu perhatikan perempuan berbaju hitam itu," Ketang memberi komando lanjutan, merujuk ke arah halte. 

Perempuan itu baru saja turun dari bis kota. Setengah berlari, menghampiri dua perempuan lain, berbincang sebentar, kemudian masuk ke sebuah restoran. Di sana, mereka berbincang sembari menyantap hidangan. Itu juga tidak aneh.

"Sudah tahu apa persamaannya?" tanya Ketang. 

"Mereka melakukan sesuatu yang sama-sama wajar." 

Ketang mencibir. "Kau memang tidak peka. Lihat satu lagi, wanita yang menggandeng anak," ujar Ketang gusar. 

Arah jam dua, terlihat seorang perempuan menggandeng anak laki-laki, keluar dari toko berhias bunga-bunga aneh mengitari bayi. Menjinjing empat atau lima kantong plastik dengan tangan kiri. Mencegat angkutan umum, kerepotan masuk, lalu hilang di ujung jalan seperti pria berkemeja biru. 

Tanpa komando, aku merekam kehadiran sebuah mobil dari arah berlawanan, parkir di pelataran toko yang sama. Sepasang, laki-laki dan perempuan muda keluar dari mobil, kemudian masuk ke toko itu sambil tertawa bahagia. 

Aku terpana. Bukan karena rona wajah mereka yang memerah seperti baru menikah. Bukan itu. Selintas, kurasa aku menangkap maksud Ketang. Hanya saja, aku tidak yakin tebakanku benar. 

"Nah, kau sudah mengerti kan?" tanya Ketang gembira melihat sirat kesadaran tersemat pada bahasa tubuhku. Tapi, aku menggeleng.

"Aku tidak yakin," jawabku datar.

Ketang mendengus kecewa. "Mereka melakukan hal yang sama, Kevin. Manusia-manusia kota itu. Mereka keluar dari mobil, masuk ke rumah. Keluar dari rumah, masuk ke mobil. Mereka keluar, masuk, keluar, dan masuk lagi." 

Aku nyengir. Penjelasan itu terdengar rancu, tapi sepertinya aku paham arah racauan sahabatku ini. 

"Dari tingkah laku mereka, Kau ingat sesuatu?" tanya Ketang lagi. 

"Cang ... kang," aku menjawab ragu. Hampir terdengar seperti pertanyaan. Melirik gerombolan bekicot yang mengerumuni cocor bebek di pinggir kolam. 

"Tepat sekali. Cangkang. Eksoskeleton. Mereka membuat banyak rangka luar sebagai perlindungan. Sama seperti keong, bekicot, dan sebangsanya. Kau tahu kenapa?" 

"Tubuh mereka rapuh, atau ... berlindung dari predator?" 

"Lebih tepatnya, jiwa mereka yang rapuh. Orang-orang kota berlindung dari predator pemangsa jiwa. Banyak hal tidak masuk akal membuat mereka ketakutan." 

"Predator pemangsa jiwa? Apa itu?" tanyaku. Mulai terusik frasa-frasa aneh Ketang. Sesaat, keheningan menyeruak. Ketang tampaknya sedang mengais sesuatu dari masa lalu. 

"Orang-orang desa sangat bersahabat dengan alam bebas. Anak-anak begitu riang berada di luar cangkang. Main di kebun, naik sepeda, memanjat pohon." 

"Mereka juga punya cangkang, eh, maksudku ... rumah?" tanyaku tanpa peduli telah menyela cerita Ketang.

Kata "desa" tak pernah gagal membuatku penasaran. Aku pikir orang-orang desa hidup di gua-gua atau batang pohon besar.

"Tentu saja mereka punya. Tapi, tidak sebesar dan setebal rumah orang-orang kota. Mereka hanya berlindung ketika hujan, panas, atau membutuhkan tidur. Malah, banyak sekali anak-anak kecil tetap di luar ketika hujan. Berlarian bersama kesenangan." 

"Tunggu, tunggu Ketang. Udara kota dipenuhi polutan pencekik tenggorokan. Aku mengerti alasan mereka tetap di dalam. Pindah dari satu cangkang ke cangkang lain. Rumah, mobil, bis, toko, restoran, atau apapun itu." 

Selama ini yang aku pahami, seekor keong bergelung dalam cangkang untuk berlindung dari ancaman. Aku kira orang-orang juga sama. Eh, tapi ... bukankah manusia ada di posisi tertinggi rantai makanan? Aku tidak pernah dengar tentang predator pemangsa jiwa. 

Bahasa macam apa itu?

"Aku sudah bilang kan? Kesombongan. Memantik orang-orang berbuat kerusakan, namun merasa sekuat tenaga membangun peradaban. Pontang-panting berlindung dari monster, yang ternyata hanyalah cermin."

Kepalaku berdenyut. Berusaha mengunyah kata-kata Ketang. Bagaimana aku mencernanya jika mengunyahnya saja aku tak mampu?

Lagi-lagi, aku dikerubuti pertanyaan. Seringkali aku heran, betapa desa dan kota menjadi jurang perspektif kami. Jika atmosfer desa mampu membuatku lebih bijaksana, kapan-kapan aku akan menyelinap dalam mobil pembawa sayuran yang setiap pagi terparkir di pinggir taman. Mengunjungi desa tempat Ketang ditempa semasa kecilnya. 

"Manusia selalu ingin memiliki, dan menggunakannya sebagai jati diri. Setiap kali berada di luar, akan merasa asing dan sendirian. Tidak berdaya dan tidak memiliki, itu hakikat makhluk yang kita pahami. 

Tapi, orang-orang tidak ingin menerima. Mereka butuh prestise, identitas, dan pengakuan. Menghirup kuasa dan jumawa dengan eksoskeleton yang luar biasa megah. Tempat berlindung bagi jiwa mereka yang luar biasa lemah." 

"Itu penjelasan brilian tentang hal terbodoh yang pernah aku dengar. Jadi ... mereka bersembunyi karena rasa takut terhadap ketidakberdayaan? Omong kosong. Bukankah mereka lebih berdaya jika di luar cangkang?" 

Ketang tertawa kecil, mengangguk. "Begitulah. Padahal, semakin mereka mengelak, kelemahan mereka semakin tampak. Manusia memilih untuk memiliki, daripada menjadi."

Giliran aku yang tertawa. Getir. Tak menyangka logika manusia kota begitu sulit dicerna. Lelah sekali jika harus lari dari wajah sendiri. Mengelabui kenyataan sama saja menabur garam di kolam agar terasa manis. Tragis. Tidak berkorelasi, menuju kontradiksi. 

Aku ingat sesuatu yang tertulis dalam hukum semesta. Manusia diberi daya mengemban tugas kosmik yang tak sanggup dipikul gunung, awan, bahkan lautan. Lalu, mengapa mereka malah terborgol oleh benda-benda? Berhala tipis yang melekat di tangan, juga telinga. Kurasa, cangkang pun hanyalah kekang hingga mereka berhenti berkembang. 

Mengorbankan kesadaran. Melepaskan ingatan. 

Krrsk!

Aku dan Ketang terentak. Terdengar suara tapak menggerus dedaunan. Seorang laki-laki muda berwajah pucat berjalan pelan dari arah selatan. Menghampiri Sang Pemilik Mata Cantik. Gerimis di sudut matanya sudah mengering. 

Mereka bercengkrama, cukup lama. Namun, tak bisa kutangkap makna meski hanya satu kata. Laki-laki inikah yang membuatnya merana?

Kupejamkan mata, lenyap dalam getar suara mereka. Tanpa perlu membaca raut wajah, aku menyerap cinta, rindu, dan luka pada intonasinya. Lebih jauh menyelam, kutemukan hal yang sama.

Cinta, rindu, dan luka adalah satu hal serupa, namun dirasakan dan disampaikan dengan cara berbeda. 

Sang Pemilik Mata Cantik hilang dibalik siluet laki-laki muda. Aku bergeser, mencuri celah untuk menelisik. Menggapai daun pandan yang lantas menjadi kutukan. 

Terlalu licin. Aku menggelutuk di tanah. Jatuh tepat di bawah tapak laki-laki muda saat beranjak. Aku menjerit. Tubuhku geming. 

"Kevin, awas!" 

Aku mendengar suara Ketang meneriakkan namaku. Selanjutnya, klise. Waktu berjalan lambat sekali. Sunyi menyelimuti setelah bunyi cangkang retak-mendekati-remuk, diikuti rasa sakit luar biasa pada entah-bagian-apa tubuhku. 

Apakah seharusnya aku memiliki cangkang setebal gedung milik manusia? 

Kurasa tidak perlu. Jiwaku terbebas dengan fakta bahwa aku tidak berdaya.

Huh, manusia-manusia kota. Jangankan ingat telah menanggung titah Sang Penguasa, mereka juga amnesia menjadi bagian dari semesta. 

Aku tertawa hambar, mereguk kesadaran yang semakin pudar. Samar-samar kurasakan tubuhku melayang tinggi, diangkut dengan ... sepertinya daun ketapang. 

Sepasang mata cantik mendekat, mengamati tubuhku dalam kondisi tidak beraturan. 

Dan lalu, aku terpejam tanpa perlu merasa kesal.

.... bersambung ke sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun