"Lalu perhatikan perempuan berbaju hitam itu," Ketang memberi komando lanjutan, merujuk ke arah halte.Â
Perempuan itu baru saja turun dari bis kota. Setengah berlari, menghampiri dua perempuan lain, berbincang sebentar, kemudian masuk ke sebuah restoran. Di sana, mereka berbincang sembari menyantap hidangan. Itu juga tidak aneh.
"Sudah tahu apa persamaannya?" tanya Ketang.Â
"Mereka melakukan sesuatu yang sama-sama wajar."Â
Ketang mencibir. "Kau memang tidak peka. Lihat satu lagi, wanita yang menggandeng anak," ujar Ketang gusar.Â
Arah jam dua, terlihat seorang perempuan menggandeng anak laki-laki, keluar dari toko berhias bunga-bunga aneh mengitari bayi. Menjinjing empat atau lima kantong plastik dengan tangan kiri. Mencegat angkutan umum, kerepotan masuk, lalu hilang di ujung jalan seperti pria berkemeja biru.Â
Tanpa komando, aku merekam kehadiran sebuah mobil dari arah berlawanan, parkir di pelataran toko yang sama. Sepasang, laki-laki dan perempuan muda keluar dari mobil, kemudian masuk ke toko itu sambil tertawa bahagia.Â
Aku terpana. Bukan karena rona wajah mereka yang memerah seperti baru menikah. Bukan itu. Selintas, kurasa aku menangkap maksud Ketang. Hanya saja, aku tidak yakin tebakanku benar.Â
"Nah, kau sudah mengerti kan?" tanya Ketang gembira melihat sirat kesadaran tersemat pada bahasa tubuhku. Tapi, aku menggeleng.
"Aku tidak yakin," jawabku datar.
Ketang mendengus kecewa. "Mereka melakukan hal yang sama, Kevin. Manusia-manusia kota itu. Mereka keluar dari mobil, masuk ke rumah. Keluar dari rumah, masuk ke mobil. Mereka keluar, masuk, keluar, dan masuk lagi."Â