Merasakan lumpuh menjalari seluruh tubuh, hanyut oleh pesona yang memancar teduh. Menciptakan suasana nyaman, laiknya aroma teh yang baru diseduh.Â
Ketika angin terembus ragu, penasaran tak henti mengggangu. Gerisik daun, katak, dan derap hujan, sempurna menjadi lagu. Aku gemetar. Tidak, bukan karena kedinginan. Tapi karena sekilat gurat seketika berkelebat. Luka. Baru tiba di sana. Gerimis beringsut pindah ke matanya.
Tidak, jangan menangis!Â
Ah, terlambat. Dia membuat langit semakin luruh saja.Â
Kupalingkan pandangan ke seberang jalan. Tak tega melihatnya tampak merana. Lagipula, jarak kami yang hanya dua hasta, tak memberiku kuasa untuk menawarinya pundak atau sekadar sapa.Â
Nanti lagi saja aku nikmati kilau matanya. Itupun jika dia belum beranjak kemana-mana.Â
"Sedang apa, Kevin? Aku bosan. Apa ada tontonan menarik?"
Suara serak Ketang terdengar dari belakang. Seperti sebelum-sebelumnya dan sebelumnya lagi, sahabatku ini tidak pernah rela melihatku sendirian. Mungkin memang itu gunanya teman, tapi terkadang aku juga butuh kesunyian.Â
"Tidak ada. Hanya hujan, orang-orang berlarian, lampu jalan, dan ... kamu lihat saja sendiri," jawabku tanpa menoleh. Menatap lurus tanpa fokus.Â
"Bagiku itu semua menarik," ujar Ketang lugas.Â
"Apanya yang menarik?"