"Mereka semua. Err ... maksudku, orang-orang kota. Mereka tidak seperti penghuni kampung halamanku dulu," jawab Ketang, bernada menyesal. Tatapannya nanar, tertunduk menatap trotoar.
Aku berpikir sejenak. Ketang tidak seperti aku yang lahir, hidup, dan mungkin mati pun di taman kota. Ia menamatkan masa kecilnya di sebuah desa dengan perkebunan mencapai cakrawala.Â
Ketang dan seluruh keluarganya hidup untuk berkhidmat di kebun tomat. Menghabiskan waktu dalam rutinitas tak berkesudahan. Dimanjakan alam dengan makanan berkelimpahan.Â
Bagi mereka, hidup begitu mudah diprediksi, hingga takdir memberikan sedikit friksi. Pada suatu sore kelabu -tidak jingga seperti biasanya- Ketang tengah mencari makan untuk ibunya yang sakit. Hingga, suatu insiden membuatnya terjebak dalam mobil bak berisi lobak. Dapat ditebak, ia terbawa hingga ke kota.Â
"Apakah soal penampilan? Aku pernah dengar tentang orang-orang desa yang menutup kepala dengan anyaman bambu," tanyaku.
"Bukan hanya itu. Tidakkah kau merasa orang-orang di sini sangat rentan dan sering ketakutan?"Â
Aku tergelak.Â
"Kenapa kau malah tertawa?" Intonasi Ketang terdengar sedikit tersinggung.Â
"Kamu ingat ketika Kemi sakit beberapa hari lalu? Dia trauma karena ada laki-laki besar mengganggunya. Lalu, apa kamu lupa berapa banyak teman kita ditangkap dan dibawa pergi? Makhluk seberingas itu, mana mungkin merasa takut," tuturku cepat.Â
Terbayang adegan getir saat adikku, Kesya disergap saat bersembunyi di balik semak.Â
Ketang tertegun, menghela napas. "Kurasa mereka hanya lupa, bahwa kita juga bernyawa," ia berkata lirih.Â