Aku mendengus. "Itu pikiran bodoh."Â
"Kesombongan dapat menyelubungi akal dan ... benar katamu. Itu membuat mereka bodoh. Tapi, aku tetap merasakan kerapuhan, juga ketakutan mereka," Ketang berkata-kata tenang, memancarkan hawa bijaksana. Sejenak, aku terpesona. Â
"Baiklah Ketang Sang Guru, jelaskan padaku. Apa yang membuat makhluk sekejam itu merasa takut dan ... rapuh? Ah, tidak mungkin. Manusia kota begitu kuat."Â
Aku tersendat di akhir kalimat. Teringat luka yang hinggap dalam tatapan Sang Pemilik Mata Cantik. Aku melirik ke utara, memastikan dia masih di sana.Â
Mungkin, Ketang ada benarnya. Gadis itu juga satu di antara orang-orang kota. Tapi, lihat, luka menjajah binar matanya hingga rapuh dan tanpa daya.
Apa semua orang kota sesendu itu saat sendirian menatap hujan? Kata ibuku, hujan mampu membawa cinta, rindu, dan luka bersamaan. Merebak portal, masuk ke dunia perasaan.Â
"Kevin, perhatikan pria berkemeja biru di seberang jalan," seru Ketang tidak sabar. Sepertinya ia geram karena aku tampak kehilangan minat terhadap ucapannya.Â
Ayolah Ketang, jelaskan dengan singkat dan padat saja, agar aku bisa membenamkan diri dalam kubangan mata cantik itu lagi. Dengan enggan, aku mencari pria yang Ketang maksud.Â
"Apakah pria itu tampak rapuh dan ketakutan? Bagiku ia tampak sangat percaya diri," kataku skeptis.
"Perhatikan yang ia lakukan."
Agar pembicaraan ini cepat selesai, aku menurut. Pria itu baru saja keluar dari sebuah rumah, lalu masuk ke mobil, dan menghilang di ujung jalan. Tidak ada yang aneh.Â