Aku ingat sesuatu yang tertulis dalam hukum semesta. Manusia diberi daya mengemban tugas kosmik yang tak sanggup dipikul gunung, awan, bahkan lautan. Lalu, mengapa mereka malah terborgol oleh benda-benda? Berhala tipis yang melekat di tangan, juga telinga. Kurasa, cangkang pun hanyalah kekang hingga mereka berhenti berkembang.Â
Mengorbankan kesadaran. Melepaskan ingatan.Â
Krrsk!
Aku dan Ketang terentak. Terdengar suara tapak menggerus dedaunan. Seorang laki-laki muda berwajah pucat berjalan pelan dari arah selatan. Menghampiri Sang Pemilik Mata Cantik. Gerimis di sudut matanya sudah mengering.Â
Mereka bercengkrama, cukup lama. Namun, tak bisa kutangkap makna meski hanya satu kata. Laki-laki inikah yang membuatnya merana?
Kupejamkan mata, lenyap dalam getar suara mereka. Tanpa perlu membaca raut wajah, aku menyerap cinta, rindu, dan luka pada intonasinya. Lebih jauh menyelam, kutemukan hal yang sama.
Cinta, rindu, dan luka adalah satu hal serupa, namun dirasakan dan disampaikan dengan cara berbeda.Â
Sang Pemilik Mata Cantik hilang dibalik siluet laki-laki muda. Aku bergeser, mencuri celah untuk menelisik. Menggapai daun pandan yang lantas menjadi kutukan.Â
Terlalu licin. Aku menggelutuk di tanah. Jatuh tepat di bawah tapak laki-laki muda saat beranjak. Aku menjerit. Tubuhku geming.Â
"Kevin, awas!"Â
Aku mendengar suara Ketang meneriakkan namaku. Selanjutnya, klise. Waktu berjalan lambat sekali. Sunyi menyelimuti setelah bunyi cangkang retak-mendekati-remuk, diikuti rasa sakit luar biasa pada entah-bagian-apa tubuhku.Â