"Kamu kenapa, Amira?" tanya Arum, kali ini dengan nada khawatir.
"Gapapa, Rum. Aku cuma sedikit pusing aja," aku berbohong. Aku tidak mau membuat Arum ikut memikirkan masalah keluargaku. Apalagi ini masih dalam keadaan belajar di kelas, aku takut ditegur oleh Bu Risna.
Pelajaran terus berlanjut hingga bel pulang sekolah terdengar.
"Amira, mau main ke rumahku dulu gak?" Arum menghampiriku yang sedang menghapus coretan di papan tulis, hari ini adalah hari bagianku piket.
"Enggak deh, Rum. Aku mau langsung pulang," jawabku.
Arum mengangguk. "Aku duluan ya," ucapnya sambil melambaikan tangan.
Aku balas melambaikan tangan ke arahnya.
Setelah beres piket, aku langsung bergegas pulang ke rumah. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin melihat Naura. Aku khawatir akan kondisi badannya sekarang.
Sebelum sampai rumah, aku sempatkan membeli bubur yang ada di dekat sekolahku. Tanpa kacang, tanpa bawang, dan tanpa seledri. Bubur khas Naura.
Aku selalu tau apa yang disukai Naura, dan apa yang tidak. Aku dekat sekali dengannya. Bahkan saat tau ibu hamil, aku senang bukan kepalang. Aku memang ingin mempunya adik sedari dulu, bosan jika hanya menjadi anak tunggal.
Saat tiba di rumah, aku langsung lari ke lantai dua.
"Dek, udah baikan? Nih kakak bawain bubur," Aku memberikan bubur itu dan segelas air putih hangat. Naura mengangkat badannya sedikit, berusaha untuk duduk.