Aku memakai sepatu dan bersiap-siap berangkat sekolah. Setelah berada di luar rumah, bukannya langsung menghidupkan mesin motor, aku malah memilih berdiri di depan pintu. Aku berniat menguping pembicaraan ayah dan ibu dari luar.
"Uang dari mana? Kamu tau kan kemarin aku baru di PHK," ucapan ayah terdengar samar.
"Tapi setidaknya kita masih ada tabungan, Yah. Kenapa engga pakai uang itu aja?"
"Kakak sebentar lagi lulus, adek juga sudah mau masuk SD. Kalau kita tidak hemat, mau bertahan hidup pakai apa?" sekarang suara ayah terdengar lebih jelas, nadanya meninggi. "Coba kamu kasih obat warung saja, siapa tau sembuh,"
"Kamu sudah tidak peduli dengan keadaan Naura?" suara ibu terdengar sedikit bergetar. Ya, ibu memang lemah kalau masalah anak-anaknya. Aku tau, ibu pasti sedang menahan air mata yang sedari tadi ingin keluar.
"Bukan begitu, aku cuma mau kita lebih hemat. Pengeluaran kita sedang banyak-banyaknya," jawab ayah dengan nada yang lebih rendah dibanding tadi.
Aku tidak mendengar apa-apa lagi. Aku hanya mendengar suara langkah kaki yang berjalan menuju kamar mandi. Aku termenung. Itu pasti ibu yang sedang menangis disana. Selain itu, aku terkejut mendengar ayah di PHK. Padahal tadi aku masih melihat ayah menggunakan pakaian rapi. Mungkin, untuk mengelabui anak-anaknya? Semua ayah  pasti mau anaknya tau hal yang baik-baik saja. Makanya ayah menyembunyikan hal ini, pikirku.
Dengan agak terpaksa, aku tetap berangkat ke sekolah. Walaupun pikiranku penuh dengan hal-hal yang tidak bersangkutan dengan pelajaran, tapi aku tetap berusaha fokus mencerna materi dari Bu Risna.
"Amira," panggilan itu terdengar pelan dari arah sebelahku. Aku menoleh, menatap dengan tatapan 'kenapa?'
"Jangan bengong, nanti kesambet," ucapnya sambil sedikit tertawa.
Biasanya aku merespon candaan Arum dengan tersenyum atau tertawa. Tapi tidak dengan hari itu, pikiranku hanya di penuhi oleh masalah ayah dan ibu.