“Apa kamu yakin Lol?” Tanya Dea ragu.
“Yakin, lagi pula sekarang kalian sering kerja bareng, sering ngobrol bareng. Masak ngomong begitu saja kamu nggak bisa.”
“Ya, tapi kan…”
“Daripada kak Ibram ditembak cewek-cewek kota Medan?” Lusi pun ikut menimpali.
“Tapi aku….”
“Dea… ayahmu telefon Nak.” Suara Ibu membuyarkan obrolan tak berujung itu. wajah Dea berbinar saat mendengar jika Sang Ayah yang saat ini bekerja di Singapura menelefon.
“Emang Dea harus nembak kak Ibram sekarang ya Lol?” Lusi melanjutkan obrolan yang tertunda.
“Iya lah, lagi pula kapan lagi Si Dea bakal ngungkapin perasaannya kalau nggak sekarang? Kamu lihat sendiri kan bagaimana perjuangan Dea dari yang awalnya gadis kucel peringkat 20, sekarang jadi gadis cantik ketua kelas, ketua teater, ketua OSIS. Itu semua kan dia lakukan untuk kak Ibram.”
“Iya sih.. Eh, De kok cepet kamu ngobrolnya sama ayah? Kamu kenapa De?” Dea datang dengan wajah sendu.
“Ayah memintaku untuk tinggal di Singapura. Melanjutkan 1 tahun sekolah dan nanti kuliah di sana juga.”
“Terus…”