Mohon tunggu...
novilia permatasari
novilia permatasari Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya seorang guru swasta di sebuah Madrasah Aliyah di kota saya. Saya juga seorang Ibu yang memiliki hobi menulis, terutama novel fiksi dan juga cerpen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepenggal Kisah

16 Mei 2023   09:54 Diperbarui: 16 Mei 2023   10:02 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tari.. Tari..", terdengar seseorang menggedor pintu kamar kos ku. Suara yang tak asing, sehingga membuatku merasa malas untuk membuka mata dari tidurku.

"Tari.. Tar, buka pintu napa sih? Pasti masih molor deh ni bocah." Suara yang sama. Kali ini ku buka mataku perlahan, menghela nafas panjang, kemudian berusaha bangkit untuk menuruti kemauan Si Tamu yang tak ku undang itu.

Tapi "aww..", kepalaku terasa sangat berat. Berat sekali hingga mataku harus kupejamkan kembali untuk membantu mengurangi rasa sakitnya.

"Tari...", masih suara yang sama dengan suara gedoran yang lebih keras. Mungkin kali ini dia menggunakan tenaga super untuk menggedor pintu kos ku. Dengan segala sisa kekuatan yang kumiliki, aku berusaha bangun. Biarlah sakit kepala ini kutahan sebentar. Aku tidak ingin tetangga kamar kosku datang kemari dan marah-marah karena suara itu.

"Tar, elo enggak apa-apa?" Kalimat pertama yang muncul dari mulutnya saat ku bukakan pintu.

Dia Sila, sahabatku saat kuliah dan masih tetap menjadi sahabatku sampai sekarang. Sila adalah the next emak-emak yang hobi mengomel dan berteriak. Jika aku kesal meladeninya, gadis itu akan kupanggil dengan nama Pancasila. Tapi Sila adalah sahabatku yang paling baik. Orang yang sangat tulus menurutku. Apalagi di kota besar seperti ini, populasi orang yang tulus seperti Sila sangat langka.

"Syukurlah elo masih hidup, gue kira elo gantung diri. Abisnya lama banget elo bukain gue pintu." Celoteh Sila seenaknya.

"Pusing gue. Elo pagi-pagi udah gedor-gedor pintu." Kataku sambil memijat kepala dan merebahkan kembali badanku di tempat tidur. "Ada apa sih pagi-pagi udah ke sini?" Imbuhku sambil kembali memeluk guling.

"Ni gue bawain sarapan." Sila meletakkan bungkus plastik di meja.

Dari aromanya aku tahu jika itu adalah bubur ayam. "Elo baik banget sih, tau aja kalau gue laper." Kataku sambil tersenyum manis, segera bangkit mengambil bungkusan itu dan membukanya.

"Gue tahu, pasti dari semalem elo enggak makan. Dan sekarang elo sakit kepala karena kelaperan."

"Hehe, elo emang the best deh Sil." Ucapku sambil mulai melakukan ritual sarapan pagi yang disponsori oleh Sila.

"Eh Tar, bisa-bisanya sih elo enggak terima tawaran dari perusahaan Adiputra yang mau elo kerja sebagai manager di sana. Semua orang pada berdoa siang malam, tahajut tiada henti karena pengen kerja di sana. Nah elo, itu perusahaan terbaik di kota ini Tar."

Aku memandang Sila sekilas. Dari raut muka gadis itu aku tahu ada kekecewaan di dalamnya. "Sil, elo tahu kan perusahaan itu tempat magangnya Rendi dulu."

Aku memasang wajah sendu berharap Sila akan mengerti maksutku. Namun aku salah, gadis itu sepertinya shock dengan jawaban yang ku berikan.

"Apa?" Katanya dengan mata melotot seperti akan jatuh ke lantai.

"Iya Sil, gue dulu sering nganter Rendi ke tempat itu. Rendi juga sering kirim foto-fotonya di kantor itu. Kalau gue kerja di sana, gue pasti bakal inget lagi sama Rendi Sil.."

"Ya Allah ampun dah ni orang. Berapa kali musti gue bilang ke elo sih Tar? Rendi bukan jodoh elo, dia udah hianatin elo. Noh dia udah kawin noh sama sahabat elo sendiri kan, sahabat elo waktu SMA. Laki-laki kayak gitu masih elo belain."

"Gue enggak belain Rendi Sil, gue benci ama dia. Makanya gue berusaha lupain dia. Dan itu salah satu caranya."

"Elo bukan ngelupain dia Tar, tapi elo nyiksa diri elo sendiri. Ah udah ah, capek gue ngomongin masalah ini sama elo. Nih, dengerin ya. Gue ke sini mau ngasih kabar baik buat elo."

"Apa?"

"Nih perusahaan Bokap gue lagi butuh manager, menurut gue elu udah masuk spesifikasi banget . Secara elu kan lulusan terbaik. Yaa, tapi perusahaan bokap gue enggak sebagus perusahaan Adiputra sih."

"Beneran Sil?"

"Beneran, ngapain gue bohongin elu. Mending elu buru-buru kirim lamaran kerja ke sana, nanti gue bantu ngomong ke Bokap gue kalau elu mau."

"Ahh tapi Sil, gue kayaknya masih belum siap."

"Apalagi? Rendi lagi? Elo masih belum siap kerja karena kepikiran dia?" Tanya Sila yang kujawab dengan anggukan kepala.

"Elo lihat foto itu." Sila menunjukkan foto Ibuku yang kupajang di dinding. "Gue udah enggak punya Ibu Tar. Tapi gue bisa merasakan harapan nyokap elo ke elo itu besar banget. Plis jangan kecewain Ibu, gue enggak bakal sanggup liat betapa kecewanya nyokap elo saat tahu elo kayak gini demi Rendi. Plis." Sila mengatakan hal itu dengan sendu.

Ku lihat wajah Sila, Sila benar. Setiap bulan Ibu mengirimiku uang untuk hidup di kota ini dengan harapan aku mendapatkan pekerjaan yang bagus di sini. Tapi apa yang kulakukan?

Kuhapus air mataku yang tiba-tiba menetes. "Ok gue coba, makasih banyak ya Sil." Kupeluk sahabatku yang sudah seperti saudaraku sendiri tersebut.

"Gitu dong." Jawab Sila yang juga menghapus air matanya yang mungkin juga tak sengaja menetes.

Ya, inilah aku. Tari Safitri. Gadis 22 tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikan S1 nya di sebuah universitas ternama di Jakarta dengan predikat lulusan terbaik. Seperti orang-orang pada umumnya, aku memilih untuk tetap tinggal di kota ini untuk mencari pekerjaan yang bagus.

Pilihan ini tentunya atas saran dari Ibuku yang menginginkan putrinya menjadi gadis mandiri dan bisa membuatnya bangga. Itulah mengapa, sampai tiga bulan setelah aku wisuda Ibuku masih saja mengirim uang untuk kehidupanku di sini. Beliau benar-benar berharap aku mendapatkan pekerjaan bagus.

Tapi tidak denganku, tiga bulan setelah wisuda aku hidup namun mati. Aku sama sekali tidak memiliki gairah untuk mencari pekerjaan atau apapun itu. Hari-hari kuhabiskan dengan melamun dan yang seperti yang Sila bilang, menyiksa diri sendiri.

Ini semua gara-gara Rendi, mantan kekasihku. Rendi yang tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba meminta putus dariku. Padahal dia tahu aku sangat mencintainya. Dan kami juga telah merencakan masa depan yang sangat indah untuk kehidupan kami ke depannya. Aku menangis, aku mengemis meminta Rendi untuk mengubah keputusannya. Namun Rendi tetap diam, dia tidak menghiraukanku. Laki-laki yang kukenal sangat baik dan sangat mencintaiku tiba-tiba berubah menjadi bengis. Dia mendorongku hingga aku jatuh dan pergi meninggalkanku.

Aku masih terus berusaha menghubungi Rendi, namun dia memblokir semua aksesku untuk menghubunginya. Aku datang ke rumahnya, aku mengenal beberapa anggota keluarganya sewaktu kami berhubungan dulu. Namun saat itu aku tidak menemukan seorang pun disana. Rumah itu sangat sepi.

Dua minggu kemudian, seorang kurir datang ke kosku mengantarkan sebuah undangan pernikahan. Undangan dari Aina, sahabatku saat SMA. Aku tersenyum melihat nama Aina di undangan itu, undangan yang polos tanpa foto preweding. Ternyata gadis itu akan melepas masa lajangnya lebih cepat dariku.

Ku buka undangan tersebut perlahan. Seperti tersambar petir di siang hari, tubuhku tiba-tiba jatuh ke lantai. Aku seperti tidak memiliki kekuatan untuk menahan berat badanku sendiri. Saat ku baca undangan itu adalah undangan pernikahan Aina dan Rendi. Aku mencoba membaca kembali. Randi Pangestu, ini bukan sebuah nama limited edition yang tidak bisa dimiliki oleh orang lain. Ku baca nama orang tua mempelai pria, alamatnya. Ternyata benar, mempelai pria dari Aina adalah Rendi mantan kekasihku.

Dengan ini aku tahu, kenapa Rendi memutuskan hubungan kami secara sepihak. Kenapa dia memblokir semua aksesku untuk menghubunginya. Tapi kenapa? Kenapa harus dengan Aina? Aina adalah sahabatku. Aina pun mengenal Rendi sebagai kekasihku. Begitu juga dengan Rendi yang mengenal Aina sebagai sahabatku. Kenapa mereka menghianatiku? Kenapa mereka tega melakukan semua ini kepadaku? Apa salahku kepada mereka?

Inilah sakit hati terbesar, penghianatan terbesar yang pernah ku rasakan. Laki-laki yang sangat ku cintai menikah dengan sahabatku sendiri.

Hal itu juga yang membuat beban besar dalam hidupku. Hidupku menjadi tak karuan. Semua rasa marah dan kekesalanku ku lapiaskan untuk diriku sendiri. Seorang Tari yang selalu terbiasa hidup sehat, kini bersahabat dengan mie instan. Seorang Tari yang sangat menyukai kebersihan, kini hanya diam saat kecoa dan tikus memasuki kamarnya. Seorang Tari yang pandai merawat diri dan selalu terlihat segar, kini hanya wajah kusam badan yang semakin kurus yang bisa terlihat. Jam tidur, pantang bagiku untuk begadang karena akan membuat maghku kambuh dan wajahku berjerawat. Tapi kini, aku melupakannya begitu saja. Bisa dibayangkan betapa hancurnya aku saat ini.

Sebagian besar waktuku hanya ku habiskan untuk melamun, menangis, menyalahkan diri sendiri, dan jika lelah aku akan menyalakan kompor dan memasak mie instan.

*****

Bibirku menyunggingkan senyum gembira saat melihat notifikasi di ponselku. Notifikasi gaji pertamaku, yang berarti sudah satu bulan aku bekerja di perusahaan Ayahnya Sila. Ku hembuskan nafas dalam dan mengucap rasa syukurku kepada Allah SWT. Ibu pasti akan sangat senang mendengar hal ini. Ibu, perempuan superku. Beliau membesarkanku seorang diri setelah Ayah kembali kepadaNya saat aku duduk di bangku SMP.

"Assalamualaikum Ibu..", sapaku kepada Ibu melalui sambungan telepon.

"Waalaikum salam Tari, bagaimana kabarmu Nak?"

"Alhamdulillah baik Bu, Ibu gimana?"

"Ibu juga baik. Gimana pekerjaan kamu?"

"Hari ini Tari dapat gaji pertama lo Bu, ternyata gaji Tari besar Bu. Jadi Ibu mulai sekarang enggak perlu lagi kirim uang untuk Tari. Dan mulai sekarang juga, Tari akan kirim uang untuk Ibu. Jadi Ibu enggak perlu lagi lembur-lembur buat jahit baju."

"Alhamdulillah, Ibu senang sekali mendengarnya Nak."

"Alhamdulillah ini semua berkat doa Ibu."

"Oia Nak, akhir pekan ini kamu bisa pulang? Ibu kangen. Ibu juga pengen ngomong sesuatu yang penting sama kamu." Ucap Ibu memelas yang pastinya aku tidak bisa untuk menolak.

"Bisa Bu, besok Tari akan pulang." Balasku. Ah Ibu, bisa saja untuk membuatku pulang. Padahal aku juga bukan tipe anak rantauan yang tidak pernah pulang. Setiap bulan pasti ku luangkan beberapa akhir pekanku bersamanya.

*****

"Ibu... Ibu tahu kan Tari masih belum ingin menikah. Tari masih ingin bekerja, Tari masih ingin membahagiakan Ibu. Tari mau renovasi rumah untuk Ibu, mau beli mobil, mau beli ini itu.."

"Hei siapa yang memintamu menikah Nak? Ibu hanya ingin kau melihat Yusuf, kau bertemu dengannya. Mengobrol dan juga..."

"Bagaimana jika Tari tidak cocok Bu? Bagaimana jika Tari tidak bisa membuka hati?" Pertanyaanku membuat Ibu terdiam. Sedikit banyak Ibu tahu bagaimana kisahku dengan Rendi. Ibu juga telah mengenal Rendi dengan baik.

"Ini semua hidupmu Tari. Ibu tidak bisa memaksakan hidupmu. Jalani seperti apa yang kau inginkan. Ibu selalu mendukungmu." Ucap Ibu sambil tersenyum. Kupeluk Ibuku yang sangat kusayangi ini. Dia bukan hanya Ibu bagiku, tapi juga sahabat yang selalu mengerti aku.

Waktu dan tempat yang ditentukan tiba. Hari ini aku bertemu Yusuf. Tidak seperti yang ku kira, ternyata Yusuf lebih baik dari dugaanku. Laki-laki ini terlihat sangat sholeh, wajahnya tampan, kulit putih, dan kata Ibu dia memiliki pekerjaan yang cukup mapan di kota.

Tapi entah mengapa, aku merasa tidak nyaman bersamanya. Seperti ada yang mengganjal di dadaku. Entah apa itu, seperti sebuah rasa sedih yang membuat hatiku terasa sakit. Dan lebih membuatku tidak nyaman adalah, saat ini bayangan Rendi selalu menghantuiku. Aku akui wajah Rendi memang tidak pernah lepas dari bayangan mataku, tapi untuk kali ini bayangan wajah Rendi sangat mengganggu.

"Kamu tidak menyukaiku?" Tanya Yusuf tiba-tiba.

Pertanyaan apa itu, kenapa dia menanyakan hal itu kepadaku? Apa ada yang salah denganku? Atau apa dia bisa membaca bahasa tubuhku? Mungkinkah dia bisa merasakan ketidaknyamananku?

Aku terdiam dan menunduk. Entah jawaban apa yang harus mulutku keluarkan. Apakah aku harus jujur atau... 

"Tenanglah! Tidak ada yang memaksa kita untuk berhubungan serius. Jika kau tidak menginginkannya, tidak masalah. Setidaknya temanku bertambah satu." Imbuh Yusuf, kali ini aku mulai berani mengangkat kepalaku dan memasang senyum di wajah.

"Tari, sedikit banyak Ibumu menceritakan beberapa hal tentangmu. Aku sangat menghargainya. Mungkin kita tidak berjodoh." Ucap Yusuf kembali, senyum di wajahnya menandakan jika laki-laki ini tidak memendam sakit hati atau apapun kepadaku.

"Mas Yusuf maafkan aku. Aku merasa sangat buruk. Mas Yusuf pasti sangat..."

"Hei, kenapa kamu berkata seperti itu? Tidak masalah, kita bisa berteman baik dan bersaudara. Bukan begitu?" Kata Yusuf membuatku mengangguk dan tersenyum lebar.

"Terimakasih Mas Yusuf." Ucapku. Bersamaan dengan ini hatiku menjadi sangat tenang. Rasa sedih yang mengganjal sedari tadi hilang seketika.

*****

Tiga tahun berlalu. Aku kini telah menjadi Tari yang lebih ceria. Menjadi Tari yang meskipun tidak bisa melupakan mantan kekasihnya, tapi masih mampu membuka diri dan melakukan banyak hal positif. Karirku semakin mencuat, beberapa promosi dari perusahaan ku dapatkan dengan mudah.

Ibuku juga sangat bangga saat aku berhasil merenovasi rumah peninggalan Ayah menjadi lebih bagus. Apalagi saat Beliau ku bawa jalan-jalan naik mobil mewah milikku dan menginap di apartemen mewah yang kini menjadi tempat tinggalku.

Ahh, ini semua karena Mas Yusuf. Kalimat yang dia ucapkan, yang sampai sekarang masih ku ingat dan menjadi petunjuk setiap langkahku. "Memang sulit untuk melupakan seseorang, yang mudah adalah membuka hati dan fikiran kita lalu melakukan hal yang lebih baik."

Mas Yusuf benar, kami memang tidak berjodoh tapi kami bisa menjadi teman baik. Seminggu lalu aku menghadiri pernikahan Mas Yusuf bersama Ibu. Kami sangat bahagia bersama. Mas Yusuf mendapatkan istri perempuan sholihah yang cantik, sangat serasi dengannya.

"Tar, gue bosen banget ni. Abis ini temenin gue jalan-jalan yuk ke taman." Ajak Sila saat aku tengah berkutat dengan layar laptop di depanku. Aku hanya meliriknya tanpa ingin memberikan jawaban setuju, karena keinginannya tidak pernah bisa ku tolak. Sila dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. "Siapa tahu ada Pangeran jatuh dari surga terus liatin gue dan jatuh cinta sama gue." Sila mulai menghalu.

"Gedebuuukkk.. pasti gitu suaranya pas abis jatoh dari surga. Ya moga aja tuh Pangeran enggak gegar otak." Ucapku sambil tertawa yang pastinya membuat Sila cemberut.

"Tau deh.. udah buruan gue tungguin elo di mobil." Kata Sila kemudian keluar dari ruanganku. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya sambil merapikan meja kerjaku sebelum ku tinggal.

Sesampainya di taman, Sila segera berlari menuju Mamang penjual cilok dan batagor. Sementara aku ditinggal sendiri. "Oo ternyata Pangerannya Mamang Cilok." Batinku sambil tertawa sendiri menyaksikan bagaimana semangatnya Sila saat berlari menghampiri Pangerannya. Aku berjalan menuju kursi taman sambil menikmati udara segar taman yang sangat hijau ini.

Namun langkahku terhenti saat sebuah bola menantuk kakiku. Kuambil bola kecil yang berhenti di depanku. Aku menoleh ke kanan ke kiri mencari siapa pemiliki bola kecil ini.

"Tante, itu bolakuuu..", sebuah suara kecil dengan sedikit cedal mengejutkanku bersamaan dengan datangnya anak laki-laki kecil ke arahku.

"Ini bola kamu?" Tanyaku sambil menunduk, menyetarakan tinggi badanku dengan bocah itu.

"Iya..", jawab anak itu dengan gaya gemasnya.

"Kamu lucu sekali Sayang..", kucubit lembut pipi anak itu. "Siapa namamu?"

"Aim..", suara lucu dan gaya menggemaskan bocah itu membuatku ingin membawanya pulang.

"Aim pinter sekali. Ini tante punya coklat, Aim mau?" Kusodorkan sebatang coklat yang kumiliki di tas.

"Aim tidak boleh makan coklat." Ucap anak itu sambil menunduk. Ah aku menyesal. Bodohnya aku, kenapa harus menaawarkan makanan seperti ni.

"Yah maaf ya Aim. Lain kali tante kasih kue. Mau?"

"Mau...", ucapnya kegirangan. Aku senang melihatnya seperti itu.

"Aim... Aim...", sebuah suara mengejutkan kami. Suara berat dari seorang laki-laki. Aim bocah kecil itu segera berlari ke arah sumber suara.

Pasti itu ayahnya, batinku sambil membalikkan badan ke sumber suara. Betapa terkejutnya aku, saat ku lihat Aim berada di gendongan laki-laki yang sangat ku kenal. Laki-laki yang selama ini tidak bisa kulupakan. Laki-laki yang sangat ku benci namun ku cintai. Rendi, ya Aim berada di gendongan Rendi.

Aku terhuyung, rasanya seperti akan pingsan, tapi tidak. Aku segera mampu untuk menguasai diriku. Aku tidak mau terlihat lemah, aku tidak ingin laki-laki ini bahagia melihatku lemah.

"Papa, itu tante cantik." Celoteh Aim sambil menunjukku. Aku bisa melihat senyum di bibir Rendi menanggapi ocehan putranya. Senyum yang sangat ku rindukan.

"Tari..", panggil Rendi. Aku terkejut mendengarnya. Saat ini jantungku berdetak dengan sangat cepat. Apa yang harus ku lakukan?

"Ah maaf, aku menemukan bola Aim. Permisi." Kataku kemudian berjalan menjauhi mereka. Aku sengaja mempercepat langkahku. Dalam hati aku sangat senang bisa kembali melihat Rendi, tapi aku juga merasa sangat sakit saat ini.   

"Elo kenapa Tar?" Tanya Sila saat aku berlari masuk ke dalam mobilnya.

"Pulang yuk! Gue pusing." Jawabku sekenanya. Aku bisa melihat rasa penasaran dari wajah Sila, namun sahabatku itu tidak bertanya apapun kepadaku. Dengan cepat dia segera masuk ke dalam mobil dan mengemudikan mobilnya menuju apartemen ku.

"Tadi kamu kenapa?" Tanya Sila lagi saat kami sudah berada di apartemen. Gadis itu tahu betul jika saat ini aku sudah mulai tenang.

"Gue ketemu Rendi sama anaknya." Jawabku yang membuat mata Sila melotot karena kaget.

"Terus istrinya?" Pertanyaan bodoh yang Sila ucapkan membuatku menghembuskan nafas panjang.

"Aku tidak bertemu dengannya."

Kali ini Sila yang menghela nafas panjang. Entah apa yang ada difikirannya. Apa mungkin dia mengira aku akan adu jotos jika aku sampai bertemu dengan Aina.

Beberapa hari berselang. Pertemuan dengan Rendi waktu itu kembali membawa perubahan bagi diriku. Suatu hal yang sedikit demi sedikit mulai terkubur, kini pelan-pelan muncul kembali. Tapi aku telah banyak belajar dari pengalaman. Setidaknya hal seperti ini tidak kembali membuatku terpuruk.

Pagi ini ku manfaatkan akhir pekan ku dengan berbelanja bulanan. Biasanya aku selalu meminta Sila menemani. Tapi hari ini Sila ada pekerjaan. Sedikit bersyukur sih tidak ada Sila, jadi tidak ada yang teriak-teriak dan malu-maluin. Tapi ternyata berbelanja tanpa Sila sepi, tidak seru.

"Tante cantik..", sebuah suara seperti berasa di dekatku, diikuti oleh tarikan dari kain celanaku.

"Aim..", sapaku saat tahu siapa yang menarik kain celanaku.

"Tante cantik..", Aim terus memanggilku seperti itu sambil memelukku. Kubalas pelukan kecil itu   dengan pelukan besar dari tubuhku. Aku merasa sangat senang jika anak kecil ini nyaman bersamaku.

Aku celingak celinguk ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan orang tua Aim. Aku tidak ingin bertemu Rendi kembali. Apalagi bertemu Rendi dan Aina. Ah tidak, aku tidak siap.

"Mbak Tari..", ku dengar seseorang memanggilku. Deg, suara perempuan. Apakah itu Aina?

Ku balik tubuhku perlahan, bagaimanapun juga aku harus siap jika itu adalah Aina. Tapi sejak kapan Aina memanggilku mbak?

"Mbak Tari, aku Rika. Masih ingat?" Ucapnya kembali. Aku tersenyum, syukurlah dia bukan Aina.

"Rika, apa kabar kamu?" Kuhampiri perempuan itu yang ternyata adalah adik dari Rendi.

"Alhamdulillah baik, mbak apa kabar?"

"Aku juga baik."

Aku dan Rika mulai mengobrol tentang kami sambil berbelanja. Rika banyak bercerita tentang keluh kesahnya dalam kuliah. Yang sampai saat ini dia masih belum wisuda. Aku pun juga banyak bercerita tentang pekerjaanku. Ya, selayaknya teman yang lama tak jumpa. Saat masih berhubungan dengan Rendi, dia sempat mengenalkanku dengan Rika.

"Bibi, mau es krim." Aim bocah kecil itu merengek kepada Rika.

"Iya sebentar." Jawab Rika yang masih memilah buah.

"Beli es krim sama tante aja yuk." Ucapku kepada Aim yang langsung membuat bocah itu tertawa girang. Aku memberi tanda kepada Rika agar membiarkan Aim bersamaku. Rika pun mengiyakan.

"Anak pintar mau es krim yang mana?" Ku angkat tubuh anak itu agar bisa menjangkau isi kotak es krim. Seketika bocah itu sudah mengambil tiga buah es krim di tangannya. Aku tertawa melihat kelakuan Aim. Entahlah aku merasa sangat menyayangi anak ini. Tapi memang sejak dulu aku menyukai anak kecil.

"Aim, Papa kamu dimana?" Tanyaku lirih.

"Kerja", jawab Aim polos.

"Kalau mama?" Tanyaku kembali. Pertanyaan yang sebenarnya tidak penting tapi bagiku sangat penting karena aku ingin tahu tentang mereka.

"Di sana." Jawab Aim sambil tangannya menunjuk ke atas. Aku pun ikut mendongak ke arah tangan kecil itu. Hanya ada atap supermarket. Ah bodoh sekali diriku, bagaimana ceritanya aku bisa menuruti apa yang bocah kecil ini katakan.

"Aim, pulang yuk!" Ajak Rika.

"Enggak mau, Aim mau sama tante cantik."

"Aim, nanti Papa marah lo kalau Aim enggak mau pulang." Omel Rika. Aku tertawa dalam hati mendengarnya. Rika pasti mengada-ada, Rendi tidak kan tidak bisa marah-marah.

"Tidak mau", seru Aim sambil bersembunyi di balik tubuhku dan memelukku erat sambil menangis.

Aku memberi tanda kepada Rika untuk memberiku kesempatan bicara dengan Aim. Ku gendong bocah kecil itu dan ku hapus air matanya.

"Aim pulang dulu ya Sayang, nanti Papa nyariin Aim. Kapan-kapan kita ketemu lagi. Nanti kalau ketemu tante kasih Aim es krim yang banyak. Mau?" Rayuku

"Mau..", jawab Aim dengan wajah masih sedih.

"Sekarang Aim ikut Bibi dulu ya."

Bocah kecil itu sangat penurut, apalagi denganku. Membuatku semakin sayang kepadanya.

"Makasih ya Mbak. Maaf kalau Aim ngerepotin mbak. Mungkin dia kangen sama Ibunya." Kata Rika.

"Memang Ibunya kemana?"

"Sesaat setelah melahirkan Aim, mbak Aina meninggal."

Degg, jantungku seperti berhenti berdetak. Apa yang Rika katakan? Aina telah meninggal. Dan aku tidak mengetahuinya aku sama sekali tidak tahu tentang berita ini. Sahabat macam apa aku  ini.

"Sejak bayi Aim dibesarkan seorang diri oleh Mas Rendi." Imbuh Rika.

Sampai di apartement, aku segera membuka laptop. Membuka sosial media yang tiga tahun ini tidak pernah ku aktifkan. Ya, untuk bangkit dari keterpurukan ini adalah cara yang ku pilih. Menonaktifkan semua sosial media serta mengganti nomor ponselku. Hingga aku tidak memiliki akses lagi untuk kehidupan masa lalu.

"Ya Allah..", seruku sambil menangis. Saat melihat berita meninggalnya Aina sekitar dua tahun lalu di grup SMA. Banyak sekali berita tentang meninggalnya Aina. Aina meninggal karena pendarahan setelah melahirkan. Teman-temanki berusaha menghubungiku, melalui inbox semua sosial mediaku, tapi aku tidak tahu sama sekali.

Aku menangis sesenggukan. Menyesali semua yang telah terjadi. Aku sedih, Aina adalah sahabatku. Banyak sekali kenangan seru dan manis yang kami ciptakan berdua. Tapi kini dia telah pergi. "Aina maafkan aku, tiga tahun ini aku sangat membencimu." Sesal ku.

***

Beberapa waktu berlalu. Rasa sesal untuk Aina masih tetap ada. Hanya doa yang bisa ku lantunkan untuk membayar rasa benci ku selama ini kepadanya.

"Ibu silakan masuk, Bapak sudah menunggu di dalam." Ucap sekertaris direktur perusahaan Widyatama. Atasan ku memintaku kemari untuk sebuah pekerjaan.

Aku masuk ke ruang direktur sambil membawa laptop dan beberapa berkas. Ku buka pintu perlahan sambil mengucap salam. Setelah mendengar balasan salam aku mulai masuk perlahan.

Betapa terkejutnya saat ku lihat Rendi duduk di sebuah kursi besar, kursi yang biasa dipakai oleh direktur. Jadi Rendi adalah direktur perusahaan ini. Bisa jadi, aku tidak banyak mendengar tentang perusahaan ini.

"Silakan duduk Tari." Ucap Rendi. Aku menjadi salah tingkah sekarang. Jantungku berdegup sangat kencang. Bagaimana aku bisa bekerja sekarang?

"Ehh, Tuan Dirga memintaku untuk kemari. Perusahaan kami me.. ah, perusahaan kami.. ah, perusahaan kami me..."

"Tari minumlah dahulu." Rendi menyodorkan segelas air minum kepadaku. Ahh, betapa malunya diriku saat ini. Bagaimana bisa? Ahh, tidak, ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Segugup-gugupnya diriku belum pernah hal buruk seperti ini terjadi. Apa yang harus ku lakukan? Aku ingin kabur dari sini, aku ingin menghilang. Aku sangat malu.

"Terimakasih, Aim sangat menyukaimu. Anak itu merengek minta bertemu dengan tante cantiknya. Sampai dia sakit saat ini. Aku tidak tahu bagaimana mencarimu. Untunglah aku berhasil mencari tahu tentang tempat kerjamu. Dan membuat rencana ini bersama direktur perusahaanmu."

"Hahh..", ucapku kaget. Jadi ini bukan untuk pekerjaan.

"Tari maukah kau menemui Aim? Sejak tiga hari demamnya tidak turun, dia terus menanyakan mu."

Aku mengangguk mengiyakan. Rendi pun senang dengan jawaban ku. Ahh, apa yang telah ku lakukan? Bagaimana bisa aku menyetujui ini semua dengan mudah? Tapi entahlah, di hatiku saat ini hanya ada Aim. Aku tidak mungkin membiarkan anak itu dalam keadaan seperti ini. Sejak pertama kali bertemu, aku telah jatuh hati padanya.

"Mbak Tari datang..", Rika berlari menghampiriku saat aku telah sampai di rumah Rendi. Aku tersenyum membalas sambutan hangat darinya.

"Bagaimana Aim?" Kalimat pertama yang Rendi ucapkan. Aku dan Rendi ke sini dengan mobil yang sama, Rendi di belakang kemudi dan aku di sampingnya. Tapi kami tidak saling bicara.

"Badannya masih panas Mas, sejak kemarin perutnya tidak kemasukan makanan. Kondisi tubunya semakin lemas." Jawab Rika.

"Bolehkah aku menemui Aim?" Pintaku meminta izin. Ah bodohnya, bukankah Rendi membawaku kemari untuk menemui Aim. Kenapa aku malah minta izin untuk bertemu dengannya.

"Aku antar Mbak." Rika membawaku ke kamar Aim.

"Aim, sayang, ini tante." Sapaku kepada anak malang itu. Rika benar, keadaan Aim sangat memprihatinkan. Aku bisa merasakan panas tubuhnya yang sangat tinggi saat memegang tangannya.

"Tante cantik..", ucap Aim lirih. Bibir anak ini sangat kering. Aku tidak tega melihatnya.

"Aim Sayang, cepet sembuh ya.. Nanti kita jalan-jalan sama beli es krim. Aim mau?"

"Mau, Aim mau jalan-jalan sama tante cantik."

"Tapi Aim harus sembuh dulu. Makan dulu yuk, ini tante suapin." Ucapku sambil menyodorkan sendok berisi bubur ke mulut anak itu. Awalnya Aim menolak tapi akhirnya dia mau juga. Semangkuk bubur pun telah habis pindah ke dalam perutnya. Rendi dan Rika sangat senang melihatnya.

"Sekarang Aim minum obat ya!" Pintaku yang dibalas dengan gelengan kepala keras darinya.

"Hei, siapa yang tadi mau jalan-jalan?" Rayuku yang ternyata sangat mempan untuk bocah kecil ini.

Tak lama Aim pun tidur di pelukanku. Bocah kecil ini mungkin sangat rindu dengan ibunya. Malang sekali nasibmu Nak. Kenapa Ayahmu tidak mencarikan ibu baru untukmu?

Ku lepaskan pelukan Aim dengan susah payah tanpa membangunkannya. Ini sudah sore aku harus pulang. Saat hendak ku beranjak dari kamar Ain, ku lihat papan nama dan foto Aim saat baru lahir.

"Anak ini mirip sekali dengan Aina." Batinku. Muhammad Ibrahim Adriansyah, nama panjang Aim di papan itu. Ku lihat tanggal lahir yang juga tertulis di sana. Dadaku tersentak, secara otomatis otakku menghitung ternyata Aim lahir setelah empat bulan pernikahan Rendi dan Aina. Aku masih ingat betul tanggal pernikahan mereka.

Entah kenapa rasa sakit di hatiku kembali muncul. Ternyata Rendi dan Aina telah memiliki hubungan saat Rendi masih menjadi kekasih ku. Hingga hadirlah Aim, anak yang harus mereka pertanggungjawabkan. Jahat sekali kalian, sebegitunya kalian menghianatiku. Tanpa terasa air mataku menetes.

Kupandang kembali wajah polos Aim. Seharusnya aku sangat membenci anak ini. Anak dari hasil penghianatan Rendi dan Aina. Tapi aku tidak sampai hati untuk membencinya.

"Kau benar, Aim lahir setelah empat bulan pernikahanku dan Aina." Tiba-tiba Rendi sudah berada di sebelahku. Aku terkejut, bagaimana bisa dia ada di sini? Dan bagaimana pula dia tahu apa yang tengah ku fikirkan?

"Jadi kalian memiliki hubungan di belakangku?" Entah dari mana keberanian itu ku dapatkan hingga kalimat tersebut bisa lolos dari bibirku.

Di luar dugaanku, Rendi malah tersenyum mendengarnya. Membuatku sedikit heran.

"Aim lahir empat bulan setelah kami menikah karena Aim adalah putra biologis dari Aina dan Dito."

Degg, aku sangat terkejut. Drama apa ini? Dito, aku mengenalnya. Aina pernah mengenalkanku padanya. Dito adalah kekasih Aina, namun Ayah Aina tidak merestui hubungan mereka. Karena Dito adalah berandalan.

"Setelah tau Aina hamil anaknya, Dito kabur. Aina sangat frustasi saat itu. Ayah Aina meminta Ayahku menikahkah kami untuk menutupi aib Aina. Ayahku tidak bisa menolak, keluarga kami memiliki hutang budi kepada keluarga Aina.

Kami pun menikah. Aku dan Aina adalah suami istri tapi kami tetap saling menjaga hati. Aina tidak pernah meminta hak nya sebagai istriku karena dia sangat menghargaimu sebagai sahabat dan cinta suaminya." Aku terkesima mendengarnya. Jika cerita ini benar berarti Aina dan Rendi tidak pernah berhubungan.

"Empat bulan kemudian Aina melahirkan. Namun takdir berkata lain. Karena pendarahan Aina meninggal, disusul dengan ayahnya yang tidak mampu menahan kesedihan karena kepergian putrinya. Dan tinggal lah bayi ini, Aim. Bayi yang tidak berdosa ini harus kehilangan ibu dan kakeknya dalam satu waktu. Dia hanya memiliki kami sebagai keluarganya."

"Kenapa kau tidak pernh memberitahu ku tentang ini semua Ren?" Tanyaku lirih.

Rendi menatapku tajam. Tatapan yang sama seperti dulu yang sering membuat ku terbuai. "Aku tidak ingin membebanimu Tari. Saat wisuda, aku melihat berapa bahagianya dirimu dan juga ibumu. Harapan ibu sangat besar kepadamu. Aku tidak ingin kamu terlibat jauh dalam masalah ini. Aku tidak ingin semua ini hanya akan menghalangi langkahmu untuk mengejar cita-citamu."

"Apa?" Ucapku dalam hati. Aku ingin menangis saat ini. Ternyata selama ini aku salah, Rendi tidak pernah menghianatiku.

Kenapa kau mau menerima Aim sebagaimana putramu?" Tanyaku kembali.

"Sepertimu yang menyayangi nya." Jawaban Rendi singkat. Tapi aku sangat faham apa maksudnya. Aim tidak berdosa, dia hidup sendiri.

Sejenak aku sangat salut dengan Rendi. Rasa benci dan marah yang selama ini ku rasakan untuknya kini hilang sudah. Mungkin Rendi benar, jika waktu itu dia mengatakan yang sebenarnya aku tidak akan menjadi Tari yang sekarang. Aku masih akan tetap menjadi Tari yang lemah.

"Aku harus pulang, sudah sore." Pamitku. Aku takut jika berlama-lama di sini akan menumbuhkan benih-benih yang telah terpendam.

"Aku akan mengantarmu."

"Ah, ah ti tidak tidak perlu. Mobil ku di kantor. Aku bisa ke sana naik taksi online. Aim membutuhkan mu." Ucapku gagap jantungku berdetak kencang

*****

Sejak saat itu Rendi sering membawa Aim menemuiku. Kami bertiga jadi sering menghabiskan waktu bersama. Aku sering menolak saat Rendi mengajakku tapi wajah polos Aim membuatku tidak bisa menolak. Apalagi bocah kecil itu semakin pintar, dia akan merengek dan menangis jika aku tidak menuruti permintaannya.

Mau tidak mau aku semakin sering bertemu Rendi. Meskipun tanpa terasa pelan-pelan rasa cinta di hatiku tumbuh kembali. Tapi tenang, aku bisa menahannya. Ini semua untuk Aim. Rendi pun melakukan nya pasti juga untuk Aim.

"Ciee, ada yang CLBK ni yee.."

Siapa lagi kalau bukan Sila. Mulut cablak nya membuatku harus menutupnya dengan tangan. "Diem nanti Rendi denger." Ucapku lirih.  Saat kami bertemu di acara reuni kampus.

"Eh gimana kalau dia nembak elo lagi? Atau malah dia minta elo jadi istrinya?"

"Diem lo!" Ucapku lagi dengan ancaman tangan mengepal. Sementara Sila malah terbahak melihatku. "Kita dekat karena Aim, anak itu sayang banget sama gue. Jadi mau enggak mau kita sering ketemu."

"Gue do'ain semoga elo selalu bahagia kayak gini." Kata Sila yang membuatku terkesan dan memeluknya erat.

*****

"Udah Aim tante capek banget. Huhhh, huuhhh.." Ucapku sambil mengatur nafas. Aku tidak kuat lagi untuk berlari bersama bocah itu. Entahlah, tenaga anak ini seperti tiada habisnya.

"Yahhh, yaudah Aim main sendiri aja." Kata anak itu dengan gayanya.

"Iyaa, tante tunggu sini. Jangan jauh-jauh ya!" Perintah ku. Seperti biasa, setiap akhir pekan Rendi dan Aim menjemputku untuk menghabiskan waktu bersama. Kali ini kami bermain di taman.

"Minum..", kata Rendi di sebelahku sambil membawakan ku sebotol air mineral. Dia memang tahu sekali apa yang ku butuhkan.

"Makasih", jawabku yang langsung menenggak minuman itu.

"Tari, kenapa kamu belum menikah?"

Uhuukkk, uhuukkk.. pertanyaan Rendi mampu membuatku terkejut dan tersedak.

"Tari kamu tidak apa-apa?" Tanya Rendi sambil menepuk punggungku. Malunya aku.

"Kamu cantik, baik, pintar, berkarir, tidak mungkin tidak ada yang menyukaimu." Ucap Rendi lagi yang ternyata melanjutkan obrolannya.

"Ahh aku.. aku.. kenapa kau juga tidak menikah lagi Ren? Aim juga butuh ibu." Aku balik bertanya. Ini semata-mata karena aku tidak bisa menjawab pertanyaan Rendi sebelumnya.

"Karena aku mencintaimu." Degg, jantungku mulai berdetak sangat kencang. Jika saja aku tidak pandai menahannya pasti aku sudah terkena serangan jantung. Aku tidak menyangka Rendi akan mengatakan hal itu. Aku tidak berfikir bahwa kisah ini masih ada lanjutannya.

"Dari dulu saat kita masih pacaran, saat aku dan Aina menikah, sampai sekarang rasa cintaku untuk mu tidak pernah berubah Tar. Kamu adalah satu-satunya perempuan yang aku cintai. Ya, mungkin keadaan sekarang sudah tidak seperti dulu. Aku telah menjadi duda beranak satu. Tapi apakah aku masih memiliki kesempatan untuk mencintaimu?"

Tenggorokan ku tiba-tiba kering, padahal baru saja air minum membasahi nya. Aku seperti tercekat, speechless, ah apalah namanya. Aku tidak bisa mengatakan apapun saat ini. Mengetahui jika Rendi masih mencintaiku adalah sebuah hal yang luar biasa bagi diriku.

"Tari, apakah aku masih memiliki kesempatan untuk mencintaimu kembali? Apakah aku masih memiliki kesempatan untuk menjadikan impian-impian kita dulu menjadi kenyataan? Apakah kau mau menjadi istriku, menjadi ibu dari Aim?"

Kali ini Rendi mengatakannya dengan tegas, dia terlihat sangat serius. Sementara aku hanya mampu meneteskan air mata.

"Tari, sayang, kenapa kau menangis? Lupakan semua masa lalu Tari. Kita harus melangkah ke depan. Aku akan berusaha membuatmu bahagia."

Tanpa mengatakan apapun kupeluk Rendi erat. Aku tidak ingin kehilangan laki-laki ini lagi.

"Aku mencintaimu Ren, aku sangat mencintaimu. Aku mau menjadi istrimu dan Ibu dari Aim. Aku akan menjaga kalian berdua sepenuh hatiku." Kuucapkan kalimat itu dengan yakin.

"Papa, Tante cantik...", Aim berlari menghampiri aku dan Rendi.

"Aim mau enggak kalau tante cantik jadi mamanya Aim?" Tanya Rendi sambil melirikku.

"Mauuu.. mauu..", jawab Aim girang.

Kami pun berpelukan bertiga. Seperti keluarga yang utuh pada umumnya.

Akhirnya, sepenggal kisah cinta yang penuh dengan drama ini berakhir dengan bahagia. Dan saat ini aku yakin jika cinta sejati akan selalu menang. Jodoh sudah ditentukan oleh Allah SWT. Kita hanya cukup meyakininya saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun