Beberapa hari berselang. Pertemuan dengan Rendi waktu itu kembali membawa perubahan bagi diriku. Suatu hal yang sedikit demi sedikit mulai terkubur, kini pelan-pelan muncul kembali. Tapi aku telah banyak belajar dari pengalaman. Setidaknya hal seperti ini tidak kembali membuatku terpuruk.
Pagi ini ku manfaatkan akhir pekan ku dengan berbelanja bulanan. Biasanya aku selalu meminta Sila menemani. Tapi hari ini Sila ada pekerjaan. Sedikit bersyukur sih tidak ada Sila, jadi tidak ada yang teriak-teriak dan malu-maluin. Tapi ternyata berbelanja tanpa Sila sepi, tidak seru.
"Tante cantik..", sebuah suara seperti berasa di dekatku, diikuti oleh tarikan dari kain celanaku.
"Aim..", sapaku saat tahu siapa yang menarik kain celanaku.
"Tante cantik..", Aim terus memanggilku seperti itu sambil memelukku. Kubalas pelukan kecil itu  dengan pelukan besar dari tubuhku. Aku merasa sangat senang jika anak kecil ini nyaman bersamaku.
Aku celingak celinguk ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan orang tua Aim. Aku tidak ingin bertemu Rendi kembali. Apalagi bertemu Rendi dan Aina. Ah tidak, aku tidak siap.
"Mbak Tari..", ku dengar seseorang memanggilku. Deg, suara perempuan. Apakah itu Aina?
Ku balik tubuhku perlahan, bagaimanapun juga aku harus siap jika itu adalah Aina. Tapi sejak kapan Aina memanggilku mbak?
"Mbak Tari, aku Rika. Masih ingat?" Ucapnya kembali. Aku tersenyum, syukurlah dia bukan Aina.
"Rika, apa kabar kamu?" Kuhampiri perempuan itu yang ternyata adalah adik dari Rendi.
"Alhamdulillah baik, mbak apa kabar?"