"Saya sudah di lokasi Mba. Makasih atas semangatnya yaa.."
Baiklah, sekarang sudah waktunya aku fokus pada kontes ini. Tepat pukul delapan pagi, antrian untuk registrasi ulang peserta kontes dibuka. Giliranku maju menghampiri meja salah satu panitia. Karena aku mendapat nomor antrian ke sembilan, maka namaku masuk pada kontes sesi pertama dan akan mulai berkompetisi setelah kegiatan registrasi ulang peserta kontes resmi ditutup. Aku kembali menuju ke kursi tunggu peserta kontes setelah mendapat tanda registrasi ulang. Sambil menunggu waktu dimulainya kompetisi, aku duduk membuka ponsel dan membaca kembali artikel-artikel yang membahas tentang kopi.
Sesekali aku mendongak ke arah beberapa kelompok orang yang berdiri di tiap sisi-sisi ruang aula. Jarak antar kelompok itu rata-rata tidak jauh. Aku rasa, mereka calon penonton ataupun pendukung dari peserta kontes antar barista ini. Ketika memandang ke arah kiriku, aku sempat tidak yakin dengan apa yang ku lihat. Aku memastikannya sekali lagi, membuka mataku lebar-lebar. Lelaki bertubuh gemuk dengan kaus oblong hitam itu melambaikan tangan dan tersenyum padaku. Diikuti gerakan keempat orang di sampingnya yang juga melambaikan tangan mereka padaku.
Sekarang aku sudah yakin kalau yang berada disana adalah Dion, Faris, Mutia, Eka dan Rena. Dengan ekspresi setengah terkejut, aku membalas lambaian tangan mereka semua. Ponselku bergetar, tanda pesan masuk. Aku kembali menundukkan kepala membaca pesan yang baru saja ku terima. Ternyata Mutia yang mengirim pesan dari seberang sana.
"Nanti kita-kita nonton di kursi penonton ya Mel. Kita disuruh tutup kedai hari ini sama Mba Lidya, dia pasti tahu kalau sebetulnya kita-kita pingin lihat kamu disini."
"Wah.. Makasih yaa semuanya sudah mau repot-repot kesini."
Aku jadi merasa tidak enak pada Mba Lidya, dia mau merelakan satu hari ini menutup kedainya. Padahal ini kan hari Sabtu, biasanya kedai akan sangat ramai oleh para pelanggan.
Pukul sembilan lewat tiga puluh menit, dua puluh orang peserta kontes di sesi pertama dipersilahkan masuk ke dalam ruang kompetisi. Tampak para calon penonton juga telah mengisi tribun penonton sedikit demi sedikit. Aku berdiri di baris kedua dari depan dan baris kedua juga dari sebelah kiri jika dipandang oleh tim juri yang berjajar di hadapan kami.
Kedua puluh peserta kontes telah mengenakan celemek yang berwarna merah marun. Di hadapan kami masing-masing kini terdapat sebuah meja persegi yang di atasnya terdapat sebuah mangkuk berisi bubuk kopi hitam hasil gilingan, sebotol susu cair, shaker, dua buah cangkir kosong, milk jug, termos berisi air panas serta sebuah aeropress. Setelah kami mendapat pengarahan dari salah seorang panitia, kompetisi dimulai pukul sepuluh tepat.
Awalnya kami diminta untuk membuat salah satu dari tiga macam bentuk dasar latte art. Kami bebas memilih bentuknya, lantas aku sigap menentukan akan membuat bentuk tulip. Agar peserta tidak terburu-buru mengerjakannya maka kami diberi waktu dua puluh menit untuk menyelesaikannya pada bagian ini. Aku pun mulai berkonsentrasi mengerjakannya dengan tahapan yang sesuai standar.
Kini secangkir kopi latte berhiaskan toping berbentuk tulip telah tersaji di depan mataku. Dari bentuknya aku telah merasa puas, namun untuk rasa aku harap dapat diberi penilaian yang baik oleh tim juri. Setelah dua puluh menit, tim juri yang terdiri dari empat orang berkeliling ke meja kami masing-masing dan mencicipi hasil racikan kopi kami. Mereka tentu menilai dari segi kerapihan, bentuk, warna serta rasa seduhan kopi itu sendiri. Aku pun harus optimis.