Rara dan Dina
Rara dan Dina adalah sahabat sejak kecil. Mereka selalu bersama di sekolah maupun di luar sekolah. Mereka juga memiliki kepribadian yang berbeda. Rara adalah siswi yang rajin, tekun, dan bertanggung jawab. Dia selalu mendapat nilai bagus di semua mata pelajaran. Dina adalah siswi yang ceria, percaya diri, dan suka bersosialisasi. Dia pandai bergaul dengan semua orang, tetapi kurang serius dalam belajar. Suatu hari, mereka mendapat tugas kelompok untuk membuat makalah tentang sejarah Indonesia. Rara bertugas sebagai ketua kelompok, sedangkan Dina sebagai anggota. Mereka berdua harus bekerja sama untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Rara dan Dina adalah teman sekelas yang berbeda sifat dan penampilan. Rara adalah seorang gadis yang pendiam dan suka membaca buku. Ia berambut hitam panjang dan berkulit sawo matang. Ia memiliki mata cokelat dan hidung mancung. Ia biasanya mengenakan seragam sekolahnya yang terdiri dari kemeja putih, dasi merah, rok abu-abu, dan sepatu hitam. Dina adalah seorang gadis yang ceria dan suka bergaul. Ia berambut pirang pendek dan berkulit putih. Ia memiliki mata biru dan hidung mungil. Ia biasanya mengenakan seragam sekolahnya yang terdiri dari kemeja biru, dasi kuning, rok merah, dan sepatu putih. Suatu hari, mereka berdua mendapat tugas kelompok untuk membuat presentasi tentang budaya Indonesia. Mereka harus bekerja sama dan mencari informasi dari berbagai sumber.
Rara sangat serius dalam mengerjakan tugasnya. Dia membaca banyak buku dan sumber referensi lainnya untuk mencari informasi yang relevan dan akurat. Dia juga membuat kerangka dan rancangan makalahnya dengan rapi dan terstruktur.
Dina tidak terlalu peduli dengan tugasnya. Dia lebih suka bermain game, menonton film, atau mengobrol dengan teman-temannya. Dia berpikir bahwa tugasnya bisa diselesaikan dengan mudah, asal ada Rara yang membantunya. Rara dan Dina pun pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku-buku yang relevan.
Rara: Dina, kamu bisa cari buku tentang tari-tarian tradisional Indonesia? Aku mau cari buku tentang pakaian adat dan senjata khas.
Dina: Baiklah, Rara. Tapi jangan lama-lama ya. Aku mau cepat selesai tugas ini. Aku ada janji sama pacarku nanti sore.
Rara: Iya, iya. Aku juga mau cepat selesai. Tapi kita harus kerjakan dengan baik, Dina. Ini kan nilai akhir semester kita.
Dina: Tenang aja, Rara. Kita pasti bisa. Kamu kan pintar, aku kan cantik. Kita kombinasi sempurna. (tersenyum)
Rara: (menggelengkan kepala) Kamu itu, Dina. Selalu saja bercanda. Ayo, kita cari buku-bukunya.
Dina: Oke, oke. Aku ikut kamu.
Mereka pun berjalan ke rak buku yang berisi koleksi tentang budaya Indonesia. Rara mencari buku dengan teliti, sementara Dina mencari buku dengan asal. Rara menemukan beberapa buku yang bagus, sementara Dina hanya menemukan satu buku yang tipis. Mereka pun membawa buku-buku itu ke meja dan mulai membacanya.
Rara: Dina, kamu baca buku apa itu?
Dina: Ini buku tentang tari-tarian tradisional Indonesia. Tapi isinya cuma sedikit. Cuma ada gambar-gambar tariannya aja.
Rara: Kamu gak bisa pakai buku itu, Dina. Kita harus cari buku yang lebih lengkap. Yang ada penjelasan tentang sejarah, makna, dan gerakannya.
Dina: Ah, susah amat sih, Rara. Bukannya kita bisa cari di internet aja? Kan lebih mudah dan praktis.
Rara: Tapi kita gak boleh cuma ngandelin internet, Dina. Kita harus pakai sumber yang kredibel dan akurat. Buku-buku ini kan sudah ditulis oleh ahli-ahli yang berpengalaman.
Dina: Ya sudah, ya sudah. Kamu cari buku yang lain aja. Aku tunggu di sini. Aku mau main hape dulu. (mengeluarkan hape dari tasnya)
Rara: (menghela napas) Dina, kamu gak serius nih. Kita harus kerja sama, Dina. Kita gak bisa kerja sendiri-sendiri.
Dina: Iya, iya. Nanti aku bantu kamu. Sekarang aku mau istirahat dulu. Aku capek, Rara. Aku kan baru pulang dari les piano.
Rara: (menggigit bibir) Baiklah, Dina. Tapi jangan lama-lama ya. Kita harus segera selesai tugas ini. Besok kan harus dikumpulkan.
Dina: Iya, iya. Tenang aja, Rara. Kita pasti bisa. Kamu kan pintar, aku kan cantik. Kita kombinasi sempurna. (tersenyum lagi)
Rara: (menggelengkan kepala lagi) Kamu itu, Dina. Selalu saja bercanda. (berdiri dan berjalan ke rak buku lagi).
Rara mulai mengetik makalahnya di laptop, sementara Dina duduk di sofa dan memainkan ponselnya. Rara sesekali menoleh ke arah Dina dan menunjukkan ekspresi kesal. Dina tidak menyadari hal itu dan terus asyik dengan ponselnya.
Setelah beberapa jam, Rara akhirnya menyelesaikan makalahnya. Dia mencetaknya dan memberikannya kepada Dina untuk dibaca dan dikoreksi.
Rara: Dina, tolong baca dan koreksi makalah ini. Aku sudah capek banget. Kamu bisa bantu aku sedikit, kan?
Dina: (menatap makalah itu dengan malas) Eh, udah selesai? Wah, kamu hebat, Rara. Aku bangga punya sahabat seperti kamu. (mengambil makalah itu dan membacanya sekilas)
Rara: (mengerutkan dahi) Dina, jangan cuma puji-puji doang. Baca yang bener, dong. Ini kan tugas kita berdua. Kamu juga harus ikut bertanggung jawab.
Dina: (mengangkat bahu) Ya udah, ya udah. Aku baca kok. (membaca makalah itu dengan cepat dan sembarangan)
Dina tidak benar-benar membaca makalah itu. Dia hanya melihat judul, subjudul, dan kesimpulan. Dia tidak memperhatikan isi, struktur, dan bahasa makalah itu. Dia menganggap bahwa makalah itu sudah sempurna, karena dibuat oleh Rara.
Dina: (menyerahkan kembali makalah itu kepada Rara) Nah, udah selesai. Makalahnya bagus banget, Rara. Aku yakin kita bakal dapet nilai A. Kamu memang jenius. (tersenyum lebar)
Rara: (mengambil makalah itu dan melihatnya dengan curiga) Kamu yakin udah baca semua? Kamu nggak nemuin ada yang salah atau kurang?
Dina: (menggelengkan kepala) Nggak ada, kok. Semuanya udah oke. Kamu nggak usah khawatir. Ayo, kita istirahat dulu. Aku lapar nih. Kamu ada cemilan apa? (berdiri dan berjalan ke dapur)
Rara: (menghela napas) Ya sudah, deh. Aku percaya sama kamu. (menyimpan makalah itu di dalam tas dan mengikuti Dina ke dapur).
******
Keesokan harinya Rara dan Dina datang ke sekolah dengan membawa makalah mereka. Mereka berjalan menuju kelas mereka, sambil berbincang-bincang.
Dina: (berceria) Wah, hari ini cuacanya cerah banget, ya. Aku seneng banget. Apalagi kita udah selesai tugas kita. Kita bisa santai-santai sekarang.
Rara: (tersenyum) Iya, aku juga seneng. Tapi jangan terlalu santai, ya. Kita masih harus belajar untuk ujian minggu depan.
Dina: (mengeluh) Ah, jangan ngomongin ujian, dong. Bikin stres aja. Lagian, kita kan masih punya waktu. Kita bisa belajar nanti sore. Sekarang, kita nikmatin aja hari ini.
Rara: (mengangguk) Ya, ya. Tapi jangan lupa, ya. Kita harus belajar dengan serius. Jangan cuma main-main.
Dina: (mengangkat jempol) Siap, bos. Aku janji. (mengedipkan mata)
Rara dan Dina sampai di kelas mereka. Mereka melihat guru sejarah mereka sudah ada di depan kelas. Mereka segera masuk ke kelas dan mencari tempat duduk mereka.
Guru: Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kita akan mengumpulkan tugas makalah yang sudah saya berikan minggu lalu. Siapa yang sudah selesai?
Kelas: (serempak) Saya, Pak!
Guru: Baiklah. Saya minta satu perwakilan dari setiap kelompok untuk mengumpulkan makalahnya ke meja saya. Cepat, ya. Jangan lama-lama.
Rara dan Dina saling berpandangan. Mereka sepakat bahwa Rara yang akan mengumpulkan makalah mereka. Rara berdiri dan berjalan menuju meja guru dengan membawa makalahnya. Dia meletakkan makalahnya di atas tumpukan makalah lainnya.
Guru: (menatap makalah Rara dan Dina) Ini makalah kelompok kamu, Rara?
Rara: (mengangguk) Iya, Pak. Ini makalah kami.
Guru: (membuka makalah itu dan membacanya sebentar) Hmm, judulnya menarik. "Peran Pahlawan Nasional dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia". Kamu yang buat judulnya, Rara?
Rara: (menggelengkan kepala) Nggak, Pak. Itu ide dari Dina.
Guru: (terkejut) Oh, begitu. Dina yang punya ide judulnya? (menoleh ke arah Dina yang sedang tersenyum bangga)
Dina: (mengangkat tangan) Iya, Pak. Saya yang kasih ide judulnya. Bagus, kan, Pak?
Guru: (mengangguk) Ya, bagus. Tapi, apakah kamu juga ikut menulis isi makalahnya?
Dina: (terdiam sejenak) Ehm, tentu saja, Pak. Saya juga ikut menulis isi makalahnya. Saya kan anggota kelompok Rara. Kami bekerja sama, Pak.
Guru: (tidak percaya) Oh, begitu. Kamu bekerja sama dengan Rara? Kamu yakin?
Dina: (mengiyakan) Iya, Pak. Saya yakin. Kenapa, Pak?
Guru: (menunjukkan makalah itu kepada Dina) Kalau begitu, coba kamu jelaskan ke saya apa isi dari paragraf kedua di halaman ketiga ini. (membacakan) "Salah satu pahlawan nasional yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah Bung Tomo. Bung Tomo adalah pemimpin perlawanan rakyat Surabaya melawan penjajah Belanda dan Inggris pada tahun 1945. Bung Tomo dikenal sebagai orator yang mampu membangkitkan semangat juang rakyat dengan pidato-pidatonya yang menggelegar. Bung Tomo juga memiliki keberanian dan kelicikan yang luar biasa dalam menghadapi musuh."
Dina: (bingung) Ehm, ehm. Paragraf itu... (mencoba mengingat) Paragraf itu... (terdiam)
Guru: (menatap Dina dengan tajam) Ya, paragraf itu apa?
Dina: (gugup) Paragraf itu... (mengarang) Paragraf itu... menjelaskan tentang... Bung Tomo... yang... yang... (berhenti)
Guru: (menyela) Yang apa?
Dina: (panik) Yang... yang... (melirik ke arah Rara yang sedang menunduk malu)
Rara: (berbisik) Yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dina: (mengulangi) Yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Guru: (mendengus) Itu kan sudah ada di awal paragraf. Kamu nggak bisa baca, ya? Kamu nggak bisa mengerti apa yang kamu tulis, ya?
Dina: (menunduk) Maaf, Pak. Saya... saya...
Guru: (marah) Saya tahu apa yang kamu lakukan, Dina. Kamu nggak ikut menulis makalah ini sama sekali, kan? Kamu cuma manfaatkan Rara yang sudah bekerja keras, kan? Kamu cuma mau dapet nilai bagus tanpa usaha, kan?
Dina: (terisak) Nggak, Pak. Bukan begitu, Pak. Saya... saya...
Guru: (menghentikan) Sudah, sudah. Jangan pura-pura menangis. Kamu nggak bisa bohong sama saya. Saya sudah tahu sifat kamu dari dulu. Kamu selalu malas dan mengandalkan orang lain. Kamu nggak punya tanggung jawab dan disiplin. Kamu harus berubah, Dina. Kamu harus belajar dari Rara. Dia itu sahabat kamu yang baik. Dia selalu membantu kamu. Tapi kamu jangan cuma manfaatkan dia. Kamu harus hargai dia. Kamu harus bersyukur punya sahabat seperti dia.
Guru mengembalikan makalah itu kepada Rara dan Dina dengan ekspresi kecewa. Dia melanjutkan mengumpulkan makalah dari kelompok lain. Rara dan Dina kembali ke tempat duduk mereka dengan perasaan bersalah. Mereka tidak berani menatap satu sama lain. Mereka merasa telah mengecewakan guru dan sahabat mereka.
Dina merasa sangat malu dan takut ketika gurunya menanyakan isi makalah yang dia dan Rara buat. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan gurunya, karena dia tidak ikut menulis makalah itu sama sekali. Dia hanya mengandalkan Rara yang sudah bekerja keras sendirian.
Dina mencoba untuk berbohong dan mengelak dari kritikan gurunya. Dia berpura-pura bahwa dia sudah membaca dan mengerti makalah itu. Dia berpura-pura bahwa dia sudah bekerja sama dengan Rara. Dia berpura-pura bahwa dia sudah bertanggung jawab dan disiplin.
Tetapi gurunya tidak percaya dengan omong kosong Dina. Gurunya sudah tahu sifat Dina yang malas dan tidak serius. Gurunya sudah tahu bahwa Dina selalu memanfaatkan Rara yang pintar dan rajin. Gurunya sudah tahu bahwa Dina tidak punya rasa hormat dan hargai kepada Rara.
Gurunya marah besar kepada Dina. Gurunya menegur dan mencela Dina di depan kelas. Gurunya mengatakan bahwa Dina telah bersikap salah dan tidak adil kepada Rara. Gurunya mengatakan bahwa Dina telah menyalahgunakan kepercayaan dan persahabatan Rara. Gurunya mengatakan bahwa Dina harus berubah dan belajar dari Rara.
Dina merasa sangat terpukul dan tersinggung dengan kritikan gurunya. Dia merasa bahwa gurunya tidak menghargai dan menghormati dirinya. Dia merasa bahwa gurunya tidak adil dan tidak objektif. Dia merasa bahwa gurunya lebih memihak dan lebih menyukai Rara.
Dina tidak mau menerima kritikan gurunya. Dia tidak mau mengakui kesalahannya. Dia tidak mau meminta maaf kepada Rara. Dia tidak mau berubah menjadi lebih baik. Dia hanya mau membela dirinya sendiri.
Dina menangis dan menjerit kepada gurunya. Dia mengatakan bahwa gurunya tidak tahu apa-apa. Dia mengatakan bahwa gurunya tidak punya hak untuk menghakimi dirinya. Dia mengatakan bahwa gurunya tidak peduli dengan perasaan dan kepentingan dirinya.
Dina berlari keluar dari kelas dengan marah. Dia meninggalkan Rara yang sedih dan bingung. Dia meninggalkan gurunya yang kecewa dan heran. Dia meninggalkan kelas yang gempar dan heboh.
Dina tidak mau menghadapi kritikan dari gurunya. Dia tidak mau menghadapi masalah yang dia buat. Dia tidak mau menghadapi kenyataan yang dia hadapi. Dia hanya mau lari dari semuanya.
Dina berlari keluar dari kelas dengan marah. Dia tidak peduli dengan pandangan dan bisikan teman-temannya. Dia tidak peduli dengan panggilan dan perintah gurunya. Dia hanya ingin pergi dari tempat itu. Dia hanya ingin pergi dari semua masalahnya.
Dina berlari menuju lapangan sekolah. Dia mencari tempat yang sepi dan teduh. Dia menemukan sebuah bangku di bawah pohon rindang. Dia duduk di sana dan menangis. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia menangis tanpa henti.
Rara merespon perilaku Dina dengan rasa sedih dan bingung. Dia tidak mengerti mengapa Dina bersikap begitu. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia ingin mengejar dan menenangkan Dina, tetapi dia juga takut membuatnya semakin marah. Dia ingin membela dan menjelaskan dirinya kepada gurunya, tetapi dia juga malu dengan apa yang terjadi. Dia ingin memperbaiki hubungan mereka, tetapi dia juga kecewa dengan sikap Dina.
Rara merasa terjebak di antara sahabat dan guru. Dia merasa terjebak di antara cinta dan marah. Dia merasa terjebak di antara maaf dan dendam. Dia merasa terjebak di antara harapan dan kenyataan.
Guru merespon perilaku Dina dengan marah dan kecewa. Guru menegur dan mencela Dina di depan kelas. Guru mengatakan bahwa Dina telah bersikap salah dan tidak adil kepada Rara. Guru mengatakan bahwa Dina telah menyalahgunakan kepercayaan dan persahabatan Rara. Guru mengatakan bahwa Dina harus berubah dan belajar dari Rara.
Guru berharap Dina bisa menyadari kesalahannya dan memperbaiki sikapnya. Guru ingin Dina bisa lebih rajin, bertanggung jawab, dan disiplin dalam belajar. Guru ingin Dina bisa menghargai dan menghormati Rara sebagai sahabatnya. Guru ingin Dina bisa menjadi siswa yang lebih baik dan lebih berkualitas.
****
Sementara itu diluar kelas, Dina merasa sangat sedih dan kesal. Dia merasa bahwa hidupnya tidak adil. Dia merasa bahwa semua orang membencinya. Dia merasa bahwa semua orang menyalahkannya. Dia merasa bahwa semua orang tidak mengerti dirinya.
Dina merasa sangat sendiri dan terasing. Dia merasa bahwa tidak ada yang peduli padanya. Dia merasa bahwa tidak ada yang mau mendengarkannya. Dia merasa bahwa tidak ada yang mau membantunya. Dia merasa bahwa tidak ada yang mau menjadi sahabatnya.
Dina merasa sangat putus asa dan frustasi. Dia merasa bahwa tidak ada harapan untuk dirinya. Dia merasa bahwa tidak ada tujuan untuk hidupnya. Dia merasa bahwa tidak ada arti untuk eksistensinya. Dia merasa bahwa tidak ada guna untuk berusaha.
Dina menutup matanya dan menghela napas. Dia berharap semua ini hanya mimpi buruk. Dia berharap dia bisa bangun dan melupakan semuanya. Dia berharap dia bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Dia berharap dia bisa mendapatkan kesempatan kedua.
Tetapi Dina tahu bahwa itu semua tidak mungkin. Dia tahu bahwa ini adalah kenyataan. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi konsekuensi dari perbuatannya. Dia tahu bahwa dia harus bertanggung jawab atas kesalahannya. Dia tahu bahwa dia harus berubah menjadi lebih baik.
Dina membuka matanya dan mengusap air matanya. Dia berusaha untuk tenang dan berpikir positif. Dia berusaha untuk bersikap dewasa dan bijaksana. Dia berusaha untuk bersikap jujur dan tulus. Dia berusaha untuk bersikap ramah dan sopan.
Dina berdiri dan berjalan kembali ke kelas. Dia ingin meminta maaf kepada gurunya. Dia ingin meminta maaf kepada Rara. Dia ingin meminta maaf kepada semua orang. Dia ingin memperbaiki hubungan dan reputasinya. Dia ingin memperbaiki diri dan prestasinya.
Dina berharap gurunya bisa memaafkannya. Dia berharap Rara bisa tetap menjadi sahabatnya. Dia berharap semua orang bisa menerimanya. Dia berharap dirinya bisa menjadi lebih bahagia. Dia berharap hidupnya bisa menjadi lebih baik.
****
Setelah pelajaran sejarah selesai, Rara dan Dina keluar dari kelas dengan perasaan berat. Mereka tidak berbicara satu sama lain. Mereka hanya berjalan dengan diam.
Rara merasa kecewa dan marah kepada Dina. Dia merasa telah dikhianati oleh sahabatnya sendiri. Dia merasa telah dimanfaatkan oleh Dina untuk mengerjakan tugas yang seharusnya mereka kerjakan bersama. Dia merasa tidak dihargai dan tidak dihormati oleh Dina.
Dina merasa bersalah dan malu kepada Rara. Dia sadar bahwa dia telah bersikap salah kepada sahabatnya. Dia sadar bahwa dia telah mengecewakan dan menyakiti Rara dengan tidak membantu mengerjakan tugas mereka. Dia sadar bahwa dia telah merusak hubungan mereka dengan kebohongan dan kemalasannya.
Rara dan Dina sampai di halaman sekolah. Mereka berhenti dan saling menatap. Mereka ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Rara: (menghela napas) Dina, aku mau ngomong sama kamu.
Dina: (mengangguk) Aku juga, Rara.
Rara: (menatap Dina dengan tajam) Kamu tahu, kan, apa yang kamu lakukan itu salah?
Dina: (menunduk) Iya, Rara. Aku tahu. Aku minta maaf.
Rara: (menggerutu) Maaf? Cuma itu yang bisa kamu bilang? Maaf?
Dina: (mengangkat kepala) Nggak, Rara. Bukan cuma itu. Aku juga mau bilang terima kasih.
Rara: (terkejut) Terima kasih? Untuk apa?
Dina: (menatap Rara dengan tulus) Untuk semuanya, Rara. Untuk sudah menjadi sahabatku yang baik. Untuk sudah membantuku dengan tugas-tugas sekolah. Untuk sudah mengajarkanku banyak hal. Untuk sudah sabar dan setia padaku. Aku terima kasih banget, Rara. Aku sayang kamu, Rara.
Rara: (terharu) Dina...
Dina: (melanjutkan) Tapi aku juga mau minta maaf, Rara. Aku minta maaf banget. Aku minta maaf karena sudah mengecewakan kamu. Aku minta maaf karena sudah menyakiti kamu. Aku minta maaf karena sudah memanfaatkan kamu. Aku minta maaf karena sudah berbohong sama kamu. Aku minta maaf karena sudah menjadi sahabat yang buruk. Aku minta maaf banget, Rara. Aku minta maaf.
Rara: (terdiam)
Dina: (menangis) Aku tahu aku salah, Rara. Aku tahu aku nggak pantas jadi sahabatmu. Aku tahu aku nggak bisa memperbaiki apa yang sudah aku rusak. Tapi aku mohon, Rara. Aku mohon kamu mau memaafkanku. Aku mohon kamu mau memberiku kesempatan kedua. Aku mohon kamu mau tetap jadi sahabatku. Aku mohon, Rara. Aku mohon.
Dina memeluk Rara dengan erat. Dia menangis di bahu Rara. Dia berharap Rara bisa memaafkannya. Dia berharap Rara bisa tetap jadi sahabatnya.
Rara merasakan air mata Dina membasahi bajunya. Dia merasakan rasa bersalah Dina yang mendalam. Dia merasakan rasa sayang Dina yang tulus. Dia merasakan rasa haru yang menggugah hatinya.
Rara: (mengelus rambut Dina) Dina, Dina. Kamu nggak usah nangis, ya. Kamu nggak usah mohon-mohon, ya. Kamu nggak usah khawatir, ya.
Dina: (terkejut) Rara?
Rara: (tersenyum) Aku udah maafin kamu, Dina. Aku udah kasih kamu kesempatan kedua, Dina. Aku tetap jadi sahabatmu, Dina.
Dina: (berceria) Rara?
Rara: (mengangguk) Iya, Dina. Aku sayang kamu juga, Dina. Kamu sahabatku yang terbaik, Dina.
Dina: (berteriak) Rara!
Dina memeluk Rara lebih erat. Dia tersenyum lebar. Dia merasa lega dan bahagia. Dia merasa beruntung dan bersyukur. Dia merasa mendapat anugerah dan karunia.
Rara dan Dina berpelukan dengan hangat. Mereka menangis dan tertawa bersama. Mereka merasakan cinta dan persahabatan mereka. Mereka merasakan keajaiban dan keindahan hidup.
Rara dan Dina berhasil memperbaiki hubungan mereka. Dina berubah menjadi lebih rajin dan bertanggung jawab. Rara memaafkan Dina atas kesalahannya. Mereka menjadi sahabat yang lebih baik dan lebih kuat. Mereka menjadi sahabat sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H