Day 1 of 30
Bandara Heathrow menjadi saksi pertamaku menginjakkan kaki di negeri Putri Diana yang aku idolakan itu. Dinihari tadi aku diantar ayah-ibu dan keluargaku ke Bandara Soekarno-Hatta. Sore ini, pada hari yang sama, sekitar pukul 4 sore, aku sudah sampai di Bandara terbesar kerajaan Inggris Raya, menunggu seorang lelaki datang menjemputku. Duduk manis di sebuah kafe, menikmati segelas coklat krim panas, pikiranku melanglang buana. Siapa sangka, anak manusia seperti aku, satu-satunya transportasi umum yang belum pernah aku naiki dan sudah menjadi mimpiku bertahun-tahun ini, justru membawaku hingga ke negeri orang selama 17 jam. Lama, jauh, belum pernah menginjakkan kaki di dalam bandara mana pun, dan kini aku harus menunggu seorang diri selama beberapa lama di dalam bandara orang asing. Menjelajah kesana-kemari, memegang telepon umum koin yang sudah menjadi barang langka di negaraku, melihat orang lalu-lalang, para petugas dan staf bandara, pilot dan pramugari, semua nampak asing bagiku, seperti dalam film-film Barat yang aku saksikan di TV atau bioskop ataupun video. Aku masuk film, pikirku melayang-layang, antara bahagia dan bosan menunggu.
Mataku terus menatap ke pintu kaca besar di depan sana. Orang-orang keluar-masuk dari tadi, tapi tak satu pun postur tubuh yang aku kenali. Meski mereka semua, bisa dibilang hampir sama, rata-rata putih dan jauh lebih besar dariku, tapi tak ada postur lelaki besar yang rapi, yang aku tunggu-tunggu hingga segelas coklat panasku menguap habis. Aku sungkan terus duduk di kafe itu. Aku bosan terus duduk di sana. Aku lelah. Menunggu, tanpa ada kepastian. Kembali aku langkahkan kaki kesana-kemari, mendekati si pintu kaca besar, menengok ke kanan dan ke kiri, tapi aku harus segera pergi dari sana, sebab pintu itu ramai lalu-lalang orang, dan aku tidak ingin mengganggu mereka. Aku duduk di salah satu bangku menghadap tepat ke pintu itu. Mataku terus menatap kesana-kemari. Aku meilhat orang-orang ramai menggunakan telepen umum yang berjajar-jajar di sana, nampak mudah, lalu aku mencoba menuju ke sana, ingin menelepon seorang lelaki yang berjanji akan menjemputku di bandara ini. Kupegang gagang teleponnya, kuangkat, kuletakkan di telingaku, berbunyi, lalu aku letakkan kembali. Aku baca tulisan yang ada di kotak telepon itu. Aku ingat bagaimana cara menggunakan telepon umum koin di negaraku beberapa tahun yang lalu, saat aku tidak memiliki handphone, tapi itu pun sangat jarang aku lakukan. Koin, aku butuh koin, koin Inggris, dan aku tidak memilikinya. Uang yang ada di dalam dompetku adalah rupiah, dollar Amerika, rupee India dan entah satu lagi apa, Arab Saudi mungkin, atau ringgit Malaysia. Lalu aku hanya menatap kesana-kemari, ke jajaran kafe-kafe yang ada di dalam ruangan itu, dan orang-orang yang menggunakan telepon koin. Aku kembali menuju bangku di dekat lift, menghadap ke pintu kaca besar. Aku lelah. Bosanku sudah tingkat tinggi. Menunggu adalah hal yang paling aku benci dalam hidupku, apalagi aku tidak bisa berkomunikasi dengan lelaki putih besar yang akan menjemputku.
Aku sudah pasrah. Berapa lama lagi aku harus menunggu, aku pasrah. Aku sandarkan punggungku ke sandaran bangku itu. Aku letakkan kepalaku menengadah ke langit-langit ruang tunggu di bandara itu. Aku menggambar di dinding-dinding putih langit-langit itu. Aku bosan. Aku bangkit lagi. Aku tegakkan punggungku, aku duduk menghadap lantai, dan aku sandarkan mukaku di kedua belah tangganku. Kembali dicekam bosan. Aku mengembalikan lagi punggungku dengan kesal ke sandaran bangku panjang itu. Mataku menatap orang-orang yang dari tadi tidak pernah berhenti berlalu-lalang di ruangan ini. Aku benar-benar berada di puncak kebosanan. Aku ingin menangis. Aku marah. Aku sedih. Aku sangat kecewa. Entah seperti apa mukaku kini. Perempuan kecil berkulit sawo matang, menunggu seorang diri, dan akulah penunggu yang paling setia berada di sana, yang lain sudah satu per satu meninggalkan ruang tunggu ini.
Day 2 of 30
Silih berganti rombongan orang keluar dari pintu di dekat kafe tempat aku menikmati coklat krim panas di Inggris untuk pertama kalinya tadi. Kebanyakan mereka berpostur lebih besar dariku. Ada beberapa, dan sangat jarang, yang memiliki postur sepertiku, tapi tak satupun perduli padaku. Ada seorang wanita, aku pikir ia wanita Indonesia, yang keluar dari sana, menatapku, lalu memalingkan wajahnya. Dia menunggu sepertiku, tapi ketika aku kembali menoleh padanya, seseorang sudah berada di sisinya dan membantunya mengangkat tas-tas bawaannya. Entah dari mana lelaki itu berasal. Geramnya aku. Dadaku berasa diaduk-aduk tak menentu. Ini tidak adil. Aku yang sudah menunggu dari tadi, belum juga beranjak dari sini, dia yang baru datang, dan sekarang sudah melewati pintu kaca besar di depanku. Ah, sebel. Sebel.
Aku mencoba berjalan-jalan lagi. Kali ini mataku lebih 'jelalatan', yang ada di kepalaku adalah gentong. Ya, aku mencari gentong. Kerajinan tanah liat sebesar tong sampah yang menggendut di tengah dan mengecil di bagian atas untuk memasukan air dan gayung. Mungkin orang sekarang takkan tahu apa itu gentong, tapi aku tahu, sebab keadaanku sekarang ini membawa otakku menemukan gentong di negara maju macam Inggris ini. Â Aku akan memanggil nama lelaki bule penjemputku itu di dalam gentong. Akan aku masukkan kepalaku ke dalam gentong, dan akan aku desiskan namanya di sana, agar dia mendengarkan panggilanku yang sudah menunggunya terlalu lama. Akan aku katakan padanya, aku mulai ketakutan.
Pikiranku melanglang liar. Ini negara asing. Jauh. Aku tidak punya siapapun di sini selain penjemputku nanti. Aku tidak kenal siapapun. Aku tidak punya uang untuk membeli tiket pesawat balik ke Indonesia. Aku tidak tahu ke mana harus mencari pertolongan. Dan baru kali ini aku pergi ke luar negeri. Lengkaplah sudah. Bagaimana jika dia tidak datang? Bagaimana jika dia tidak menjemputku hari ini? Bagaimana malam nanti? Bagaimana aku? Aku harus bagaimana? Aku menyesal mengapa aku memberikan handphoneku pada adikku. Aku menyesal mengapa aku meninggalkan semua uang dan tabunganku pada ayahku. Aku benar-benar bodoh. Aku baru merasakannya sekarang, betapa bodohnya aku. Berani-beraninya aku datang tanpa membawa apapun ke negara orang. Berani-beraninya aku memasrahkan diriku pada Tuhan dalam perjalanan jauh yang asing ini. Aku benar-benar seperti Siti Hawa yang kebingungan mencari air di padang pasir. Aku hampir gila. Aku menangis dalam hati. Aku merintih. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku harus berdoa pada Tuhanku sekarang ini. Tuhan, dosa apa ini? Tuhan, apa salahku jika aku hanya mengharapkan lelaki penjemputku itu, sebab dia suamiku. Dia suamiku. Dia yang harus bertanggung-jawab akan aku. Kewajibannya adalah bertanggung-jawab, terhadap seorang perempuan yang sudah dinikahinya, sudah diambilnya dari orang-tuanya, dan dibawanya hingga jauh menyeberang samudra dan benua melewati angkasa. Setidaknya, itu yang aku tahu, dari ajaran agamaku. Tapi apa ini? Apa yang terjadi padaku kini? Apa yang akan terjadi padaku nanti? Aku adalah perempuan berani yang optimis. Aku selalu mengandalkan diriku dan Tuhanku mengarungi hari-hariku dan masalah yang menghadang dalam perjalanan hidupku. Aku mampu. Aku selalu bisa melewatinya. Tapi kali ini? Ini bukan tempatku. Ini bukan negaraku. Aku tidak tahu apa-apa di sini. Kepercayaanku akan kuasa Tuhanku mulai goyah. Oh Tuhan, apa salahku? Mengapa Engkau meletakkan aku pada posisi seperti ini di tempat yang asing bagiku? Kafe, benda-benda, dan orang-orang yang berlalu-lalang di ruangan ini mulai samar. Aku menatap jauh ke pintu kaca besar di sana, pun sudah tampak pudar. Mungkin aku akan pingsan. Mungkin aku akan tumbang. Hingga aku menangkap sesosok bayangan besar berwarna hitam, masuk dari pintu kaca besar yang jauh di sana. Aku mengenali posturnya. Aku tau siapa dia. Aku tahu dia menoleh kesana dan kemari. Aku melambaikan tangan dan menghambur padanya. Dia menoleh padaku. Menghampiriku. Aku memeluknya. Dia mendekap punggungku.
"Maaf, jalanan macet. Biasa, jalan menuju ke sini selalu macet," begitu ucapnya sambil mengelus punggungku.
Aku melepaskan kepalaku dari dadanya, mendongak menatap wajahnya dan tersenyum lebar. Lalu aku berkata, "Tidak apa-apa."