Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cuma Uji Coba

19 Juni 2024   02:01 Diperbarui: 19 Juni 2024   02:09 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cuma Uji Coba

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Hari itu Minggu. Aku beristirahat di rumah saja. Tiba-tiba grrrttt ... grrttt ... HP yang kusetel getar mengagetkanku.

"Ma ... Papa mana?" suaranya renyah dan manja.

"Nggak ada. Emang ada apa?"

"Enggak, kemarin ada janji mau nyanyi bareng. Ehh, kok nggak datang! Ditanyakan sama orang-orang loh, Ma!" lanjutnya.

"Ohh, ...!"

"Nanti bilangkan Papa yo, Maaa ... ! Kangen!" katanya tanpa tedeng aling-aling.

Dheg!

"Kurang ajar benar anak ini bilang kangen untuk suamiku!" rintihku dalam hati.

Pertanyaan Inayah yang biasa kami panggil Inay di telepon seperti itu memang harus kutanggapi biasa saja. Aku semula tidak berpikir aneh karena memang sudah seperti itu lagak gayanya.

Inay biasa datang ke rumah untuk membantu-bantu pekerjaanku. Kadang setrika, kadang menyapu pekarangan kami yang memang lumayan luas. Apalagi dengan beraneka pohon buah. Tentu saja luruhan dedaunan tidak terhitung. Jika sehari saja tidak sempat menyapu, sudah ... alamat bagaikan tempat sampah pindah!

Seperti biasa, aku, Prabandari yang biasa disapa Ndhari, kerja pagi sampai siang dengan membawa kendaraan pribadi. Jika ada jadwal di bimbingan belajar tempat kerja sambilanku, siang aku tidak pulang. Dari kantor pertama, aku langsung menuju kantor kedua. Pulangnya? Sesuai jadwal tentu saja. Kadang sore, kadang sampai malam.

Makan siangku pun bebas semauku. Mau sederhana, ya ... beli di warteg. Mau  agak lumayan enak, ya ... beli patungan berbarengan teman-teman. Hidup kubuat seenak-enaknya saja. Yang penting tugas utamaku sebagai ASN teratasi.

Mas Aryo, suamiku yang di rumah bagaimana? Pagi tentu saja sudah kusiapi dengan menanak nasi. Sedangkan lauk-pauk aku tidak sempat memasak karena berangkat ke kantor setengah enam pagi. Kadang kami berlangganan catering, jika bosan dengan menunya, kadang Mas Aryo membeli apa sesukanya. Soto ayam, rawon, sop, pecel, rujak, gado-gado, atau tahu bumbu. Bergiliran bergantian tiap hari sehingga tidak bosan.

Satu hal yang menjadi kewajiban kami, siapa pun yang pulang dari luar rumah wajib membawa makanan. Ini karena rumah kami jauh dari pertokoan dan tempat orang berjualan makanan sehingga sulit untuk mencari kedai, warung, atau caf terdekat.

Lokasi rumahku cenderung sepi. Tetangga hanya ada tiga rumah saja. Di depan agak menjorok ke dalam, ada sebuah rumah. Di sebelah kiri terpaut tanah kosong. Di sebelah kanan sebuah sungai lumayan besar dengan jembatannya menandai batas rumah kami. Dengan demikian, rumah kami ini sangat bagus sebagai tempat peristirahatan atau tempat belajar karena cenderung hening tenang dan damai.

Jadwal kerjaku kutuliskan jelas di dinding kaca spesial dengan spidol warna. Dengan begitu, Mas Aryo tahu aku berada di mana pada jam berapa. Jadi, rutinitas harian hingga mingguanku pun terpajang jelas.

Mas Aryo pun memberi les privat sore sampai malam hari. Pagi kadang ada juga anak bimbingan lesnya yang datang ke rumah. Jadwalnya juga terpampang di dinding kaca satunya. Walau tidak serapi jadwal yang kutulis, masih ada catatan yang membuatnya mengingat jadwal kapan ia harus memberikan les privatnya.

Jika Inay akan mengerjakan tugasnya di rumahku, dia pasti mengabariku terlebih dahulu. Mana yang harus disetrika aku siapkan sebelumnya sehingga ketika datang dia langsung mengerjakan. Jika aku tak sempat bertemu, Inay minta uang lelah jatah kutransfer ke rekeningnya. Jadi tidak perlu aku bertemu dengannya. Pekerjaan rumah pun beres. Asisten rumah tangga part time ala milenial, bukan?

Suatu hari ibu kandung kepala sekolahku meninggal dunia. Karena itu, kami harus takjiyah bersama-sama dan siswa diminta belajar di rumah. Masih pagi. Sekitar pukul sebelas siang aku sudah bisa pulang. Sudah mengantarkan jenazah ke peristirahatan terakhir.

Jadwal soreku kebetulan pukul lima sore sehingga masih ada banyak waktu untuk beristirahat di rumah. Karena itu aku memutuskan untuk pulang bukan pada jadwal semestinya. Emergency.

Sampai di gang dekat rumah ternyata ada orang meninggal juga. Nah, jalan ke arah rumahku tertutup total. Daripada putar balik lewat jalan timur yang cukup jauh, aku menitipkan mobilku di garasi milik teman, selanjutnya sengaja pulang berjalan kaki saja. Tidak jauh, paling hanya sekitar 400 meter.

Seperti biasa, aku membawa kunci gerbang garasi dan kunci gerbang pintu kecil. Kami masing-masing membawa anak kunci sendiri. Aku pulang pun diam-diam. Sepeda motor Mas Aryo ada, berarti dia ada di rumah. Biasanya jam tengah hari seperti itu dia beristirahat atau tidur. Maka aku berjalan berjingkat supaya tidak bersuara dan tidak mengagetkannya.

Aku masuk perlahan lewat pintu belakang, masuk kamarku sendiri di bagian belakang dekat dapur, lalu mengganti kostum dengan baju rumah. Kamar Mas Aryo di bagian depan bersisian dengan ruang tamu. Pintu ke arah ruang tamu terbuka dan aku pun masuk tanpa suara.

Namun, tiba-tiba aku mendengar bisik-bisik dan gurau manja di kamar Mas Aryo. Pintu sedikit tertutup, tetapi masih ada celah untuk melihat ke dalam. Aku mencoba mengintip dan seketika tubuhku bergetar hebat, dadaku bergemuruh. Seluruh persendianku terasa lumpuh. Panas dingin merambati sekujur tubuh!

Aku menahan diri semampuku. Tidak mengusik mereka. Namun, aku tetap stay di ruang tamu menunggu sampai mereka keluar sendiri.

Ya, aku menyadari sepenuhnya. Aku  juga punya andil kesalahan besar di sini. Sejak Mas Aryo menderita prostat setahun lalu, kami memang tidak lagi melakukan kewajiban sebagai suami istri. Mengapa? Bukan aku yang tidak mau melayaninya. Bukan! Melainkan Mas Aryo sudah tidak mampu lagi melakukan sehingga memintaku memahami keadaan dirinya. Karena itu, aku pun menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas pengganti yang positif agar tidak memikirkan hal itu lagi. Sayangnya, aku lupa kalau Mas Aryo memerlukan terapi untuk itu. Terapi pribadi setelah melewati pemulihan dari penyakitnya.

Di ruang tamu tempatku berada sejenak, aku mendengar jelas apa yang mereka perbincangkan. Salah satunya, yang sebenarnya menohokku dari belakang adalah: mereka memperoleh kesukacitaan luar biasa karena apa yang selama ini dianggap tidak mampu dilakukan, ternyata mampu dilakukan dengan baik. Bahkan mereka telah menyusun jadwal kapan akan melakukan ulang hal yang mereka sukai itu.

"Ya, Tuhanku ... apa yang harus aku lakukan?" pikirku.

Aku ingin meninggalkan ruang tamu agar tidak lagi mendengar tawa mereka, tetapi kakiku terasa lumpuh tak mampu berdiri. Gemetar sekujur badan ini. Sendi-sendi pun lemas! Apalagi, dengan jelas aku dengar senda gurau mereka.

"Papa segalanya buatku! Aku tak bisa berpisah sampai kapan pun!"

"Ya! Aku tahu cintamu luar biasa! Dan itulah yang menyembuhkan aku!"

Beberapa saat kudengar suara bariton Mas Aryo lagi. Ini sungguh sangat mengagetkanku. Sungguh, tak terpikirkan olehku betapa dia pun menahan sakit dalam jiwanya. Inilah tantangan yang mengharuskan dan membuat aku bersikap profesional tanpa emosional!

"Aku terkapar. Aku hidup, tetapi mati! Bahkan, aku hampir menyudahi hidupku sendiri karena kegagalan semua upayaku mencari sembuh! Dan telah kau bangkitkan harga diriku sebagai lelaki seutuhnya!" paparnya tegas.

Ya, Tuhan! Aku benar-benar meleleh mendengarnya!

"Kamu harus bijak, Ndari!" begitu suara hatiku. "Jangan marah! Tenangkan hatimu! Supaya kamu bisa berbicara dengan tepat dan benar!" seperti ada suara yang menasihatiku demikian.

"Kalau kau hamil, akan kulepas lima pasang burung merpati putih di lapangan Rampal!"

"Aamiin. Semoga aku beneran hamil. Kalau cowok pasti seganteng Papa!" rajuknya.

"Kalau cewek, manis kayak kamu!"

"Izinkan minggu ini aku ke sini tiap pagi ya, Pa! Soalnya aku nggak bisa jauhan!"

"Boleh. Jangan lupa kuning telur ayam kampung, ya!" pesannya serius. "Ehh, ... jangan-jangan kamu ngidam, ya!"

"Aamiin. Kata-kata itu doa, loh, Pa!"

"Ya, Tuhan ... Betapa bahagianya mereka! Mereka tak ingin dipisahkan!"

Aku mengambil napas dalam dan membuangnya pelan-pelan. Ya, aku ambil napas lagi dalam-dalam.

"Jangan gegabah! Jangan mengambil keputusan saat emosi!" suara dalam hatiku lagi dan lagi mengatakan begitu.

Ada satu hal yang mengganjal, aku tidak mau menerima suamiku kembali setelah melihat mereka sudah terlalu jauh melangkah. Aku harus rela melepasnya! Harus!

Semua sudah terlanjur. Semua sudah terjadi. Bahkan, mungkin sudah berkali-kali! Dalam hal ini sekali lagi kukatakan bahwa aku memang ikut andil. Aku bersalah dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk orang ketiga masuk. Aku lupa kalau Inay masih sangat muda. Masih subur-suburnya!

Sementara di mataku, Mas Aryo kuanggap tidak mampu melakukan hal itu dan kupikir dia tidak memikirkan akan mencoba melakukannya dengan orang lain! Ternyata aku salah besar! Ah, kucing pun kalau melihat daging segar pasti nalurinya ingin mencoba mengendusnya!

Padahal, setiap hari tatkala aku bekerja di luar rumah kondisi rumah memang selalu sepi. Tak heran jika iblis menggunakan kesempatan baik itu untuk menggoda sehingga orang bisa tergelincir dan jatuh ke dalam jurang dosa.

Kini bukan lagi praduga, melainkan sudah menjadi fakta. Maka, jalan apa yang akan dipilih tergantung juga kepada mereka. Satu di antara mereka rupanya mengajak mandi agar setelahnya mereka dapat melakukannya kembali. Namun, satu yang lain menolak dengan alasan masih ingin bermanja berdua.

Kesempatan ini aku gunakan untuk berpindah ke kamar belakang. Tampaknya mereka benar-benar tidak mengetahui kalau aku sudah berada di rumah. Dari kaca ribbon pintu kamarku, kulihat mereka bergelendot manja menuju kamar mandi berdua sambil tertawa-tawa. Aku tetap  bergeming. Kubiarkan sampai puas, bahkan jika perlu sampai Inay pulang. Ternyata tidak. Karena dilihatnya jadwalku sampai jam tujuh malam.

Maka aku berkabar ke kantor kedua bahwa aku tidak bisa masuk. Ternyata kelas sore pun ditangguhkan karena dua orang teman pengajar mengalami laka lalin dan salah satu di antaranya tidak tertolong. Diliburkan dengan alasan untuk menghormati yang dipanggil pulang ke rumah baka.

Jadilah aku menikmati pemandangan indah di rumahku sendiri. Kemesraan mereka yang sebenarnya membunuhku dengan King Gilette yang menewaskan dalam hitungan detik.

Pukul 18.00 saat lelampu harus dinyalakan. Di sanalah Mas Aryo yang sedang memasuki kamarku untuk menyalakan lampu mengetahui kalau aku berada di rumah. Terkejut dan tergagap dia! Sementara aku hanya berdiam diri.

"Looohh ... Ma! Jam berapa pulang tadi?"

"Barusan!" jawabku kalem.

"Maa ... aku sudah setrika, loh!" teriak Inay manja.

"Hhmmm ...!" aku pura-pura tidak tahu. "Kita bisa berbicara bertiga?" lanjutku.

"Bisa, Maaa ...!" jawabnya spontan sambil mengikutiku berjalan ke arah sofa.

Mas Aryo segera duduk. Inay pun duduk di sebelahnya sambil tertawa-tawa seolah tak ada masalah yang berarti baginya.

"Tahu tidak bahwa hatiku terasa meledak? Tersengat halilintar seribu volt!" senandikaku.

Aku berterus terang kalau sudah mengetahui dan mendengar sendiri apa yang mereka lakukan hari ini. Aku meminta Mas Aryo untuk mengambil keputusan bagaimana maunya dengan semua ini.

"Aku cuma mencoba, kok Ma! Nggak ada niatan lain!" alasannya.

"Ini terapi yang disarankan dokter! Tetapi aku kurang yakin kalau sama Mama. Mulanya aku nggak percaya diri. Lalu kucoba minta tolong dia. Dia paham dan aku bisa lagi!" katanya pelan sambil menunjuk Inay.

"Iya, Ma ... jangan marah ... aku cuma ngebantu Papa, kok. Istilahnya, uji coba. Kalau sama aku bisa, pasti sama Mama akan bisa juga!" jelasnya, "'Kan kalau sama Mama ternyata 'Papa' nya yang nggak bisa!" lalu sambil menoleh dia mengatakan, "Gitu, kan Pa?"

"Ooohh, ...!" pekikku, "Masih mau dilanjutkan lagikah?"

"Yaa, ... terserah Papa aja ... aku gak pa pa kok jadi kelinci percobaan. Yang penting Papa sembuh total! Daripada bayar orang yang belum tentu bersih, loh Ma! Lagian, Mama pasti kasihan sama Papa, toh! Nggak ada ceria-cerianya kalau nggak kesentuh!" urai Inay.  

"Hmmm ... sebegitunya ya ...!" pikirku.

Dibeberkannya alasan yang kurasa menggurui sekaligus menekanku. Aku harus bertindak agar tidak semakin diinjak!

"Kalau kalian masih ingin melanjutkannya, silakan saja. Namun, sebaiknya segera dihalalkan! Untuk itu, ceraikan aku dahulu!" kataku tegas.

"Tidak baik dilihat orang jika Mas Aryo memasukkan perempuan pada saat sepi! Untunglah aku pulang sendiri. Kalau aku pulang tadi dengan temanku, coba bayangkan. Apa kalian tidak malu, ha? Aku saja sangat malu melihat kalian!"

Sepi beberapa saat. Lalu aku pun mencoba mengorek, "Sudah berapa lama kalian melakukannya?" lanjutku.

"Sudah agak lama juga latihannya," jawab Mas Aryo tenang, "tapi gagal terus!"

"Tapi ... akhir-akhir ini sudah normal, kok!" seru Inay.

"Ya,  itu bukti kalau sudah sembuh total!" sambung Mas Aryo dengan polosnya.

"Ya, ya ... benar sekali!" imbuh Inay manggut-manggut.

Ya ampun, Tuhanku ... kepalaku terasa ditimpa truk tronton. Jadi, ... selama ini mereka telah melakukannya berkali-kali tanpa sepengetahuanku! Aku merasa sangat bersalah karena tidak mengikuti perkembangan kesembuhannya. Justru orang lain yang berhasil melakukannya. Itulah kebodohanku!

"Ok, begini. Berdasarkan apa  yang  telah kudengar dan kulihat sendiri, kuberikan solusi cerdas. Silakan kalian lanjutkan terapi tersebut, tetapi saya mohon tolong tinggalkan rumah ini!"

Aku terpaksa mengatakannya karena sudah tidak tahan lagi.

"Tinggalkan aku sendiri!" mereka saling berpandangan, "Pergilah! Sekarang juga! Sebelum emosiku memuncak!"

Beberapa saat kemudian setelah berkemas, mereka pergi meninggalkan aku sendiri seperti permintaanku.

***

Cukup  lama tidak bertemu mereka. Aku sudah hampir melupakannya.
Suatu saat aku harus mengantarkan siswaku ke rumah sakit karena terjatuh saat berolahraga. Di situlah aku melihat Inay telah berbadan dua bergelenjot manja di bahu Mas Aryo. Mau tidak mau, aku pun harus menyapa mereka.

"Waahh, ... selamat, ya ... sudah berapa usia kandunganmu?" tanyaku tanpa emosi.

"Kurang satu dua mingguan lagi, Ma!" Mas Aryo tersenyum tipis sambil mengalihkan pandangan matanya ke arah lain.

"Hah, sudah delapan bulan lebih? Padahal Mas Aryo meninggalkan rumah baru tujuh bulan lalu. Ahhh, ... entahlah ... !" aku tergagap saat mereka berkata seolah bisa membaca pikiranku.

"Iya, Ma ... saat itu Inay nggak nyadar ternyata sudah isi tiga bulanan! Doakan lancar lairannya, ya Ma ...!" pintanya sambil memegangi perutnya yang memang sudah sangat besar. Tangan satunya tetap bergelayut di lengan Mas Aryo.

"Ya, Tuhan ... inikah uji coba yang sukses itu? Mas Aryo memang sudah sangat menginginkan menimang darah dagingnya sendiri!" kataku dalam hati.

Aku cuma melihat mereka berdua tampak bahagia.

 "Memang bukan jodohku!" gumamku dalam hati.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun