Ya ampun, Tuhanku ... kepalaku terasa ditimpa truk tronton. Jadi, ... selama ini mereka telah melakukannya berkali-kali tanpa sepengetahuanku! Aku merasa sangat bersalah karena tidak mengikuti perkembangan kesembuhannya. Justru orang lain yang berhasil melakukannya. Itulah kebodohanku!
"Ok, begini. Berdasarkan apa  yang  telah kudengar dan kulihat sendiri, kuberikan solusi cerdas. Silakan kalian lanjutkan terapi tersebut, tetapi saya mohon tolong tinggalkan rumah ini!"
Aku terpaksa mengatakannya karena sudah tidak tahan lagi.
"Tinggalkan aku sendiri!" mereka saling berpandangan, "Pergilah! Sekarang juga! Sebelum emosiku memuncak!"
Beberapa saat kemudian setelah berkemas, mereka pergi meninggalkan aku sendiri seperti permintaanku.
***
Cukup  lama tidak bertemu mereka. Aku sudah hampir melupakannya.
Suatu saat aku harus mengantarkan siswaku ke rumah sakit karena terjatuh saat berolahraga. Di situlah aku melihat Inay telah berbadan dua bergelenjot manja di bahu Mas Aryo. Mau tidak mau, aku pun harus menyapa mereka.
"Waahh, ... selamat, ya ... sudah berapa usia kandunganmu?" tanyaku tanpa emosi.
"Kurang satu dua mingguan lagi, Ma!" Mas Aryo tersenyum tipis sambil mengalihkan pandangan matanya ke arah lain.
"Hah, sudah delapan bulan lebih? Padahal Mas Aryo meninggalkan rumah baru tujuh bulan lalu. Ahhh, ... entahlah ... !" aku tergagap saat mereka berkata seolah bisa membaca pikiranku.
"Iya, Ma ... saat itu Inay nggak nyadar ternyata sudah isi tiga bulanan! Doakan lancar lairannya, ya Ma ...!" pintanya sambil memegangi perutnya yang memang sudah sangat besar. Tangan satunya tetap bergelayut di lengan Mas Aryo.