"Looohh ... Ma! Jam berapa pulang tadi?"
"Barusan!" jawabku kalem.
"Maa ... aku sudah setrika, loh!" teriak Inay manja.
"Hhmmm ...!" aku pura-pura tidak tahu. "Kita bisa berbicara bertiga?" lanjutku.
"Bisa, Maaa ...!" jawabnya spontan sambil mengikutiku berjalan ke arah sofa.
Mas Aryo segera duduk. Inay pun duduk di sebelahnya sambil tertawa-tawa seolah tak ada masalah yang berarti baginya.
"Tahu tidak bahwa hatiku terasa meledak? Tersengat halilintar seribu volt!" senandikaku.
Aku berterus terang kalau sudah mengetahui dan mendengar sendiri apa yang mereka lakukan hari ini. Aku meminta Mas Aryo untuk mengambil keputusan bagaimana maunya dengan semua ini.
"Aku cuma mencoba, kok Ma! Nggak ada niatan lain!" alasannya.
"Ini terapi yang disarankan dokter! Tetapi aku kurang yakin kalau sama Mama. Mulanya aku nggak percaya diri. Lalu kucoba minta tolong dia. Dia paham dan aku bisa lagi!" katanya pelan sambil menunjuk Inay.
"Iya, Ma ... jangan marah ... aku cuma ngebantu Papa, kok. Istilahnya, uji coba. Kalau sama aku bisa, pasti sama Mama akan bisa juga!" jelasnya, "'Kan kalau sama Mama ternyata 'Papa' nya yang nggak bisa!" lalu sambil menoleh dia mengatakan, "Gitu, kan Pa?"