Beberapa saat kudengar suara bariton Mas Aryo lagi. Ini sungguh sangat mengagetkanku. Sungguh, tak terpikirkan olehku betapa dia pun menahan sakit dalam jiwanya. Inilah tantangan yang mengharuskan dan membuat aku bersikap profesional tanpa emosional!
"Aku terkapar. Aku hidup, tetapi mati! Bahkan, aku hampir menyudahi hidupku sendiri karena kegagalan semua upayaku mencari sembuh! Dan telah kau bangkitkan harga diriku sebagai lelaki seutuhnya!" paparnya tegas.
Ya, Tuhan! Aku benar-benar meleleh mendengarnya!
"Kamu harus bijak, Ndari!" begitu suara hatiku. "Jangan marah! Tenangkan hatimu! Supaya kamu bisa berbicara dengan tepat dan benar!" seperti ada suara yang menasihatiku demikian.
"Kalau kau hamil, akan kulepas lima pasang burung merpati putih di lapangan Rampal!"
"Aamiin. Semoga aku beneran hamil. Kalau cowok pasti seganteng Papa!" rajuknya.
"Kalau cewek, manis kayak kamu!"
"Izinkan minggu ini aku ke sini tiap pagi ya, Pa! Soalnya aku nggak bisa jauhan!"
"Boleh. Jangan lupa kuning telur ayam kampung, ya!" pesannya serius. "Ehh, ... jangan-jangan kamu ngidam, ya!"
"Aamiin. Kata-kata itu doa, loh, Pa!"
"Ya, Tuhan ... Betapa bahagianya mereka! Mereka tak ingin dipisahkan!"