Inay biasa datang ke rumah untuk membantu-bantu pekerjaanku. Kadang setrika, kadang menyapu pekarangan kami yang memang lumayan luas. Apalagi dengan beraneka pohon buah. Tentu saja luruhan dedaunan tidak terhitung. Jika sehari saja tidak sempat menyapu, sudah ... alamat bagaikan tempat sampah pindah!
Seperti biasa, aku, Prabandari yang biasa disapa Ndhari, kerja pagi sampai siang dengan membawa kendaraan pribadi. Jika ada jadwal di bimbingan belajar tempat kerja sambilanku, siang aku tidak pulang. Dari kantor pertama, aku langsung menuju kantor kedua. Pulangnya? Sesuai jadwal tentu saja. Kadang sore, kadang sampai malam.
Makan siangku pun bebas semauku. Mau sederhana, ya ... beli di warteg. Mau  agak lumayan enak, ya ... beli patungan berbarengan teman-teman. Hidup kubuat seenak-enaknya saja. Yang penting tugas utamaku sebagai ASN teratasi.
Mas Aryo, suamiku yang di rumah bagaimana? Pagi tentu saja sudah kusiapi dengan menanak nasi. Sedangkan lauk-pauk aku tidak sempat memasak karena berangkat ke kantor setengah enam pagi. Kadang kami berlangganan catering, jika bosan dengan menunya, kadang Mas Aryo membeli apa sesukanya. Soto ayam, rawon, sop, pecel, rujak, gado-gado, atau tahu bumbu. Bergiliran bergantian tiap hari sehingga tidak bosan.
Satu hal yang menjadi kewajiban kami, siapa pun yang pulang dari luar rumah wajib membawa makanan. Ini karena rumah kami jauh dari pertokoan dan tempat orang berjualan makanan sehingga sulit untuk mencari kedai, warung, atau caf terdekat.
Lokasi rumahku cenderung sepi. Tetangga hanya ada tiga rumah saja. Di depan agak menjorok ke dalam, ada sebuah rumah. Di sebelah kiri terpaut tanah kosong. Di sebelah kanan sebuah sungai lumayan besar dengan jembatannya menandai batas rumah kami. Dengan demikian, rumah kami ini sangat bagus sebagai tempat peristirahatan atau tempat belajar karena cenderung hening tenang dan damai.
Jadwal kerjaku kutuliskan jelas di dinding kaca spesial dengan spidol warna. Dengan begitu, Mas Aryo tahu aku berada di mana pada jam berapa. Jadi, rutinitas harian hingga mingguanku pun terpajang jelas.
Mas Aryo pun memberi les privat sore sampai malam hari. Pagi kadang ada juga anak bimbingan lesnya yang datang ke rumah. Jadwalnya juga terpampang di dinding kaca satunya. Walau tidak serapi jadwal yang kutulis, masih ada catatan yang membuatnya mengingat jadwal kapan ia harus memberikan les privatnya.
Jika Inay akan mengerjakan tugasnya di rumahku, dia pasti mengabariku terlebih dahulu. Mana yang harus disetrika aku siapkan sebelumnya sehingga ketika datang dia langsung mengerjakan. Jika aku tak sempat bertemu, Inay minta uang lelah jatah kutransfer ke rekeningnya. Jadi tidak perlu aku bertemu dengannya. Pekerjaan rumah pun beres. Asisten rumah tangga part time ala milenial, bukan?
Suatu hari ibu kandung kepala sekolahku meninggal dunia. Karena itu, kami harus takjiyah bersama-sama dan siswa diminta belajar di rumah. Masih pagi. Sekitar pukul sebelas siang aku sudah bisa pulang. Sudah mengantarkan jenazah ke peristirahatan terakhir.
Jadwal soreku kebetulan pukul lima sore sehingga masih ada banyak waktu untuk beristirahat di rumah. Karena itu aku memutuskan untuk pulang bukan pada jadwal semestinya. Emergency.