Bahtera Terkoyak
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
"Harapan kita terhadap pasangan sering terlalu ideal. Pasangan ideal itu tidak ada. Yang ada setiap pasangan harus mewujudkan hubungan terbaik antara suami istri."
Hingga dini hari, dia masih berkutat dengan pekerjaannya. Laporan akhir tahun yang harus segera disetor sungguh sangat menyita perhatian. Belum lagi undangan untuk mengikuti pelatihan yang harus diikuti. Sungguh, waktu sempitnya terasa semakin sempit. Hal itu membuat lumayan stress.
Ketika sejenak bisa beristirahat di kamar kerja, dibaringkanlah tubuh lelahnya di kasur empuk bed single sebelah meja kerja dengan laptop masih dalam kondisi di-charge. Beruntung belum memiliki momongan meski sudah sekitar dua tahun lebih berkeluarga. Bersyukur belum terbebani tugas dan tanggung jawab mengasuh anak. Seandainya sudah memiliki anak, wah ... entahlah bagaimana tak terbayangkan sibuknya mengatur waktu.
Adikara Arum, biasa disapa Bu Ayumi, bekerja sebagai guru BK salah satu SMP Negeri di kota kecamatan tempat tinggalnya. Dia memang terkenal sebagai pekerja tangguh. Si jelita, putri semata wayang pengusaha cukup terkenal ini setelah merampungkan kuliah langsung mengabdikan diri di desa. Tepatnya di sekolah dahulu dia dididik saat masih belia. Karena itu, masih ada guru senior mantan guru yang kini menjadi rekan kerja. Beliau-beliau inilah yang selalu memberikan support kepadanya.
Ready Gunawan, sang suami, bekerja di ibu kota provinsi. Kadang pulang setiap hari, tetapi jika dalam kondisi lelah, ia akan menginap di mess yang disediakan kantor. Oleh karena itu, agar ada teman ketika suami tidak berada di rumah, orang tuanya menitipkan Amira, yang disapa Mira, sepupu jauh Ayumi. Gadis yang baru masuk kelas tiga salah satu SMA swasta ini bersekolah pada sore hingga petang hari. Dengan demikian, pada pagi hingga menjelang masuk sekolah, Mira bisa membantu memasak dan mengurus rumah tangga lainnya.
Ayumi telah memiliki sebuah rumah mungil, hadiah pernikahan dari kedua orang tuanya. Dengan demikian, sehari setelah menikah, mereka berdua tinggal di rumah baru tersebut.
Rumah yang dibangun orang tua dengan empat kamar tidur berlantai dua itu sangat asri. Berada di dekat perumahan elite dengan bangunan lumayan unik dan cantik. Maklumlah, sang ayah asli Bali sehingga sengaja didesain sangat indah dan artistik. Hanya terpaut lima kilometer dari rumah orang tua, tetapi berada di lereng perbukitan sehingga berudara relatif lebih sejuk dan segar.
Tekstur tanah pegunungan membuat tanaman yang ada subur luar biasa. Taman di depan rumah mungil itu pun sangat terawat karena seminggu sekali dikunjungi petugas langganan orang tua. Ada amarilis merah dan jingga, gladiol, lily, berbagai jenis adenium, mawar, dan beberapa jenis lagi.
Ada beberapa pohon tabebuya, flamboyant, dan bungur memayungi kolam kecil berisi beberapa ekor koi dan ikan emas yang sedang meliuk-liuk berenang dan bergeleparan menggemaskan. Ada palma merah dan semak tanaman hias yang memukau dan memanjalan netra. Benar-benar griya idaman keluarga muda!
Awal bulan, Ayumi terpaksa mengikuti pelatihan tiga hari di tempat lain sekitar 25 kilometer dari rumah. Sementara, Mira sudah terbiasa ditinggal sendiri sehingga Ayumi dengan bebas meninggalkan sepupu tersebut. Akan tetapi, tidak bisa menitipkannya pada tetangga sebelah-menyebelah sebagaimana di rumah orang tua karena kompleks tersebut masih relatif sepi dengan sedikit penghuni.
Malam itu adalah malam kedua Ayumi berada di penginapan tempat pelatihan. Namun, ada data yang tertinggal dalam hardisk eksternal yang disimpan di laci nakas kamar tidur di rumahnya. Mau tidak mau Ayumi harus pulang untuk mengambil dan segera keesokan harinya kembali ke tempat pelatihan. Dia harus bergerak cepat agar semua masalahnya teratasi dengan baik.
Setelah berpamitan pada teman sekamar, Ayumi segera mengendarai mobil mungilnya untuk mengambil barang yang tertinggal itu. Namun, hatinya terasa tidak enak. Entahlah. Apalagi, dia tidak sempat mengabari suami kalau hendak menginap di tempat lain karena acara pelatihan dari sekolah. Bukan lupa, melainkan tidak sempat saja. Pikirnya, mungkin suami pun tidak sempat pulang karena kesibukannya.
Pukul 19.00 WIB setelah sesi pertama presentasi malam itu selesai, dilanjutkan dengan diskusi kelompok. Namun, Ayumi berpamitan untuk pulang mengambil barang yang tertinggal. Beruntung dia sudah menyelesaikan tugas sehingga tinggal mendengar diskusi saja. Dengan demikian, dia bisa meninggalkan acara untuk meluncur pulang ke rumah.
Satu jam lebih sepuluh menit kemudian, Ayumi sampai di rumah dengan selamat. Karena sudah malam, dia sengaja tidak membangunkan Mira. Seperti biasa, baik Ayumi maupun suami sudah membawa kunci gerbang dan kunci pintu utama sehingga tidak perlu merepotkan yang ada di rumah. Dengan berjingkat, ditentengnya high heels di tangan kiri agar tidak menimbulkan suara.
Ketika berada di lantai dua, lampu kamar tidurnya mati, sementara lampu tidur di kamar Mira tepat di sebelah kamarnya sedang menyala. Tentu saja, pikirnya karena Amira pasti sedang berada di kamar tidur itu. Di antara lampu remang-remang itu, didengarnya suara renyah tawa Mira seperti sedang kegelian. Akan tetapi, dengan siapa Mira bercanda malam-malam begini?
Ayumi ingin mengetahui siapa teman Mira, tetapi pintu kamar itu tertutup rapat. Ayumi teringat bahwa antara kamar kerjanya dengan kamar Mira itu terdapat sebuah pintu butulan, berkaca dan berkorden. Maka, Ayumi segera menuju ke kamar untuk mengintip siapa gerangan teman Mira bercanda.
Sengaja tidak dinyalakan lampu agar kedatangannya tidak diketahui. Ditutupnya perlahan pintu kamar dan segera diintiplah kamar Mira.
Awalnya, Ayumi melihat silhuet dua orang sedang bercanda di tempat tidur kecil itu, rupanya sedang saling menggelitik. Karena itu, terdengar tawa Mira. Akan tetapi, selanjutnya ... dilihatnya bayang-bayang mereka bercumbu dan bergumul mesra. Tampaklah bayang dua orang dewasa sedang bercinta. Namun, tidak jelas sesiapa karena berada di remang-remang cahaya.
Semua sendi Ayumi terasa bergetar hebat. Belum tampak jelas siapa lelaki yang membersamai Mira karena Ayumi melihat dari bagian belakang. Setelah menyelesaikan pertandingan panas, keduanya terkapar berhimpitan di bed sempit. Sementara, Ayumi masih belum mengetahui pasti siapa teman Mira.
Tanda tanya besar masih menggelayuti pikiran Ayumi. Apakah suaminya? Atau siapa? Malam itu, Ayumi tidak bisa tidur memikirkan adegan panas di kamar sebelah. Hingga entah pukul berapa dia memejamkan netra. Ketika terjaga, dilihatnya jarum jam di arloji tangan yang tidak dilepas itu menunjuk angka lima lebih.
"Wuahh, ... gawat. Bisa terlambat masuk nih, kalau aku tidak cepat turun!" pikirnya.
Setelah mengambil barang yang dibutuhkan, ia segera turun tanpa ingat mandi. Mengendap-endap dan kemudian membuka pintu gerbang. Semalam mobilnya terparkir di bawah awning carport tanpa masuk garasi sehingga dengan mudah saja mundur, kembali menutup pintu, dan segera kabur ke kota pelatihan. Tidak dilihatnya apa yang terjadi di kamar sebelah, tetapi rupanya karena kelelahan kedua insan di kamar sebelah belum juga bangun. Bukankah kesempatan bagus untuknya segera meninggalkan rumah?
Sesampai di tempat pelatihan, dia masih punya sedikit waktu untuk mandi dan bahkan sarapan menu yang disiapkan hotel tempatnya menginap. Namun, tentu saja pikiran Ayumi ke mana-mana. Masih seputar lelaki yang bermain api dengan Mira. Apakah pacar Mira? Sejak kapan anak itu mulai memiliki pacar? Mengapa tidak diketahuinya? Bagaimana kalau Mira hamil? Ah, ... semoga tidak terjadi hal-hal parah karena kelakuan Mira itu.
Sebagai salah seorang guru BK, Ayumi memastikan diri hendak mengorek tuntas siapa orang yang telah menodai Mira sekaligus sebagai antisipasi kalau seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun, Ayumi harus menahan diri karena pelatihan masih akan berlangsung hingga lusa nanti.
Dipungutnya gawai yang sedari semalam belum diaktifkan lalu sengaja ditelepon suami yang berada di ibu kota provinsi. Beberapa kali gawainya berdering, terdengar nada dering, tetapi tidak diangkat.
"Mungkin Mas Ready sedang sibuk, atau HP tidak berada di tangannya!" gumamnya menenangkan diri.
Terus terang Ayumi agak takut, kalau-kalau yang semalam bergumul dengan sepupunya itu justru adalah suami sendiri. Namun, ditepiskannyalah pikiran negatif itu dengan berpikir bahwa sejauh ini suaminya adalah orang yang baik dan setia.
Suaminya sedang berjuang meniti karier sehingga tidak pantas kalau dicurigai seperti itu. Apalagi selama ini gelagat suami pun baik-baik saja. Tidak pernah dilihatnya suami dengan Mira begini begitu. Bahkan, nyaris keduanya tidak pernah saling bertemu. Hal itu, karena kesibukan suami dan aktivitas sekolah Mira cukup padat. Saat suami pulang atau berada di rumah, paling mereka hanya berpapasan saja.
***
Usailah sudah aktivitas pelatihan selama tiga hari. Dengan lega Ayumi pun meninggalkan penginapan, tetapi membawa sedikit ganjalan. Itu karena selama tiga hari berturut-turut belum bisa berkabar dengan suami.
Hari Minggu pun tiba. Hari ketika Ayumi merindukan sang suami pulang. Namun, malam sebelumnya, Ready mengirim kabar bahwa dia tidak bisa pulang karena harus ke luar kota bersama kolega. Ya, sudahlah. Ayumi berencana akan beristirahat saja di rumah sambil melakukan aktivitas ringan menyenangkan.
"Kak, Mira izin pulang ya ..., Ibu bilang Nenek kangen!" pamit Mira saat mereka berdua berada di dapur.
"Oh, begitu. Kamu naik apa?"
"Naik bus saja Kak biar cepat. 'Kan kalau bus sewaktu-waktu ada. Kalau kereta api ... payah nunggu sore sampainya malam!"
"Oh, baiklah. Sebentar kuambil ongkos busnya!" Ayumi mengambil sedikit dana untuk ongkos Mira pulang pergi ke desa sekitar delapan puluh kilometer.
"Ya, sudah. Mumpung pagi. Kamu segera pesan ojek online saja, ya ... Kakak tidak bisa mengantarmu!"
"Kamu balik besokkah?" lanjutnya.
"Nggak Kak, Mira sudah izin di sekolah. Mira pulang Selasa pagi, ya Kak!"
"Okelah. Hati-hati di jalan, ya!"
Beberapa menit kemudian, Mira telah keluar dari rumah dengan alasan hendak pulang ke desa. Ayumi segera menutup pintu gerbang, tetapi perasaan tidak enak menghantui pikirannya. Ayumi ingin membuntuti Mira, dengan tidak menggunakan kendaraan sendiri.
Nah, Ayumi pun segera memesan taksi online. Beruntung, dengan cepat dia memperoleh kendaraan yang dipesan itu.
Tujuan awal hendak menuju terminal. Dimintanya sopir mengikuti angkot yang membawa Mira. Ternyata, Mira memang menuju terminal. Berarti, Mira tidak berbohong. Karena itu, sesampai terminal, dimintanya sopir memutar balik kendaraan menuju ke rumah kembali.
Lega! Mira memang benar-benar pulang. Memang satu semester ini dia belum menjenguk keluarga di desa.
“Ya, sudahlah. Aku tidak boleh gegabah mencurigai! Apa yang perlu dicurigai?” pikir Ayumi
Sampai di rumah, Ayumi segera menggunakan kunci cadangan untuk membuka kamar Mira. Bak seorang detektif, diselidikinya kamar itu dengan teliti. Kalau-kalau ada petunjuk sesiapa lelaki yang beberapa malam lalu meniduri Mira. Diperhatikannya tumpukan buku milik Mira, Ayumi berusaha tidak mengubah susunan buku tersebut agar Mira tidak curiga kalau isi kamarnya telah diacak-acak.
Tetiba dilihatnya sehelai kertas bertulis tangan …
Duhai, my love … bidadariku ayu …
Wuahh,… Mas benar-benar terharu, Dik! Bangga!
Terima kasih banyak, ya! Mas makin yakin sekarang: kamu memang mencintai Mas dengan sepenuh hati!
Rela mempersembahkan sesuatu yang istimewa khusus buat Mas itu sungguh luar biasa! Surprise yang patut Mas kenang dan hargai!
Jangan kuatir, Mas janji akan bertanggung jawab, Sayang!
Jangan lupa, kita masih lanjut, ya … he he … kangen, tahuuuu!
Your love
Ayumi terhenyak. Jika melihat tulisan tangan ini, sepertinya dia kenal. Akan tetapi, siapa? Apakah suami? Atau, siapa kekasih Mira ini? Masih teka-teki karena dia pun tidak yakin apakah itu tulisan tangan suami.
***
Tiga bulan berlalu tanpa gejala berarti. Seperti biasa, suami pulang seminggu sekali, kadang dua minggu sekali. Mira juga tidak berubah. Masih sama seperti biasa. Pagi membantu pekerjaan rumah, memasak, membersihkan rumah, dan siang hingga petang bersekolah.
Sementara laundry seminggu sekali dijemput antar oleh petugas yang telah dipercaya. Jadi, masalah pakaian Ayumi tahu beres saja. Kalau masalah masakan, bosan ya … tinggal beli jadi saja. Bukan masalah penting pada masa sekarang ini. Bukankah banyak aplikasi yang menawarkan pemesanan masakan jadi?
Ketika berada di rumah pun suami tidak banyak menuntut. Kalau dilihat Ayumi kelelahan, Ready memakluminya. Apalagi kalau Ayumi mengerjakan tugas di kamar kerja, Ready tidak pernah mengganggu. Bahkan, kadang menemani beberapa saat untuk kemudian tidur di kamar pribadi.
Jumat sore itu, sepulang kantor Ayumi bergegas ke dokter langganan. Beberapa hari belakangan tensinya tidak teratur sehingga merasa perlu mengecek kondisi kesehatan. Ketika masih berada di tempat parkir, dilihatnya sekelebat Mira yang berseragam batik melintas melenggang dari ruang pemeriksaan dokter.
“Hah? Mira? Sakit apa dia, mengapa tidak bilang apa-apa, ya?” pikirnya.
Sengaja Ayumi tidak turun dari kendaraan dan berharap agar Mira tidak melihat. Perasaan cemas menggelayuti hatinya, “Jangan-jangan … ah … tidak! Kali ini aku tidak boleh kecolongan! Aku harus segera tahu, siapa lelaki itu … sebelum sesuatu yang buruk terjadi atas mereka!” tekadnya.
Beberapa saat kemudian, Ayumi mengayunkan langkah ke bagian informasi dan lanjut ke ruang tunggu. Tiba-tiba dilihatnya Mawar, teman SMP-nya keluar dari ruang periksa. Rupanya Mawar bekerja sebagai perawat di tempat itu.
Sakit Ayumi langsung hilang entah ke mana. Sembuh spontan!
“Hai, Mawar, ‘kan?” sapa Ayumi tersenyum ramah.
“Haai, … apa kabar, Yumi?”
Diseretnyalah Mawar ke samping yang agak sepi.
“Tiba-tiba sakitku hilang, tetapi bolehkah aku bertanya?”
“Iya, syukurlah. Jadi, nggak jadi berobat dong!” seloroh Mawar.
“Iya, nggak jadi … he he!”
“Trus … bagaimana?”
“Ehh, … itu tadi yang baru keluar, sepupuku serumah denganku … sakit apa, ya dia?”
“Hah? Kok serumah nggak tahu, sih?” seru Mawar keheranan. Ayumi memberi isyarat agar berbisik-bisik saja.
“Aku benar-benar nggak tahu. Tadi pas aku belum turun dari mobil, kulihat dia. Makanya aku tidak segera turun. Sebenarnya aku tadi mau cek tensiku yang tidak stabil, tetapi ketika melihat dia keluar dari ruang praktik dokter, aku jadi kepikiran!”
“Yumi, ini kode etik, maaf kalau aku tidak bisa memberitahukannya!” Mawar menggeleng sambil meminta maaf.
“Yaaaa, … okelah kalau begitu,” sesal Ayumi dengan lesu, “Aku akan menyelidikinya sendiri!” pikirnya.
“Yang sabar, ya Sahabat! Sekali lagi, aku minta maaf!” jabat Mawar erat.
***
Pagi itu, tiba-tiba Ayumi ingin pulang sebentar. Sesampai di rumah, Mira sedang ke pasar untuk berbelanja kebutuhan seperti yang dipesan olehnya.
Sesampai di dapur, Ayumi yang ingin meminum juice wortel dari kulkas, tetiba mendengar gawai Mira bergetar. Rupanya Mira lupa, dia tidak membawa gawainya. Diambilnyalah gawai itu dan beruntung tidak terkunci. Dibukanyalah aplikasi hijau yang sedang aktif itu.
“Sayang … jaga kandunganmu baik-baik, ya. Mas ingin segera pulang melihat apakah sudah membuncit perutmu?” tulisnya dengan emoticon mencium.
Hah? Seketika tubuhnya gontai.
Sebuah pesan dari nomor bernama “Tersayang”. Ayumi penasaran. Di-scroll ke ataslah pesan itu hingga sampai pada chatting-an ini ….
Beberapa hari lalu tertera hari kapan pesan dikirim.
“Mas, Mira hamil!” tulis Mira di aplikasi hijau itu.
“Ha? Yang bener! Wuahhh, … Mas seneng banget, nih. Serasa ingin segera terbang ke situ, Sayang!” jawabnya dengan emoticon cinta.
“Berapa usianya, Cantik?”
“Dua belas minggu!”
“Wuahhh, thok cer. Mantap! Terima kasih, Sayang!”
“Tapi, Mas … aku takut!”
“Kamu tenang saja. Fokus jaga kandungan dan kesehatanmu saja, okey?”
“Baik-baik di situ, ya Sayang … Mas akan segera pulang. Jangan kuatir!”
Dengan gemetar Ayumi segera meneruskan isi pesan itu ke nomornya sendiri dan segera menghapus untuk menghilangkan jejak.
Kini, Ayumi tahu ‘tersayang’ itu siapa. Semua chatting pun tidak tersisa, sudah dikirim ke gawainya sendiri.
Sambil menahan isak, Ayumi kembali ke tempat tugas dan menghadap kepada Ibu Kepala Sekolah. Sambil menangis sesenggukan, Ayumi meminta izin untuk menyelesaikan permasalahan keluarga ini dengan diam-diam.
Siang itu, sepulang dari kantor, Ayumi langsung menjemput Mira yang sudah berada di sekolahnya. Ayumi bergegas memintakan izin tidak mengikuti pelajaran dan mengajaknya ke ibu kota provinsi. Ayumi pun telah mempersiapkan sedemikian rupa, termasuk membawakan satu tas besar berisi seluruh pakaian Mira. Tak bersisa!
Namun, Ayumi tidak mengatakan apa-apa. Ditahannya baik-baik emosi dan diupayakan senetral mungkin ekspresi wajahnya.
Sementara, kepada Mira hanya dikatakan bahwa ada keperluan penting dan sangat mendesak. Karena itu, Mira harus diajak serta untuk menemaninya.
Dengan menumpang travel khusus, Ayumi dan Mira meluncur ke ibu kota provinsi untuk bertemu suami. Namun, Mira tidak diberi tahu apa-apa. Dia hanya diberi tahu akan diajak menemui seseorang yang sangat penting. Urusan pun tidak bisa ditunda-tunda lagi!
Ternyata, perjalanan lewat tol relatif sangat cepat! Tepat waktu menjelang istirahat kantor, sampailah Ayumi di hadapan atasan sang suami. Ayumi menitipkan Mira di ruang tunggu tamu, kemudian menuju ruang atasan itu. Di ruang atasan Ready, Ayumi tidak bisa menahan netra untuk tidak membanjir.
Dengan sesenggukan diceritakanlah secara sepintas kondisi bahtera kulasentana yang telah retak itu. Bapak Marsudi, sang atasan suami, sangat respek terhadap alur hidup Ayumi, apalagi wajah ayu Ayumi sangat mirip putri tunggal beliau yang sudah tiada. Sang atasan pun jatuh iba melihat Ayumi menangis tergugu seperti itu.
Atas inisiatif Bapak Marsudi, beliau berkenan memediasi keduanya. Sang atasan bergerak secepat kilat. Dimintalah Ayumi dan Mira mengikuti sang atasan dengan sopir pribadi menuju vila beliau agak jauh di luar kota. Sementara, dengan sopir lain, Ready pun diantar ke tempat sama. Dua orang sopir itu dipesan agar menunggu dan berjaga-jaga karena khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Malam ketika berada di ruang tamu vila Bapak Marsudi, lengkap hadir tuan rumah, Ready, Mira, dan Ayumi. Ready sangat terkejut melihat Mira bersama Ayumi. Tidak disangka badan Mira tampak sedikit berisi dan kian jelita di matanya. Netra Ready menatap Mira dengan kagum. Ketika Ready masih asyik menelisik wajah cantik Mira, tiba-tiba Ayumi beracara!
“Di hadapan dan disaksikan oleh Bapak Marsudi yang terhormat, tanpa berbelit, dengan ini saya, Ayumi, memohon bercerai dari Bapak Ready. Saya menemukan fakta bahwa yang bersangkutan telah mengkhianati janji pernikahan. Bukti telah ada di tangan saya sehingga tidak perlu berkelit apalagi berdalih lagi. Sudah cukup! Sejak saat ini, saya meminta Bapak Ready bersama Mira segera meninggalkan saya dan jangan pernah kembali ke rumah saya lagi. Saya juga mohon Bapak Ready bertanggung jawab atas kehamilan Mira yang sudah memasuki bulan keempat! Terima kasih! Sekaligus saya mohon maaf dan mohon diri!”
Cukup singkat, padat, dan jelas Ayumi berbicara dengan tenang. Ready sangat terkejut, tetapi tidak bisa berkutik lagi. Semua sudah dibuka dengan gamblang! Demikian pula dengan Mira. Tidak diduga sama sekali kalau akhirnya Ayumi menelanjangi percintaan terlarang mereka di depan atasan sebijak Pak Marsudi.
Baik Ready maupun Mira benar-benar tidak menyangka kalau malam itu merupakan malam penentuan nasib mereka! Mereka berdua diam sejuta kata, bak kerbau dicucuk hidung! Ready dan Mira pun tidak sempat meminta maaf karena Ayumi telah berpamitan setelah mengatakan hal telak tersebut. Sekakmat!
Setelah mohon diri, malam itu Ayumi pulang diantar salah satu sopir pribadi Bapak Marsudi. Ayumi meninggalkan Mira dengan maksud agar Ready bertanggung jawab. Ayumi pun berencana akan mengatakan kepada kedua orang tua perihal petaka yang telah menghancurkan biduk kecilnya itu esok hari. Bahtera itu telah terkoyak!
“Langsung semuanya beres!” harapnya.
Ya, Ayumi pulang sendiri! Di sepanjang perjalanan, Ayumi tidak bisa memejamkan netra. Terbayanglah aktivitas beberapa saat lalu ketika dilihat di kamar Mira terjadi sesuatu. Petaka itu ternyata merupakan titik awal keretakan kulasentananya!
Ada apa dengan suaminya? Rupanya hanya karena keinginan memiliki momongan membuat perahunya retak, bahtera yang ditumpangi terkoyak seperti ini. Kandas! Oh, mengapa tidak ada komunikasi? Maka, benar kata orang bahwa komunikasi merupakan kunci kelanggengan relasi suami istri!
Benar kata salah seorang ibu guru senior, mantan guru yang akhirnya menjadi teman mengajar juga, "Jangan pernah memasukkan orang ketiga ke dalam rumah tangga kita. Mungkin dia justru akan menjadi hama di dalam kulasentana kita!"
Kini nasi telah menjadi bubur. Sang ibunda yang memasukkan sepupu ke dalam kulasentana Ayumi itu telah memorakporandakan bahtera kulasentananya. Semoga apa yang telah menjadi keputusan Ayumi merupakan cara jitu mengatasi kemelut itu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H