Mohon tunggu...
Ning Ayu
Ning Ayu Mohon Tunggu... Guru - Pengawas SMP Kabupaten Bogor

Ning Ayu alias Taty Rahayu, Pengawas SMP Kabupaten Bogor

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sketsa Cinta Biru

8 Maret 2017   13:51 Diperbarui: 8 Maret 2017   13:59 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian (4) : Selamat Datang Jakarta

Sepulang dari kampus, aku mengunci diri di kamar kostku. Merebahkan diri  sejenak melepas lelah. Sambil aku buka buku-buku terkait info penerimaan mahasiswa baru. Sejak seminggu terakhir ini, memang aku terus mencari-cari informasi tentang pembukaan seleksi penerimaan mahasiswa baru. Tekadku sudah bulat untuk mewujudkan impianku untuk kuliah kedokteran di Jakarta. Memang aku tipe orang yang keras jika memiliki suatu keinginan harus dapat terwujud. Tentu dengan kerja keras dan bukan dengan berdiam diri duduk termenung saja.

          “Nak, Laras”, terdengar suara memanggil ibu Kost di luar.

Njih, bu sebentar”, jawabku. Sambil merapikan baju aku bergegas keluar dari kamar.

“Ini tadi ada surat untukmu”, ujar bu Kost sambil menyodorkan sepucuk surat beramplop putih.

“Oh, matur nuwun bu”, aku pun senang menerima sepucuk surat yang sepertinya dari kedua orangtua ku di Kampung.

Aku langsung masuk kamar dan bergegas membuka surat itu. Sudah lama kangen ingin mendengar kabar dari bapak dan ibu nun jauh di sana. Bapak dalam suratnya mengabarkan bahwa kabar mereka berdua baik dan sehat-sehat saja. Bapak juga mengabarkan keadaan keluarga di kampung dan tidak lupa menanyakan keadaan aku di rantau. Pesan kedua orangtuaku jelas dalam surat itu yaitu agar aku selalu menjaga kesehatan dan ibadah serta selalu semangat dalam belajar. Kuciumi surat itu berkali-kali tanda takzim dan mengobati rasa rinduku yang meluap-luap karena sudah lama tidak bersua.

Aku bereskan lembar-lembar surat dan kusimpan yang rapi di tempatnya. Ku lanjutkan menerawang dan menuliskan cerita hari ini di halaman diariku. Segala asa dan rasa kutumpahkan padanya, kurajut kata-kata sepenuh jiwa kepada diariku yang selalu setia setiap saat menampungnya dan tidak akan pernah sekalipun menolak segala keluh kesahku.

Di liburan semester ini aku berencana akan ikut ujian penerimaan mahasiswa baru lagi. Tekadku mendaftar kuliah kedokteran di Jakarta sudah bulat. Tentu secara diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Jika sudah lolos dan dinyatakan diterima barulah aku akan memberanikan diri memberitahu kedua orang tuaku. Mas Tito pun tidak aku beritahu soal ini. Entah. Tidak ada keberanian diriku untuk menceritakannya. Aku memang tipe yang teguh memegang prinsip namun sedikit tertutup.

***

“Dik, bagaimana kalau kita ke perpustakaan?”, sapa Mas Tito membuyarkan sedikit lamunanku pagi itu.

“Eh, iya Mas. Kamu nggak ada kuliah hari ini?”, tanyaku sedikit gugup sambil membereskan perlahan lembaran berkas di tanganku dan segera memasukkan ke dalam tasku. Saat Mas Tito datang, aku sedang membaca lembaran informasi tentang penerimaan mahasiswa baru tahun ini. Aku memang tidak ingin seorang pun tahu bahwa aku ikut Sipenmaru lagi.

“Tidak dik”.

“Kebetulan dosenku hari ini sedang ada seminar di luar kota, sehingga hanya asisten dosen yang mengisinya dengan memberikan tugas mandiri kepada kelas kami,” lanjut Mas Tito.

“Oh, begitu”.

“Kalau begitu sama denganku. Hari ini jadwalku hanya satu mata kuliah, dan setelah ini kosong. Siang nanti  setelah istirahat baru satu mata kuliah lagi”

“Oke, ayuk kita segera ke perpus, semoga belum ramai”, ajakku.

Kami pun menuju perpustakaan pusat universitas. Tempat favorit ku semasa kuliah. Dahagaku membaca terpuaskan jika di sana. Kesukaan aku membaca telah tumbuh sejak remaja. Hadiah atau pemberian yang aku selalu minta dari kedua orang tua jika naik kelas hanyalah buku. Melalui buku kita bisa menginjakkan kaki di belahan dunia manapun. Dengan buku imajinasi kita dan wawasan kita menjelajah menembus ruang dan waktu. Buku adalah jendela dunia memang kata yang tepat.

“Mas, aku mau cari sesuatu dulu di ruang baca media massa dulu ya, nanti kita ketemu di ruang baca utama, oke”, pintaku.

“Oke, siap”, jawab Mas Tito sambil tersenyum.

Aku bergegas menuju ruang media massa tempat bacaan koran dan majalah. Sempat aku lihat-lihat koran nasional dan lokal sejenak, mencari berbagai informasi yang aku butuhkan. Setelah selesai, aku kembali mencari Mas Tito di ruang baca utama.

“Sudah ketemu yang kau cari, Laras?”

“Sudah Mas”.

“Eh ya, kemana rencana kamu liburan ini?”, tanya mas Tito.

“Hmm, apa ya?, pulang kampung kayaknya, sepertinya rasa kangenku sudah bertumpuk nih”,  candaku sambil tertawa kecil.

“Engga kangen denganku?”, canda mas Tito sambil tersenyum.

“Hmmm, kasih tau ga ya?”, ujarku sambil tertawa lagi, dan Mas Tito pun tertawa.

Kebersamaan indah yang kami rasakan seperti ini entah hingga kapan?.

Tanpa sepengetahuan orang banyak, aku mempersiapkan sungguh-sungguh untuk mengikuti Sipenmaru (SMPTN-sekarang), dan tekadku sekeras baja untuk tembus menduduki salah satu kursi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kulalui detik demi detik, tahap demi tahap dengan asa membuncah. Hingga penantian berakhir, saat pengumuman itu tiba!!!

Pagi itu, mentari masih malu-malu untuk beranjak pergi, tukang koran langganan pun tiba. Aku sengaja pagi-pagi mencegatnya, dan ku beli salah satu koran nasional yang hari ini memuat pengumuman penerimaan mahasiswa baru secara serentak.

Degup jantungku makin kencang, tatkala telusuri satu-persatu nama-nama calon mahasiswa yang beruntung dinyatakan diterima. Di setiap bagian universitas disebutkan nama-nama dan nomor peserta yang dinyatakan diterima per jurusan atau fakultas. Kutelisik tiap nama yang diterima di jurusan Kedokteran Umum Universitas Indonesia, degup jantungku makin terasa kencang, pagi itu suhu Jogja masih dingin tetapi mengapa aku merasakan suasana panas di sekujur badanku? Tiba-tiba pencarianku terhenti pada suatu nama yang tercetak di situ: AYUNINGTYAS LARASATI!!! Eh tunggu dulu apakah nomor pesertanya sama?? Apakah nama Ayuningtyas cuma satu se-Indonesia? Kucocokkan satu persatu nomor pesertaku dengan yang tertera di lembar koran itu, dan cocok!!!.

Tidak dapat kubayangkan begitu indahnya dunia pagi itu kurasakan. Terbayang segera aku akan kuliah di Jakarta. Yah..di Jakarta.

Selamat datang Jakarta!

***

Segera setelah pengumuman dinyatakan diterima di Fakultas Kedokteran UI, maka segera ku persiapkan segala sesuatunya dan berangkat ke Jakarta untuk daftar ulang, karena waktu yang diberikan untuk pendaftaran ulang tidak lama, jika tidak melakukan daftar ulang, maka dinyatakan mengundurkan diri. Tentu ini sesuatu yang tidak diinginkan oleh semua calon yang dinyatakan diterima, termasuk aku.

Tiba di Jakarta keesokan harinya, tujuan pertama yang aku singgahi adalah kampus UI Salemba. Yah meski Kampus UI pusatnya di Depok, tetapi untuk Fakultas Kedokteran masih berada di kawasan Salemba bedampingan dengan Rumah Sakit Umum Pusat  Cipto Mangunkusumo — rumah sakit rujukan nasional.

Setelah urusan administrasi daftar ulang beres, urusan yang tidak kalah penting selanjutnya adalah mencari pondokan. Ini gampang-gampang sulit. Untuk tempat tinggal aku selama studi, yang paling aku utamakan adalah jarak, kemudahan transportasi, dan lingkungan. Ketiganya menurut aku penting untuk dijadikan kriteria mencari tempat pondokan selama kuliah di Jakarta.

***

“Hallo, selamat pagi mba, ada yang bisa saya bantu?”, terdengar suara ramah dan anggun menjawab panggilan telepon di pagi itu.

“Selamat pagi bu”, jawabku perlahan. “Saya membaca iklan di papan pengumuman kampus, bahwa di rumah ini menerima kost untuk mahasiswa puteri?”, lanjutku.

“Benar, maaf ini dengan siapa?”.

“Eh, ya maaf, saya Larasati bu”. Aku lupa memperkenalkan diri saat membuka percakapan telepon.

Suara di seberang telpon menjawab kembali dengan ramah. Nampaknya suara di seberang telpon adalah suara pemilik kost tersebut.

“Saya mahasiswi baru bu, dari Cilacap, sedang mencari kamar kost untuk tempat tinggal”, jawabku. “Kebetulan saya membaca di papan pengumuman kampus, bahwa rumah ibu menyediakan beberapa kamar untuk kost mahasiswa puteri”, lanjutku. Kebetulan alamat yang tertera di info pengumuman menurut petugas pendaftaran, lokasinya dekat dengan kampusku.

“Oh, betul sekali, kebetulan masih ada beberapa kamar yang kosong, nak”, kembali suara lembut itu terdengar di seberang telepon.

“Baik, bu”. “Saya akan segera menemui ibu sesuai alamat yang tertera”. Sambil kusebutkan alamat yang tertulis, hanya sekadar memastikan lokasi alamat tersebut dari tempat aku menelpon.

“Hmm. Jalan Talang No.25 B, Kecamatan Menteng, semoga tidak jauh dari sini”, aku bergumam sambil memasukkan kertas bertuliskan alamat pondokan tersebut ke bagian luar tasku.

Segera setelah percakapan telepon berakhir, aku bergegas menuju alamat pondokan tersebut. Aku keluar dari bilik telepon umum dan kemudian bergegas mencari angkutan umum. Dan ternyata dari tempat aku menelepon itu, lokasi pondokan tidak terlalu jauh. Aku bersyukur segera dapat menemukan alamat yang dimaksud.

Sebuah rumah bercat putih, dengan halaman yang cukup luas dan asri, bertuliskan Nomor 25 B. “Hmmm, inilah alamat yang kucari”, gumamku. Aku langsung memencet bel yang terletak di tembok pagar.

“Ting tong, ting tong, ting tong”, bel nyaring berbunyi. “Selamat pagi, Assalamualaikum bu,”, timpal ku dari balik pagar.

“Ya, sebentar”, terdengar suara ramah seorang perempuan dari dalam rumah.

Nampak seorang wanita paruh baya nan anggun bergegas keluar dari dalam rumah.

“Ya, nak ada apa ya?”, tanyanya membuka percakapan. “Mari, silakan masuk dulu, nak”, lanjutnya.

“Terima kasih, bu”, sambil mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah.

Saya dipersilahkan duduk di ruang tamunya yang nampak tertata rapi.

“Saya Larasati yang tadi pagi telpon ibu”, aku memperkenalkan diri melanjutkan pembicaraan kami tadi pagi. “Oh ya, ini nak Larasati, yang telpon tadi?”, jawab si ibu sambil tersenyum. “Ya, bu”, jawabku.

“Perkenalkan saya Ibu Roro, pemilik rumah ini”, sambil menjulurkan tangan dan tersenyum ramah.

Senyum ramah Bu Roro mengusir kekakuan, aku segera mengutarakan niatku untuk menyewa salah satu kamar.

“Kebetulan, ada tiga kamar lagi yang belum terisi. Penghuni sebelumnya sudah menyelesaikan kuliah. Dua minggu yang lalu mereka di wisuda”,  tukas bu Roro semangat.

“Nak Laras mau lihat calon kamarnya dulukah? Kalau pun tidak berminat, tidak apa-apa di lihat dulu biar tidak kecewa.“ Bu Roro menawarkan dengan senyum yang tak pe rnah lepas dari wajah anggunnya.

Aku mengangguk, menyetujui tawaran beliau. Bu Roro segera menggamit tanganku, membuka pintu besi di samping rumah utama.

Deretan kamar berjumlah dua belas berjajar rapi saling berhadapan. Pohon mangga golek menaungi bangunan tersebut, Asri dan sejuk, hatiku langsung merasa kerasan.

“Nah, ini kamar yang kosong nak Laras“ , Ibu Roro menunjukkan tiga kamar yang tak berpenghuni.

Jemarinya memasukkan anak kunci ke salah satu kamar. Klik, pintu kamar terbuka.

Kamar berdinding biru langit meneduhkan mataku. Ada sebuah ranjang single dan lemari pakaian di sudut kanan. Di bagian dindingnya tertempel sebuah rak buku minimalis.

“Nah, yang ini kamar mandinya Nak Laras, silahkan dicek dulu.“ Ibu Roro membuka sebuah ruangan kecil di sudut kiri.

Bergegas mataku melongok ke dalam ruangan tersebut. Berwarna putih, dengan ubin coklat yang bersih membuatku langsung jatuh hati.

Aku langsung merasa sreg. Apalagi Ibu Roro melengkapi kostannya dengan dapur terpisah yang dapat digunakan semua penghuni kost.

Di bagian belakang dapur tertanam tiang jemuran khusus untuk penghuni kost.  Rumah Bu Roro sendiri terpisah, dibatasi pagar tembok setinggi dada. Jadi kami tidak akan merasa risih dengan pemilik rumah.

Resmilah aku menjadi bagian penghuni rumah kostnya  Bu Roro,  meraih cita-cita yang aku dambakan.

Aku langsung akrab dengan semua penghuni kost.  Terutama dengan Mbak Menur. Beliau kebetulan kakak tingkatku. Aku banyak dibantu pada awal-awal kuliah.

Tak menunggu lama, dua hari kemudian dua kamar yang kosong sudah terisi dengan penghuni baru. Keduanya sama sepertiku, mahasiswi baru, tetapi berbeda fakultas.

 Walaupun berbeda jurusan, kami semuanya kompak. Sudah seperti saudara sendiri.

Ibu Roro menempatkan dirinya sebagai Ibu bagi kami semua. Membuatku semakin betah.

Terkadang,  kami masak bersama di dapur, tertawa gembira atau ngobrol ngalur ngidul.

Jika sedang senggang, kami kompak beramai-ramai ke taman di pertigaan rumah Bu Roro, sekadar membeli bubur kacang hijau atau ketoprak.

Ibu Roro memiliki dua orang putri dan seorang  putra. Dua putrinya sudah menikah dan tinggal di luar kota. Suami beliau sudah lama tiada. Sedangkan putranya baru kelas dua SMA.

Ibu Roro sengaja membuat pemondokan karena rumahnya yang luas terasa sunyi.

Tak heran beliau juga meminta adik laki-lakinya yang paling kecil untuk menemaninya. 

Mas Aldi namanya, aku dikenalkan setelah seminggu menjadi penghuni resmi rumah kostnya Ibu Roro.

Mas Aldi sudah bekerja di perusahaan swasta, beliau lulusan Teknik Mesin di Universitas Semarang. Setiap hari berangkat pukul 07.00 pagi dan jam enam sudah tiba di rumah.

Semua penghuni kost akrab dengannya. Mas Aldi enak diajak ngobrol dan ramah. Aku sering ditawari berangkat bersamanya jika kebetulan aku bertemu di teras depan.

Aku lebih sering menolak, sungkan. Apalagi mas Aldi sering sekali menawariku untuk jalan bersama. Duh, sejujurnya aku tidak begitu tertarik.

Sejauh ini semua kehidupan di perantauan berjalan lancar, Mbak Menur banyak sekali menolongku. Berkat kebaikan hatinya aku bisa mengirit uangku.

Ia melungsurkan buku-buku awal kuliah yang masih rapi tersimpan di kamarnya. Bagiku Mbak Menur sudah seperti kakak keduaku.

Ibu dan Bapak ku kirimi surat, ku ceritakan semua tentang tempat kuliahku. Teman-teman kostku yang baik. Kesibukan kuliahku dan sebagainya.

Mereka berpesan agar aku menjaga kesehatan dan harus sering minum, khawatir sakit ginjalku kambuh lagi. Ibu bahkan memintaku agar tidak terlalu lelah dan banyak berkegiatan.

Menggurat cita dan harapan

Tak semudah membalik jemari

Aku harus kuat memadamkan rinduku

Pada ibu dan bapak

Tegar  dalam berikhtiar

Dan meninggalkan sepotong hatiku di Jogjakarta….

***

Menjadi  mahasiswi baru di Fakultas Kedokteran sungguh membuatku sedikit kelimpungan. Jadwal kuliah yang padat dengan jumlah 21 SKS, mau tak mau membuatku berjibaku.

Apalagi beberapa mata kuliah seperti Blok Sistem Respirasi dan Sistem Kardiovaskuler menggunakan panduan bahasa asing. Praktis, aku harus lincah mencari referensi.

Tak jarang perpustakan seolah menjadi rumah keduaku setelah kostan. Tapi aku menikmati, ini cita-citaku. Aku harus mampu menunjukkan pada Bapak dan ibu aku tidak setengah-setengah menggapai cita-citaku.

Sore itu aku baru pulang, tanganku membuka pintu pagar. Mas Aldi sedang bermain gitar. Jemarinya asyik menyentuh senar membunyikan nada merdu.

“Halo, Bu dokter, baru pulang nih. Tumben sore sudah di kostan “ suara lembutnya menyapa telingaku.

“Eh, Mas Aldi. Kebetulan dosennya tadi berhalangan hadir. Jadi kami hanya diberi tugas. “Aku membalas sambil tersenyum dan menundukkan kepala.

“Wah kebetulan, bisa jalan-jalan dong. Temani aku yuu, ada film yang mau aku tonton. Mau yaa?“ mas Aldi tersenyum, nada suaranya memohon.

Aku terkesima, memandang jengah wajahnya yang menatapku tajam. Bukan sekali, dua kali Mas Aldi mengajakku jalan. Sungguh, aku tak nyaman. Sejujurnya aku tak suka sikapnya yang agresif.

“Aduh Mas, mohon maaf sekali. Aku ingin mengerjakan tugas dari dosenku, kebetulan aku sudah janji dengan Ningrum untuk kerja kelompok “Aku menyunggingkan senyum memohon maaf.

“Yaa, kecewa ah. Laras kalau di ajak selalu nolak. Memang kenapa sih Ras ? Takut sama pacarnya yaa? “ senyumnya menggoda mencoba bercanda.

Aku hanya tersenyum. Buru-buru pamit, dan bergegas menuju kamarku. Iya, aku sudah punya seseorang yang selalu kurindukan senyum dan tatap teduh matanya. Mas Tito.

Mas Tito, Astafirullah aku belum mengabarinya.  Maafkan aku mas. Aku sibuk sekali. Aku menepuk dahiku, segera kutulis surat untuknya.

Keesokkan harinya surat tersebut langsung kuposkan. Hatiku deg degan menunggu balasan dari mas Tito.

Kutatap kalender yang menggantung di dinding, sebulan berlalu. Suratku tak kunjung ada balasan.

Aku melingkari tanggal liburan semester. Liburan nanti aku berniat ke Jogjakarta. Menemuimu, menjelaskan semua. Tunggu aku yaa mas, aku berdoa dalam hati dan membayangkan pertemuan yang indah.

Tak sabar rasanya menanti libur semester, aku seperti menabung rindu setiap waktu. Paras mas Tito dengan senyum lembutnya, mata elangnya dan semua kenangan di pantai Baron membuatku ingin segera terbang menemuimu.

                       ***

Terminal Umbulharjo, pukul 11.00 siang. Mentari memanggang bumi, sorotnya seolah diarahkan  dalam-dalam ke segenap makhluk bumi.

Aku mengipasi leherku dengan jemari kanan. Yaa, Allah Jogja tak kurang sedikit pun panasnya sedari dulu, keluhku dalam hati.

Aku mendekati seorang tukang becak yang terkantuk-kantuk. Wajahnya yang lelah, menyiratkan keletihan yang luar biasa.

Aku mengetuk atap becak perlahan, matanya terbuka. Di gosoknya kedua matanya, bergegas berdiri.

“Pak terno kulo neng Celeban yaa(Pak antarkan saya ke Celeban yaa). Aku tersenyum kepada penarik becak setengah baya tersebut.

“Njih mbak, monggo kulo terke mbak (Ya mbak, mari saya antar). Bapak penarik becak tersebut bergegas mempersilahkan saya duduk.

Pelan tapi pasti ia mengkayuh pedalnya. Melewati jalan-jalan yang masih melekat dalam benakku.

Matur nuwun bapak, niki ongkosnya(Terima kasih Bapak, ini ongkosnya) aku mengulurkan uang kepada bapak tersebut.

Njih mbak, matur sembah suwun (Iya mbak, terima kasih banyak) mukanya berseri, dan bergegas memutar becaknya mencari pelanggan lain.

Alhamdulillah,akhirnya aku tiba di depan pintu kostan lamaku. Kuketuk pintu secara perlahan.

“Assalammualaikum” terdengar anak kunci pintu di putar. Seraut wajah Bu Karto menyembul di bingkai pintu.

“Waalaikumsalam. Masya Allah, nak Laras. Pripun kabare cah ayu ?  ( Bagaimana kabarmu cantik). Bu Karto menjerit histeris dan memelukku.

Alhamdulillah, baik bu. Pripun kabare ibu ?         (Sehat bu, ibu sendiri bagaimana kabarnya). Aku tersenyum sumringah melihat Bu Karto yang semakin gendut.

          “Alhamdulillah, apik nak Laras. Ki nambah mbulet awak’e (Sehat nak Laras, yaa seperti tambah bulat) matanya mengerling jenaka.

          Aku dan Bu Karto melepas kangen. Dengan rinci aku menceritakan kepergianku dari Jogjakarta.

Beliau sangat bersyukur, mendengar aku berhasil menggapai impianku. Tak berapa lama Peni muncul. Ia baru pulang dari kuliah.

          Peni memelukku erat, airmatanya berlinang demikian juga aku. Ia merasa kehilangan teman, dan sedikit marah karena aku tak menjelaskan kepergianku.

          Bersama Peni aku menyambangi kostan Mas Tito. Kangenku yang menggunung ingin kutumpahkan dengan memandang senyumnya yang teduh.

          Harapanku retak, luruh hatiku dalam kekesalan. Tak kutemui senyum teduh dan tatap mata elang Mas Tito.

Apa daya ternyata Mas Tito dan Irfan pindah kostan empat bulan  yang lalu. Penghuni di kostan tak tahu di mana alamat Tito dan Irfan yang baru.

Peni menemaniku ke kampus, siapa tahu Tito berada di sana. Dengan langkah pasti dan rindu yang memenuhi lipatan hatiku, mataku nyalang mencari sosok yang kurindui di kampus lamaku.

Kembali aku harus menelan pil pahit. Mas Tito pulang kampung menurut teman satu kelasnya.

Cakrawala pias sudah, lebur hatiku menanggung rindu pada mata elang dengan senyum teduh.

Aku menangis terisak di bahu Peni. Sedih itu tak bisa ku kelabui, harapan yang kuanyam dari Jakarta buyar sudah.

Peni menggenggam jemariku, menguatkan hatiku yang kadung pilu. Ku titipkan alamat rumahku di kampung kepada Peni.

Aku memintanya menyampaikan kepada Mas Tito. Peni berjanji dan meyakinkan, alamat  rumahu akan di sampaikan kepada Tito.

Senja suram menghias lelangit terminal Umbulharjo. Abu menggantung di lipatan cakrawala melambaikan tangannya padaku.

Peni mengantarku sampai aku menaiki bis. Aku pulang, dengan abu kesedihan yang masih menggurat kantong rinduku.

Aku kangen dirimu mas, airmataku mengalir sepanjang perjalanan Jogja-Jakarta. Rinduku mengaduk relung hatiku. Kamu di mana mas?

Segugus cinta kubawa berlari

Berbingkai rindu tak pernah mati

Di penghujung purnama aku mencari

Senyum teduh kejora menawan hati

……………………………ooooo………………………

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun