***
Terminal Umbulharjo, pukul 11.00 siang. Mentari memanggang bumi, sorotnya seolah diarahkan  dalam-dalam ke segenap makhluk bumi.
Aku mengipasi leherku dengan jemari kanan. Yaa, Allah Jogja tak kurang sedikit pun panasnya sedari dulu, keluhku dalam hati.
Aku mendekati seorang tukang becak yang terkantuk-kantuk. Wajahnya yang lelah, menyiratkan keletihan yang luar biasa.
Aku mengetuk atap becak perlahan, matanya terbuka. Di gosoknya kedua matanya, bergegas berdiri.
“Pak terno kulo neng Celeban yaa(Pak antarkan saya ke Celeban yaa). Aku tersenyum kepada penarik becak setengah baya tersebut.
“Njih mbak, monggo kulo terke mbak (Ya mbak, mari saya antar). Bapak penarik becak tersebut bergegas mempersilahkan saya duduk.
Pelan tapi pasti ia mengkayuh pedalnya. Melewati jalan-jalan yang masih melekat dalam benakku.
“Matur nuwun bapak, niki ongkosnya(Terima kasih Bapak, ini ongkosnya) aku mengulurkan uang kepada bapak tersebut.
“Njih mbak, matur sembah suwun (Iya mbak, terima kasih banyak) mukanya berseri, dan bergegas memutar becaknya mencari pelanggan lain.
Alhamdulillah,akhirnya aku tiba di depan pintu kostan lamaku. Kuketuk pintu secara perlahan.