Bergegas mataku melongok ke dalam ruangan tersebut. Berwarna putih, dengan ubin coklat yang bersih membuatku langsung jatuh hati.
Aku langsung merasa sreg. Apalagi Ibu Roro melengkapi kostannya dengan dapur terpisah yang dapat digunakan semua penghuni kost.
Di bagian belakang dapur tertanam tiang jemuran khusus untuk penghuni kost. Â Rumah Bu Roro sendiri terpisah, dibatasi pagar tembok setinggi dada. Jadi kami tidak akan merasa risih dengan pemilik rumah.
Resmilah aku menjadi bagian penghuni rumah kostnya  Bu Roro,  meraih cita-cita yang aku dambakan.
Aku langsung akrab dengan semua penghuni kost. Â Terutama dengan Mbak Menur. Beliau kebetulan kakak tingkatku. Aku banyak dibantu pada awal-awal kuliah.
Tak menunggu lama, dua hari kemudian dua kamar yang kosong sudah terisi dengan penghuni baru. Keduanya sama sepertiku, mahasiswi baru, tetapi berbeda fakultas.
 Walaupun berbeda jurusan, kami semuanya kompak. Sudah seperti saudara sendiri.
Ibu Roro menempatkan dirinya sebagai Ibu bagi kami semua. Membuatku semakin betah.
Terkadang, Â kami masak bersama di dapur, tertawa gembira atau ngobrol ngalur ngidul.
Jika sedang senggang, kami kompak beramai-ramai ke taman di pertigaan rumah Bu Roro, sekadar membeli bubur kacang hijau atau ketoprak.
Ibu Roro memiliki dua orang putri dan seorang  putra. Dua putrinya sudah menikah dan tinggal di luar kota. Suami beliau sudah lama tiada. Sedangkan putranya baru kelas dua SMA.