Ibu Roro sengaja membuat pemondokan karena rumahnya yang luas terasa sunyi.
Tak heran beliau juga meminta adik laki-lakinya yang paling kecil untuk menemaninya.Â
Mas Aldi namanya, aku dikenalkan setelah seminggu menjadi penghuni resmi rumah kostnya Ibu Roro.
Mas Aldi sudah bekerja di perusahaan swasta, beliau lulusan Teknik Mesin di Universitas Semarang. Setiap hari berangkat pukul 07.00 pagi dan jam enam sudah tiba di rumah.
Semua penghuni kost akrab dengannya. Mas Aldi enak diajak ngobrol dan ramah. Aku sering ditawari berangkat bersamanya jika kebetulan aku bertemu di teras depan.
Aku lebih sering menolak, sungkan. Apalagi mas Aldi sering sekali menawariku untuk jalan bersama. Duh, sejujurnya aku tidak begitu tertarik.
Sejauh ini semua kehidupan di perantauan berjalan lancar, Mbak Menur banyak sekali menolongku. Berkat kebaikan hatinya aku bisa mengirit uangku.
Ia melungsurkan buku-buku awal kuliah yang masih rapi tersimpan di kamarnya. Bagiku Mbak Menur sudah seperti kakak keduaku.
Ibu dan Bapak ku kirimi surat, ku ceritakan semua tentang tempat kuliahku. Teman-teman kostku yang baik. Kesibukan kuliahku dan sebagainya.
Mereka berpesan agar aku menjaga kesehatan dan harus sering minum, khawatir sakit ginjalku kambuh lagi. Ibu bahkan memintaku agar tidak terlalu lelah dan banyak berkegiatan.
Menggurat cita dan harapan