"Ya, ya begitulah."
Aku mengalihkan pandangan ke arah matanya. "Sayang sekali jika harus kehilangan salah satunya, bukan begitu?"
Lelaki itu hanya terdiam, mencoba mengalihkan wajahnya dari tatapanku. Matanya memutar, seolah mencari sesuatu di sudut ruang tamu itu yang aman untuknya meletakkan pandangan.
Dadang meletakkan sebuah revolver yang terselip di belakang pinggangnya ke atas meja kaca, dentingan suaranya mengisi keheningan.
"Apa mau kalian!?" tanyanya dengan suara meninggi.
"Tentu Anda sudah tau maksud kedatangan kami, bukan?" jawabku datar. "Bos saya pasti sudah mengabari Anda, semalam."
"Kalau begitu, biarkan saya menyelesaikan sendiri urusan ini dengan bos Anda ... "
"Sayangnya, dia sudah tidak percaya lagi dengan janji Anda, Bapak Sudiro!" potongku cepat. Aku mengambil amplop coklat dari dalam tas, mengeluarkan isinya, dan menyodorkannya. Sebuah akta perjanjian hutang-piutang. "Sudah lima tahun berselang, Bapak Sudiro."
Dia tidak menyentuhnya, sepertinya lelaki tua itu sudah cukup paham isi lembaran kertas di hadapannya itu.
"Tetapi saya sedang tidak ada uang."
"Kalau begitu, silahkan tunggu kabar duka saja, saya pastikan kurang dari dua puluh empat jam," potong Dadang menyela.