Dia mengangguk.
Kami beranjak keluar. Setelah membayar hampir delapan juta di meja resepsionis. Enci terus berpegangan di lenganku menahan tubuhnya yang telah gontai. Kami keluar bersama dari tempat itu.
###
Hampir pukul setengah empat, ketika kami sampai di kamar kosku. Tanpa basa-basi Enci langsung melumat bibirku hingga menjatuhkan tubuh kami berdua ke atas ranjang.
Tanganku menjelajah setiap jengkal tubuhnya. Setiap bagian tubuhnya terasa lebih hangat dan basah.
"A, aku ke kamar mandi dulu ya?" pinta gadis itu.
Aku melepaskan kedua tanganku, seperti tawanan yang di todong senjata, aku terlentang di atas ranjang. Sayup-sayup mataku perlahan terpejam.
Aku terjaga, ketika tanpa aku sadari sebuah pisau menusuk dalam menembus baju dan kulit dadaku. Perih dan nyeri. Darah segar nampak mengucur deras membasahi ranjang.
"A Rio, apa sekarang kamu mengingatku?"
Aku menatap samar-samar wajah Enci. Rambutnya kini diikat ke belakang. Sebuah tahi lalat di bawah telinganya mengingatkanku pada foto gadis kecil di rumah Sudiro pagi tadi.
"Selamat tinggal Aa Rio, sampaikan salamku untuk Papa di surga."
Setengah gontai, gadis itu membawa tas jinjing berwarna merah hati dan kunci mobil, lalu menghilang di balik pintu.