Keheningan mengisi ruang itu beberapa saat.
"Baiklah, tunggu disini." Sudiro beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam rumah.
Seorang gadis berparas ayu tertutup jilbab satin bermotif bunga-bunga keluar dari dalam rumah, memegang nampan berisi tiga gelas cangkir berisi kopi dengan kepulan uapnya beradu dengan asap rokok milik Dadang.
"Silakan diminum dulu kopinya, Bapak." Gadis itu berujar, lalu pergi meninggalkan kami tanpa berkata-kata lagi.
"Cantik juga anaknya Sudiro," bisik Dadang menepuk bahuku. "Bagaimana kalau kita minta bonus semalaman dengan anaknya?"
Aku hanya terdiam, pura-pura tidak mendengar celotehnya.
Lima belas menit kemudian Sudiro keluar dari dalam rumah dengan sebuah tas jinjing berwarna merah hati dan menyodorkannya kepadaku. Aku membukanya, dan menghitungnya secara acak.
"Itu adalah gaji karyawan yang akan aku bayarkan nanti siang." Sudiro berujar setengah gemetar.
"Saya rasa itu bukan urusan kami." ujarku sambil beranjak di depan pintu. Mataku tertuju pada meja teras yang berisi koran, kopi yang sudah tak lagi mengepulkan uap dan sebuah kunci mobil berlambang Toyota.
"Bapak Sudiro, bagaimana jika Anda memberikan saya bonus?" ujarku sambil menyambar kunci mobil berlambang Toyota, dan melangkah santai meninggalkan rumah itu.
###
Sudah botol kedua, hentakan musik yang dimainkan disk jockey membuatku semakin cepat tinggi. Arif dan Dadang sudah tidak ada di sofa. Mereka menghilang di kerumunan orang-orang yang sedang berajojing ria.