Mohon tunggu...
Nadiyatul Kholifah
Nadiyatul Kholifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

semangat pejuang gelar!!!

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Konsep, Model, dan Metode dalam Evaluasi Pembelajaran

4 Juni 2024   20:39 Diperbarui: 4 Juni 2024   21:05 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Konsep Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi pembelajaran adalah tahapan penting Mendapatkan data dan informasi yang diperlukan melibatkan proses pengumpulan dan pengambilan informasi yang relevan menilai bagaimana dan sejauh mana pelaksanaan pembelajaran telah berlangsung. Melalui proses ini, kita dapat melakukan penilaian serta perbaikan yang diperlukan guna mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Peran evaluasi pembelajaran sangat strategis dalam keseluruhan proses pembelajaran karena membantu dalam mengevaluasi efektivitas dan efisiensi dari sistem pembelajaran itu sendiri. Berikut adalah beberapa konsep yang terkait dengan evaluasi pembelajaran.

  • Pengertian evaluasi pembelajaran 

Banyak orang sering mengasumsikan bahwa evaluasi pembelajaran adalah sama dengan ujian, tetapi sebenarnya keduanya memiliki makna yang berbeda. Meskipun ujian, seperti tes harian atau ujian akhir semester, merupakan bagian dari evaluasi pembelajaran, namun mereka tidak sepenuhnya mencakup semua aspek yang tercakup dalam evaluasi pembelajaran, terutama dalam konteks penerapan kurikulum 2013. Evaluasi pembelajaran tidak hanya menilai hasil belajar, tetapi juga mempertimbangkan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik selama proses pembelajaran. Penggunaan istilah-istilah seperti tes, pengukuran, penilaian, dan evaluasi seringkali disalahpahami dan disalahgunakan dalam praktik evaluasi. Meskipun konsep-konsep tersebut saling terhubung, namun terdapat perbedaan yang jelas di antara keduanya.

Secara keseluruhan, evaluasi mengacu pada penilaian terhadap mutu suatu entitas. Lebih lanjut, evaluasi dapat diartikan sebagai proses yang meliputi perencanaan, pengumpulan, dan penyediaan informasi yang diperlukan untuk memilih di antara berbagai alternatif keputusan. Artinya, evaluasi merupakan pendekatan terstruktur untuk menilai sejauh mana siswa telah mencapai tujuan pengajaran. Ada dua jenis evaluasi yang berbeda berdasarkan tujuannya: evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif bertujuan untuk mendapatkan umpan balik yang dapat meningkatkan program, sedangkan evaluasi sumatif bertujuan untuk mengevaluasi manfaat program dan membuat keputusan.

Penilaian, atau "Assessment" dalam bahasa Inggris, merujuk pada langkah evaluasi suatu entitas. Evaluasi ini terjadi dengan membuat keputusan terhadap suatu objek berdasarkan standar tertentu, yang mungkin mencakup kualitas, kesehatan, kecerdasan, tingkat, dan sebagainya. Proses penilaian adalah serangkaian tindakan teratur dan berkesinambungan yang mengumpulkan informasi mengenai kemajuan belajar peserta didik, dengan tujuan membuat keputusan yang sesuai dengan kriteria dan pertimbangan tertentu. Keputusan tersebut bisa berupa penilaian kinerja siswa, evaluasi kurikulum dan program, atau kebijakan pendidikan. 

Pengukuran adalah langkah dalam menetapkan nilai terhadap suatu besaran, dimensi, atau kapasitas, umumnya dengan merujuk pada standar atau unit pengukuran yang spesifik. Pengukuran tidak hanya berlaku untuk hal-hal yang dapat diukur secara kuantitatif secara fisik, tetapi juga bisa meliputi aspek-aspek yang lebih abstrak, seperti tingkat ketidakpastian atau keyakinan konsumen. Konsep pengukuran melibatkan proses pengumpulan data melalui observasi empiris untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks pendidikan, pendidik mengevaluasi pencapaian peserta didik dengan mengamati berbagai aktivitas mereka, memantau kinerja, mendengarkan apa yang mereka sampaikan, serta menggunakan indra seperti penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan perasaan. 

Pembelajaran, dalam kerangka yang luas, menggambarkan proses dalam organisme hidup yang menghasilkan perubahan dalam kapasitasnya yang bersifat permanen, yang tidak hanya dipicu oleh faktor seperti penuaan atau kematangan biologis. Ide ini berlaku untuk semua makhluk yang memiliki kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi dengan lingkungannya. Proses adaptasi ini melibatkan pembelajaran, di mana makhluk hidup mengembangkan kemampuan untuk merespons kebutuhan tertentu secara otomatis. Sebagai contoh, bernapas secara otomatis adalah bentuk pembelajaran, dan ketika suhu tubuh mengalami perubahan yang ekstrem, tubuh secara otomatis akan mengeluarkan keringat atau menggigil untuk menjaga suhu tubuh tetap stabil. Dengan demikian, pembelajaran adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Semua makhluk hidup mengalami proses pembelajaran ini, dan jika proses belajar terhenti, maka kemampuan mereka akan mundur. Hal ini juga berlaku untuk manusia.

Istilah pembelajaran sering dipakai bergantian dengan istilah pengajaran. Kedua istilah ini kadang memiliki makna berbeda dan kadang dianggap serupa. Pengajaran biasanya mengacu pada interaksi antara guru dan murid dalam setting kelas formal. Sementara itu, pembelajaran mencakup kegiatan belajar mengajar yang tidak selalu memerlukan kehadiran fisik guru. Oleh karena itu, cakupan pengajaran lebih sempit dibandingkan pembelajaran. Tetapi, ada yang berpendapat bahwa pengajaran dan pembelajaran pada intinya serupa, yaitu proses interaksi antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Evaluasi pembelajaran merupakan langkah penilaian terhadap keberhasilan kegiatan pembelajaran melalui pengamatan atau pengukuran. Tujuannya adalah untuk menilai efektivitas proses pembelajaran yang telah terjadi. Seluruh pihak yang terlibat, bukan hanya guru, tetapi juga siswa, terlibat dalam proses ini. Dari hasil evaluasi tersebut, guru dapat mengevaluasi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran dan mengidentifikasi kendala yang dihadapi siswa selama pembelajaran. Informasi ini kemudian menjadi dasar untuk meningkatkan dan mengembangkan program pembelajaran.

Penilaian pembelajaran memiliki peran sentral dalam proses evaluasi di dalam kelas atau dalam konteks belajar-mengajar. Ini melibatkan evaluasi yang dilakukan oleh guru saat menyampaikan materi kepada siswa. Bagi guru, penilaian pembelajaran adalah bagian krusial dalam proses pengajaran karena melalui penilaian ini, guru memperoleh pemahaman tentang pencapaian hasil belajar siswa. Penilaian juga memberikan informasi kepada guru tentang efektivitas materi yang diajarkan serta kemampuan siswa dalam memahaminya. Oleh karena itu, penilaian pembelajaran bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana keberhasilan pembelajaran yang telah dicapai oleh siswa dan guru, sehingga penyesuaian yang diperlukan dapat dilakukan untuk meningkatkan konsep pembelajaran atau pengajaran yang lebih efektif dan efisien. Tujuannya adalah mencapai hasil pembelajaran yang optimal dan secara tidak langsung, mencapai tujuan pendidikan secara keseluruhan.

Oleh karena itu, evaluasi pembelajaran merupakan proses penilaian yang dilakukan oleh pendidik terhadap kemajuan peserta didik dalam rentang waktu tertentu.

  • Tujuan Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi pembelajaran dikerjakan untuk menilai berbagai elemen pembelajaran, termasuk target, metode pengajaran, isi materi, alat bantu pembelajaran, sumber daya pembelajaran, konteks belajar, dan proses penilaian, dengan tujuan menilai seberapa baik dan efisien mereka berfungsi. Evaluasi ini juga bertujuan untuk mengevaluasi keberhasilan strategi pembelajaran, meningkatkan efektivitas program kurikulum, memberikan dukungan dalam proses belajar siswa, mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan siswa, serta menyediakan data yang diperlukan untuk pengambilan keputusan.

Chittenden (dalam Asrul) mengelompokkan tujuan penilaian ke dalam empat kategori sederhana, yaitu: (1) keeping track, (2) checking-up, (3) finding-out, dan (4) summing-up. Arifin menjelaskan empat tujuan tersebut sebagai berikut:

  • Keeping track: Ini merujuk pada kegiatan memantau dan mencatat kemajuan belajar siswa sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah disusun. Proses ini melibatkan pengumpulan data dan informasi selama periode tertentu dengan menggunakan berbagai metode penilaian untuk memahami perkembangan belajar siswa.
  • Checking-up: Tujuannya adalah untuk memeriksa pencapaian yang telah berhasil diraih oleh siswa selama proses pembelajaran dan mengidentifikasi area di mana siswa mungkin mengalami kesulitan. Guru perlu melakukan penilaian untuk menilai sejauh mana siswa telah memahami bagian-bagian materi pelajaran.
  • Finding-out: Ini merupakan upaya untuk menemukan dan mengidentifikasi kesalahan atau kelemahan siswa dalam pembelajaran, yang memungkinkan guru untuk dengan cepat mencari solusi alternatif guna membantu siswa.
  • Summing-up, Bertujuan untuk memberikan gambaran ringkas tentang sejauh mana pemahaman siswa terhadap kompetensi yang telah ditetapkan. Ringkasan ini bermanfaat bagi guru dalam menyusun laporan kemajuan belajar yang akan disampaikan kepada pihak-pihak terkait.

Penilaian pembelajaran memegang peranan penting dalam evaluasi di dalam kelas atau dalam konteks belajar-mengajar. Ini melibatkan evaluasi yang dilakukan oleh guru ketika mengajar materi kepada siswa. Bagi guru, penilaian pembelajaran adalah aspek yang sangat penting dalam proses pengajaran karena melalui penilaian ini, guru memperoleh pemahaman tentang pencapaian hasil belajar siswa. Selain itu, penilaian memberikan informasi kepada guru tentang seberapa efektif materi yang diajarkan dan sejauh mana siswa memahaminya. Karena itu, penilaian pembelajaran bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana keberhasilan pembelajaran yang telah dicapai oleh siswa dan guru, sehingga penyesuaian yang diperlukan dapat dilakukan untuk meningkatkan konsep pembelajaran atau pengajaran yang lebih efektif dan efisien. Tujuan utamanya adalah mencapai hasil pembelajaran yang optimal dan secara tidak langsung, mencapai tujuan pendidikan secara keseluruhan.

Jadi, tujuan evaluasi pembelajaran adalah untuk menilai seberapa baik dan efisien pembelajaran telah dilakukan, termasuk aspek-aspek seperti tujuan, metode pengajaran, materi pembelajaran, media yang digunakan, sumber belajar, lingkungan pembelajaran, dan metode penilaian.

  • Ruang Lingkup Evaluasi Pembelajaran

Ketika mempertimbangkan ruang lingkup evaluasi pembelajaran, memahami perbedaan antara penilaian dan evaluasi menjadi esensial. Dalam konteks pembelajaran, penilaian fokus pada mengevaluasi prestasi individu siswa di dalam kelas, sedangkan evaluasi melibatkan analisis menyeluruh terhadap berbagai aspek program pembelajaran, termasuk masukan, proses, dan hasil pembelajaran secara keseluruhan. Evaluasi dalam konteks pembelajaran mencakup sejumlah faktor seperti pencapaian siswa, peran guru, efektivitas kurikulum, fasilitas belajar, atmosfer kelas, sikap siswa, dan faktor lainnya. Oleh karena itu, perbedaan utama antara penilaian dan evaluasi terletak pada jangkauan atau cakupan mereka. Penilaian hanya mempertimbangkan satu aspek, sementara evaluasi memperhitungkan beragam aspek dalam program pembelajaran. Lebih lanjut, evaluasi selalu terkait dengan keseluruhan program pembelajaran, sehingga jangkauannya lebih luas daripada penilaian.

Dalam ranah pendidikan nasional, tujuan-tujuan pendidikan, baik yang terkait dengan kurikulum maupun instruksional, mengikuti klasifikasi prestasi belajar yang diperkenalkan oleh Benyamin Bloom. Bloom membagi prestasi pembelajaran menjadi tiga domain utama: kognitif, afektif, dan psikomotor. Evaluasi prestasi belajar berfokus pada ketiga domain tersebut. Di antara ketiganya, domain kognitif sering menjadi pusat perhatian utama dalam penilaian oleh pendidik di sekolah karena menyangkut pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran.

Ranah kognitif terdiri dari enam tingkatan, yakni:

  • Pengetahuan: Kemampuan memahami dan mengingat informasi dasar seperti fakta, istilah, dan prinsip.
  • Pemahaman: Kemampuan menjelaskan kembali konsep atau teori dengan menggunakan bahasa sendiri untuk menghasilkan pemahaman yang lebih dalam.
  • Penerapan: Kemampuan menerapkan ide atau konsep ke dalam situasi nyata atau konkret.
  • Analisis: Kemampuan mengurai dan mengidentifikasi hubungan antara berbagai ide atau gagasan yang telah diterapkan.
  • Sintesis: Kemampuan menggabungkan elemen-elemen yang berbeda untuk membentuk kesimpulan atau ide baru.
  • Evaluasi: Kemampuan mengevaluasi ide, situasi, atau metode berdasarkan kriteria tertentu.

Ranah afektif mencakup lima tingkatan, yaitu:

  • Penerimaan: Kemampuan menerima dan memahami informasi yang diberikan.
  • Responsif: Kemampuan merespons materi pembelajaran dan terlibat aktif dalam proses belajar.
  • Penghargaan: Kemampuan memberikan nilai atau menghargai informasi yang diterima.
  • Pengorganisasian: Kemampuan mengelola informasi ke dalam kerangka nilai atau sistem yang dimiliki.
  • Karakterisasi: Kemampuan mengintegrasikan nilai-nilai ke dalam kepribadian atau karakter individu.

Ranah psikomotor terdiri dari empat tingkatan, yaitu:

  • Emulasi: Kapasitas untuk meniru atau mencontoh apa yang telah diajarkan.
  • Manipulasi: Kemampuan menggunakan keterampilan yang diajarkan untuk melakukan tindakan atau manipulasi.
  • Koordinasi/timing: Kemampuan mengkoordinasikan gerakan dengan tepat dan teratur 
  •  Internalisasi: Kapasitas untuk melakukan tindakan secara lancar dan alami tanpa memerlukan upaya tambahan.

Jadi ruang lingkup evaluasi pembelajaran meliputi domain kognitif, afektif, dan psikimotorik.

Dapat disimpulkan bahwa konsep evaluasi pembelajaran terdiri dari beberapa aspek diantaranya pengertian evaluasi oembelajaran, tujuan evaluasi pembelajaran, dan ruang lingkup evaluasi pembelajaran.

B. Model Evaluasi Pembelajaran

Secara mendasar, terdapat dua jenis evaluasi yang lazim digunakan: evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif. Evaluasi kuantitatif berakar pada paradigma positivisme dan menekankan aspek kuantitatif dari kurikulum sebagai hasil belajar, dengan kriteria penilaian diukur dalam bentuk angka. Sementara itu, evaluasi kualitatif berangkat dari pendekatan evaluasi kurikulum dan menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengumpulkan dan mengevaluasi data, seringkali melalui pendekatan studi kasus.

Dalam metode evaluasi kuantitatif, langkah-langkah yang dilakukan meliputi:

1. Mengenali masalah dan pertanyaan yang akan dievaluasi.

2. Menetapkan variabel, jenis data, dan sumber data yang dibutuhkan.

3. Memilih metode evaluasi yang sesuai.

4. Membuat alat evaluasi yang sesuai.

5. Merencanakan langkah-langkah pengumpulan data.

6. Melakukan analisis data.

Sementara itu, dalam metode evaluasi kualitatif, prosesnya melibatkan langkah-langkah berikut:

1. Menetapkan titik berat evaluasi.

2. Merumuskan permasalahan dan menghimpun informasi yang sesuai.

3. Menganalisis data.

4. Menetapkan rekomendasi untuk perbaikan dan pengembangan program.

Worthen, Blaine R., dan James R. Sanders mengidentifikasi beberapa jenis model evaluasi yang dapat diklasifikasikan menjadi: model pengukuran, model kesesuaian, model sistem, dan model iluminatif.

a) Model Pengukuran 

Model ini memiliki akar yang lebih tradisional daripada model evaluasi lainnya dan diperkenalkan oleh tokoh-tokoh seperti R. Thorndike dan R. L. Ebel. Konsepnya menggambarkan evaluasi pendidikan sebagai "pengukuran" berbagai perilaku dengan tujuan untuk memperhatikan perbedaan di antara individu atau kelompok, dan hasilnya digunakan dalam seleksi, bimbingan, dan perencanaan pendidikan. Ruang lingkup evaluasi dalam model ini mencakup perilaku, terutama perilaku siswa, yang meliputi kemampuan belajar, kecerdasan, bakat, minat, sikap, dan aspek kepribadian lainnya. Secara singkat, subjek evaluasi mencakup aspek kognitif dan afektif dari perilaku siswa.

b) Model Kesesuaian 

Model ini bisa dianggap sebagai tanggapan terhadap model pengukuran, meskipun memiliki beberapa kesamaan dengan model sebelumnya. Tokoh utama dalam model ini adalah Raph W. Tyler, John B. Carrol, dan Lee J. Cronbach. Tyler menyatakan bahwa proses pendidikan melibatkan tiga elemen yang saling terkait: tujuan pendidikan, pengalaman belajar, dan evaluasi hasil belajar. Evaluasi adalah upaya untuk menilai sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai oleh siswa melalui hasil belajar yang mereka tunjukkan pada akhir proses pendidikan. Fokus evaluasi dalam model ini adalah memeriksa kesesuaian antara tujuan dan hasil belajar, dengan penekanan pada perubahan perilaku yang diharapkan yang ditunjukkan oleh siswa pada akhir proses pendidikan. Aspek perilaku yang dievaluasi meliputi pengetahuan, keterampilan, dan nilai/sikap. Model ini tidak hanya bergantung pada tes tertulis atau uji tulis, tetapi juga mempertimbangkan penggunaan alat evaluasi lain seperti tes tindakan dan observasi.

c) Model Sistem

Pada dasarnya, evaluasi dalam model sistem melibatkan perbandingan kinerja berbagai komponen sistem yang sedang dikembangkan dengan standar tertentu. Hasilnya adalah deskripsi dan penilaian tentang sistem yang sedang dievaluasi. Prinsip-prinsip yang mendasari model ini mencakup:

  •  Menggarisbawahi pentingnya mempertimbangkan sistem secara menyeluruh dalam proses evaluasi, tanpa hanya memusatkan perhatian pada hasil yang dicapai.
  • Inti dari evaluasi adalah perbandingan antara kinerja dan standar yang ditetapkan.
  • Evaluasi tidak hanya memberikan deskripsi tentang kondisi sistem yang dievaluasi, tetapi juga harus memberikan penilaian tentang kebaikan dan efektivitas sistem pendidikan.
  • Informasi dari evaluasi digunakan sebagai masukan untuk pengambilan keputusan tentang peningkatan sistem.
  • Hasil evaluasi digunakan untuk pengambilan keputusan, baik untuk meningkatkan sistem maupun untuk membuat kesimpulan tentang kualitas keseluruhan sistem.

d) Model Illuminatif 

Model ini awalnya dikembangkan di Inggris dan erat kaitannya dengan pendekatan antropologis. Salah satu figur sentral di dalamnya adalah Malcolm Parlett. Tujuan evaluasi dalam model ini adalah untuk melakukan penyelidikan menyeluruh tentang sistem yang sedang dievaluasi. Studi ini difokuskan pada masalah implementasi sistem, kelebihan dan kekurangan sistem, serta dampaknya terhadap proses pembelajaran siswa. Evaluasi dalam model ini menitikberatkan pada penjelasan dan penafsiran daripada pengukuran dan prediksi seperti dalam model-model sebelumnya. Lingkup evaluasi meliputi sejarah dan evolusi sistem, pelaksanaan proses, prestasi belajar siswa, serta kendala yang timbul dari tahap perencanaan hingga implementasi di lapangan, termasuk aspek kurikulum yang nyata dan tersembunyi.

Dalam domain evaluasi, terdapat beragam model yang berbeda dalam struktur atau kerangka kerjanya, meskipun ada beberapa persamaan di antara mereka. Model-model evaluasi dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  • Jenis evaluasi yang mengandalkan pendekatan kuantitatif, seperti yang digunakan dalam model Tyler, model teoretis Taylor dan Maguire, model pendekatan sistem Alkin, model Countenance Stake, model CIPP, dan model ekonomi mikro.
  • Sebaliknya, jenis evaluasi yang mengadopsi pendekatan kualitatif mencakup model studi kasus, model iluminatif, dan model responsif.

Untuk memperluas pemahaman tentang berbagai model tersebut, berikut ini diberikan beberapa penjelasan tentang model-model tersebut, baik yang menggunakan pendekatan kuantitatif maupun kualitatif.

a) Model Berorientasi Tujuan (Goal-Oriented Evaluation) 

Model evaluasi ini merupakan pendekatan inovatif yang menitikberatkan pada pencapaian tujuan program yang telah ditetapkan sebelumnya. Evaluasi dilakukan secara terus-menerus untuk mengevaluasi sejauh mana tujuan tersebut tercapai selama berlangsungnya program. Model ini awalnya diperkenalkan oleh Tyler.

 Model ini umumnya digunakan dalam struktur kurikulum di berbagai negara, yang mencakup sasaran pembelajaran umum dan spesifik. Kedua jenis tujuan ini digunakan sebagai acuan untuk menilai pencapaian pembelajaran dan menjadi instrumen evaluasi untuk mengukur efektivitas pengajaran dan pembelajaran di dalam kelas. Dalam konteks ini, evaluasi merupakan proses pengukuran untuk menentukan sejauh mana tujuan pembelajaran tercapai. Model ini praktis karena hasil yang diinginkan dapat diukur menggunakan standar yang telah ditetapkan sebelumnya.

Evaluasi program dalam konteks pendidikan mempertimbangkan delapan dimensi penting, seperti pengajaran, diagnosa (untuk perbaikan), pencapaian hasil belajar, fungsi seleksi, konseling (panduan), penempatan, evaluasi lembaga, dan kurikulum. Pendekatan evaluasi proses bertujuan untuk menilai pencapaian tujuan pendidikan dan juga untuk meningkatkan serta mengatur pelaksanaannya. Di samping itu, evaluasi kegiatan pendidikan dari perspektif kelembagaan mencakup berbagai tahapan, mulai dari perancangan, desain, pembuatan program, pengaturan, pelaksanaan, pengawasan, hingga penilaian.

Dengan menggunakan pendekatan yang berfokus pada tujuan, secara konseptual, ada tiga aspek utama yang relevan: kegiatan, hasil, dan metode pengukuran hasil. Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu guru dalam menetapkan tujuan dan menjelaskan bagaimana tujuan tersebut terhubung dengan aktivitas pembelajaran. Apabila tujuan pembelajaran dapat diamati dan diukur, evaluasi pembelajaran menjadi lebih mudah dan praktis. Pendekatan ini juga membantu guru dalam merancang aktivitas pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Instrumen evaluasi yang digunakan disesuaikan dengan tujuan yang ingin diukur. Hasil evaluasi mencerminkan sejauh mana program pembelajaran berhasil berdasarkan kriteria program yang spesifik. Keunggulan dari pendekatan ini adalah hubungan yang jelas antara tujuan dan aktivitas pembelajaran, serta penekanan pada peran siswa dalam proses pembelajaran. Namun, kelemahannya adalah potensi untuk dievaluasi secara berlebihan yang dapat memiliki dampak yang tidak diinginkan. 

b) Goal Free Evaluation (Model Evaluasi Bebas Sasaran)

Model evaluasi yang diperkenalkan oleh Michael Scriven bisa dianggap sebagai kontraposisi terhadap model yang dikembangkan oleh Tyler. Dalam pendekatan Scriven, evaluasi tidak mengikuti pendekatan yang berfokus pada tujuan program secara langsung, melainkan menggunakan pendekatan yang dikenal sebagai evaluasi lepas dari tujuan. Scriven berpendapat bahwa dalam proses evaluasi program, tidak perlu terlalu memusatkan perhatian pada tujuan program itu sendiri. Yang lebih esensial adalah untuk mengamati bagaimana program beroperasi dengan mengidentifikasi hasil-hasil yang terjadi, baik yang diinginkan maupun yang tidak. Hal ini karena terdapat risiko bahwa evaluator mungkin terlalu terperinci dalam mengevaluasi setiap tujuan spesifik. Meskipun mungkin saja semua tujuan spesifik tercapai, namun itu tidak selalu berarti bahwa hasilnya secara substansial mendukung tujuan umum. Karena itu, terlalu terfokus pada sejumlah besar tujuan khusus tanpa memperhatikan hubungannya dengan tujuan umum dapat mengakibatkan kurangnya manfaat dari evaluasi tersebut.

c) Formatif Sumatif Evaluation Model

Michael Scriven, selain mengembangkan model "evaluasi terlepas dari tujuan," juga menciptakan model lain yang dikenal sebagai model formatif-sumatif. Model ini menjelaskan dua tahap evaluasi yang berbeda dalam cakupan objek evaluasi. Tahap awal adalah evaluasi yang terjadi selama pelaksanaan program, yang disebut evaluasi formatif. Tahap kedua adalah evaluasi yang dilakukan setelah program selesai, dikenal sebagai evaluasi sumatif. Berbeda dengan model sebelumnya, dalam model ini, evaluator tidak dapat mengabaikan tujuan evaluasi. Meskipun demikian, tujuan dari evaluasi formatif dan sumatif tetap berbeda.

Dalam konteks pendidikan, model yang dikembangkan oleh Michael Scriven menekankan pada pertanyaan tentang kebutuhan, waktu, dan tujuan evaluasi. Evaluasi formatif adalah tipe evaluasi yang dilakukan selama implementasi program untuk mengevaluasi kemajuan dan mengidentifikasi hambatan yang mungkin muncul. Dengan mengidentifikasi rintangan dan faktor-faktor yang menghambat kemajuan program, keputusan dapat diambil pada tahap awal untuk melakukan perbaikan yang diperlukan demi mencapai tujuan program dengan lebih efektif.

Evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai dengan tujuan menilai kesuksesan program secara keseluruhan. Evaluasi sumatif dalam konteks pembelajaran bertujuan untuk menentukan posisi individu dalam kelompok tersebut. Karena evaluasi formatif dan sumatif dilakukan pada waktu dan objek yang berbeda, cakupan evaluasi yang dilakukan juga berbeda.

d) Countenance Evaluation Model

Stake mengembangkan model ini yang menitikberatkan pada dua aspek krusial, yakni deskripsi dan refleksi. Model ini juga membagi evaluasi program menjadi tiga tahap, yaitu awal, proses, dan hasil. Jika model countenance diterapkan dalam konteks evaluasi pembelajaran, dapat dijelaskan sebagai berikut: 

  • Rasional: Ini menunjukkan urgensi evaluasi pembelajaran sebagai konsep yang esensial dalam bidang pendidikan.
  • Antesedan: Ini mengacu pada faktor-faktor yang mendorong kebutuhan akan Penilaian pembelajaran, termasuk motivasi, ketertarikan, dan faktor-faktor lainnya.
  • Transaksi: Ini mencerminkan interaksi saling memengaruhi Interaksi antara pendidik dan pelajar, juga di antara sesama pelajar, dalam kerangka penilaian pembelajaran.
  • Hasil: Ini merujuk pada output yang dihasilkan dari proses evaluasi pembelajaran, meliputi Pengetahuan, kemampuan, sikap, dan pencapaian akademik.
  • Pertimbangan: Ini melibatkan evaluasi terhadap cara dan langkah-langkah yang digunakan dalam menjalankan penilaian pembelajaran.
  • Tujuan: Ini mengukuhkan tujuan atau pencapaian yang diharapkan melalui pelaksanaan evaluasi pembelajaran.
  • Pengamatan: Ini mencakup hal-hal yang diamati dan diperhatikan oleh pengamat selama proses evaluasi pembelajaran.
  • Standar: Ini mengacu pada standar atau harapan dari berbagai pihak yang terlibat dalam konteks evaluasi pembelajaran.
  • Keputusan: Ini melibatkan penilaian terhadap program pembelajaran, baik yang dilakukan oleh evaluator maupun oleh pihak lain yang terlibat dalam proses evaluasi.

Stake menekankan bahwa dalam mengevaluasi program pendidikan, evaluator harus melakukan dua perbandingan yang tak dapat dihindari:

  • Mengadu hasil evaluasi dari suatu program dengan program sejenis yang bertujuan serupa.
  • Membandingkan pencapaian implementasi program dengan standar yang telah ditetapkan untuk program tersebut, yang berdasarkan pada tujuan yang ingin dicapai.

e) Model Responsif

Model responsif menekankan pendekatan kualitatif-naturalistik, di mana evaluasi dianggap bukan sesuatu yang dapat diukur secara pasti, tetapi sebagai interpretasi makna atau representasi realitas dengan mempertimbangkan beragam sudut pandang dari individu yang terlibat, memiliki kepentingan, dan tertarik dengan proses pembelajaran. Tujuan menggunakan model responsif dalam evaluasi adalah untuk memahami semua aspek program pembelajaran dari berbagai perspektif. Dalam pendekatannya, model ini kurang memperhatikan elemen kuantitatif. Instrumen yang biasanya digunakan lebih menekankan pada observasi langsung atau tidak langsung dengan interpretasi data yang bersifat impresionistik. Langkah-langkah evaluasi mencakup observasi, pencatatan hasil wawancara, pengumpulan data, pemeriksaan pengetahuan awal peserta didik, dan pengembangan desain atau model. Melalui langkah-langkah ini, evaluator berusaha merespons individu yang terlibat dalam hasil evaluasi. Namun, aspek yang paling penting dalam model responsif adalah proses pengumpulan dan sintesis data.

f) CIPP (Context Input Process Product)

Model CIPP, yang dikembangkan oleh Daniel L. Stufflebeam dan timnya di Ohio State University pada tahun 1967, adalah salah satu model evaluasi yang sangat relevan dalam konteks evaluasi program. CIPP merupakan singkatan dari empat komponen evaluasi: Konteks (penilaian terhadap latar belakang), Masukan (penilaian terhadap input), Proses (penilaian terhadap proses), dan Produk (penilaian terhadap hasil).

Model CIPP tidak secara eksplisit menekankan tujuan program. Sesuai dengan definisi evaluasi program pendidikan yang diajukan oleh komite Phi Delta Kappa USA yang dipimpin oleh Stufflebeam, model ini melihat evaluasi sebagai proses untuk menggambarkan pencapaian dan memberikan informasi untuk mendukung pengambilan keputusan alternatif. Model CIPP dirancang untuk menyediakan dasar bagi pengambilan keputusan dalam mengevaluasi sistem dengan menganalisis perubahan yang direncanakan.

Model ini, seperti namanya, mengidentifikasi empat jenis evaluasi:

  • Evaluasi konteks bertujuan untuk memberikan dukungan pada proses perencanaan dengan melakukan penilaian terhadap faktor-faktor lingkungan yang relevan. Ini membantu dalam merumuskan keputusan perencanaan dengan mengidentifikasi kebutuhan yang harus dipenuhi oleh program pembelajaran serta menetapkan tujuan yang jelas untuk program tersebut.
  • Evaluasi masukan bertujuan untuk mendukung keputusan struktural. Ini melibatkan penilaian terhadap masukan yang membantu dalam menyusun keputusan. Tujuan evaluasi ini adalah untuk mengarahkan pengambilan keputusan dengan mengidentifikasi sumber daya yang tersedia, memilih opsi yang tepat, merencanakan strategi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, dan menyiapkan langkah-langkah kerja yang diperlukan.
  • Evaluasi proses bertujuan untuk mendukung keputusan implementasi. Ini melibatkan penilaian terhadap proses yang membantu dalam pelaksanaan keputusan. Tujuannya adalah untuk memverifikasi pelaksanaan rencana sesuai prosedur yang telah ditetapkan, menilai kinerja yang telah dilakukan, serta mengidentifikasi area yang memerlukan peningkatan.
  • Evaluasi produk bertujuan untuk mendukung keputusan pengembalian. Ini melibatkan penilaian terhadap produk yang membantu dalam pengambilan keputusan lanjutan. Tujuan evaluasi ini adalah untuk mengevaluasi hasil yang telah dicapai oleh program dan menentukan tindakan yang perlu diambil setelah program berakhir.

g) Model Kesenjangan (Discrepancy) Malcolm Provus

Model ini meyakini bahwa untuk mengevaluasi kesuksesan suatu program, evaluator dapat membandingkan ekspektasi atau standar yang diharapkan dengan kinerja aktual yang telah dicapai. Dengan demikian, kita dapat mengidentifikasi apakah terdapat perbedaan antara keduanya, yang sering disebut sebagai kesenjangan (discrepancy). Dari sudut pandang ini, model tersebut lebih berfokus pada identifikasi kesenjangan antara standar yang telah ditetapkan sebagai tujuan dan kinerja yang sebenarnya. Hal ini memungkinkan untuk secara objektif menilai apakah suatu program pembelajaran layak untuk dilanjutkan, dihentikan, atau memerlukan perbaikan untuk meningkatkan kinerjanya.

Menurut pandangan Suharsimi Arikunto, model kesenjangan ini melibatkan beberapa langkah, yang dijelaskan sebagai berikut:

1) Tahap perancangan: Dalam tahap ini, langkah-langkah meliputi pengembangan tujuan program, persiapan siswa, staf, dan peralatan yang diperlukan, serta penentuan standar yang dapat diukur. Biasanya, evaluator bekerja sama dengan pengembang program dalam fase ini.

2) Tahap pemasangan atau instalasi melibatkan peninjauan terhadap kelengkapan yang telah dipersiapkan untuk memastikan kesesuaiannya dengan kebutuhan yang ada. Kegiatan ini mencakup evaluasi ulang terhadap standar yang telah ditetapkan, penilaian terhadap kemajuan program yang sedang berlangsung, serta identifikasi kesenjangan antara rencana dan pencapaian yang telah terjadi.

3) Tahap proses, yang juga dikenal sebagai tahap pengumpulan data dari pelaksanaan program oleh Borg dan Gall, melibatkan evaluasi terhadap pencapaian tujuan dengan menggunakan kesenjangan sebagai acuan.

4) Tahap evaluasi tujuan (produk) melibatkan analisis data dan penilaian terhadap tingkat pencapaian yang telah tercapai.

Pada tahap perbandingan, evaluator membandingkan hasil yang telah dicapai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Informasi mengenai perbedaan tersebut kemudian disampaikan kepada para pengambil keputusan untuk membantu mereka dalam menentukan langkah selanjutnya terkait program tersebut. Tindakan selanjutnya bisa berupa penghentian, penggantian, atau revisi program, melanjutkan program, atau menyesuaikan tujuannya.

Dengan menerapkan prosedur tersebut, evaluator dapat menentukan apakah program pembelajaran telah mencapai sasaran yang ditetapkan atau belum. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan seberapa baik peserta didik dalam mencapai tujuan tersebut melalui kinerja mereka.

Bisa ditarik kesimpulan bahwa setiap model evaluasi memiliki pendekatan, tujuan, dan prosedur yang unik dalam menilai keberhasilan program pendidikan. Model kuantitatif lebih terstruktur dan berbasis data numerik, sedangkan model kualitatif lebih fleksibel dan interpretatif. Pemilihan model evaluasi bergantung pada tujuan evaluasi dan konteks program yang dievaluasi. Dengan memahami berbagai model evaluasi ini, pendidik dan evaluator dapat memilih pendekatan yang paling sesuai dengan kebutuhan evaluasi mereka, baik itu kuantitatif atau kualitatif, serta menerapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperoleh hasil evaluasi yang akurat dan berguna.

C. Metode Evaluasi Pembelajaran

Ada dua jenis metode yang digunakan dalam evaluasi, yaitu yang memanfaatkan tes dan yang tidak menggunakan tes. Berikut adalah penjelasannya:

  • Tes 

Tes merupakan instrumen terstruktur yang dipergunakan untuk mengukur atau mengumpulkan informasi mengenai kemampuan atau bakat individu atau kelompok. Berdasarkan cara peserta menjawabnya, tes dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis utama: tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik. Dalam kategori tes tertulis, terdapat dua jenis utama: tes esai atau uraian (yang subjektif) dan tes objektif.

  • Tes Subjektif (Uraian) 

Tes subjektif, yang juga dikenal sebagai tes esai atau tes uraian, memberikan siswa kebebasan untuk memilih dan menentukan jawaban mereka sendiri. Kemampuan siswa untuk merumuskan jawaban mereka sendiri dapat menghasilkan variasi dalam respon, yang juga mengakibatkan variasi dalam tingkat keakuratan dan ketidakakuratan jawaban. Oleh karena itu, penilaian atas jawaban tersebut menjadi subjektif karena tergantung pada evaluasi pribadi dari penilai.

Tes esai adalah jenis tes di mana peserta diharuskan untuk memberikan jawaban dalam bentuk penjelasan, baik dengan kebebasan penuh atau dengan batasan tertentu. Tes esai yang memberikan kebebasan penuh memungkinkan peserta untuk merumuskan jawaban mereka sendiri menggunakan kata-kata mereka sendiri, serta mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi. Sebaliknya, tes esai yang menggunakan kriteria spesifik bertujuan untuk menilai keterampilan siswa dalam menjelaskan hubungan sebab-akibat, menerapkan prinsip atau teori yang relevan, menyajikan argumen yang kuat, merumuskan hipotesis yang tepat, membuat kesimpulan yang sesuai, menjelaskan suatu prosedur, dan aspek lain yang serupa.

Dengan demikian, soal uraian adalah jenis pertanyaan yang memerlukan siswa untuk mengingat dan mengorganisasi ide-ide atau materi yang telah dipelajari, kemudian mengekspresikan atau menguraikan ide-ide tersebut dalam bentuk penjelasan tertulis. Secara sederhana, tes esai atau soal uraian ini adalah jenis tes tertulis yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang menyajikan masalah dan meminta siswa untuk memberikan jawaban dalam bentuk penjelasan yang mencerminkan kemampuan berpikir mereka.

Ada beberapa keunggulan dari tes esai, yaitu:

1) Memungkinkan siswa untuk mengatur jawaban dengan pemikiran mereka sendiri.

2) Mengurangi probabilitas tebak-tebakan ketika menjawab pertanyaan.

3) Melatih siswa dalam mengidentifikasi fakta yang relevan terkait masalah dan menyusunnya menjadi gagasan yang terpadu.

4) Membantu siswa dalam mengekspresikan jawaban menggunakan kata-kata dan kalimat yang mereka buat sendiri, sehingga meningkatkan keterampilan mereka dalam menyusun kalimat dengan bahasa yang efektif dan tepat.

5) Soal uraian cocok untuk mengevaluasi kemampuan analitis, sintetis, dan evaluatif.

Meskipun demikian, tes esai juga memiliki beberapa kelemahan:

1) Penilaian terhadap jawaban tes esai sering tidak konsisten karena variasi dalam jawaban yang dapat diterima, yang mengakibatkan variasi dalam penilaian.

2) Tes esai mengharuskan jawaban yang cenderung lebih panjang, yang mengakibatkan waktu yang diperlukan untuk menjawab satu pertanyaan menjadi signifikan, Sehingga membatasi jumlah pertanyaan yang bisa diajukan dalam satu sesi tes dan mengurangi representasi menyeluruh dari materi yang telah disampaikan.

3) Proses penilaian tes esai memerlukan penggunaan waktu dan energi yang besar, karena setiap jawaban harus diperiksa secara detail satu per satu.

Tes esai memiliki sejumlah ciri khas, di antaranya:

1) Tes ini mengandung pertanyaan atau instruksi yang meminta respons dalam bentuk penjelasan atau pemaparan kalimat, yang seringkali memiliki panjang yang cukup.

2) Pertanyaan atau instruksi tersebut menekankan pada pemberian penjelasan, komentar, interpretasi, perbandingan, kontrast, dan jenis respons serupa.

3) Jumlah pertanyaan esai biasanya terbatas, seringkali berkisar antara lima hingga sepuluh butir.

4) Pertanyaan-pertanyaan esai biasanya dimulai dengan kata-kata seperti "uraikan", "mengapa", "terangkan", atau "jelaskan".

Langkah-langkah penyusunan soal esai adalah sebagai berikut:

1) Pertanyaan esai sebaiknya mencakup pokok-pokok materi yang telah dipelajari. 

2) Untuk mencegah kecurangan seperti menyontek atau berkomunikasi dengan peserta lain, pertanyaan harus dirumuskan dengan cara yang berbeda dari materi yang terdapat dalam buku pelajaran.

3) Variasi dalam pertanyaan esai penting untuk menghindari keseragaman. Misalnya: "Jelaskan perbedaan antara ... dan ... dan jelaskan mengapa perbedaan itu penting ..."

4) Pertanyaan harus dirumuskan dengan kalimat yang singkat dan jelas.

5) Sebelum tes dimulai, instruksi tentang cara menjawab pertanyaan harus disampaikan dengan jelas, seperti "Tuliskan jawaban Anda di atas lembar jawaban dan sesuai dengan nomor pertanyaan yang ada."

  • Tes Objektif

Tes objektif diberi nama demikian karena memberikan konsistensi dalam evaluasi kepada semua peserta tes. Tes respons singkat, yang dikenal juga sebagai tes objektif, melibatkan sejumlah pertanyaan yang memungkinkan peserta untuk memilih satu atau beberapa opsi jawaban yang telah tersedia, atau untuk memberikan jawaban dalam bentuk kata-kata atau simbol di area yang telah ditentukan untuk masing-masing pertanyaan. Terdapat beberapa variasi tes objektif, termasuk tes melengkapi kalimat, pilihan ganda, mencocokkan, dan tes benar atau salah.

Tes objektif juga dikenal sebagai tes dikotomik karena hanya memiliki dua pilihan jawaban, yakni benar atau salah, yang dinilai menggunakan skor 1 atau 0. Istilah "objektif" diberikan karena penilaian tidak tergantung pada orang yang melakukan koreksi; hasilnya konsisten karena kunci jawaban sudah ditetapkan sebelumnya. Tes objektif mengharuskan peserta untuk memilih jawaban yang tepat dari opsi yang diberikan, memberikan respons yang singkat, atau melengkapi pernyataan atau pertanyaan yang belum lengkap. Tes semacam ini cocok untuk mengevaluasi keterampilan yang melibatkan proses mental yang sederhana, seperti mengingat, mengidentifikasi, memahami, dan menerapkan prinsip-prinsip dasar.

Dengan memahami hal di atas, keunggulan tes objektif adalah:

a) Lebih mewakili isi dan luasnya materi pembelajaran.

b) Lebih efisien dan cepat dalam proses penilaian karena menggunakan kunci jawaban, bahkan dapat didukung oleh teknologi seperti pemindai dan komputer.

c) Memungkinkan penugasan penilaian kepada pihak lain.

d) Dalam proses penilaian, tidak ada pengaruh subjektivitas dari guru, penilai, siswa, atau peserta tes.

Namun, beberapa kekurangan yang mungkin muncul pada tes objektif meliputi:

a) Memerlukan persiapan yang lebih rumit dibandingkan dengan tes esai, karena membutuhkan perencanaan yang teliti dalam menyusun banyak butir soal untuk menghindari kelemahan lainnya.

b) Butir-butir soal cenderung hanya mengevaluasi kemampuan mengingat dan mengidentifikasi, sehingga sulit untuk menilai kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti sintesis atau kreativitas.

c) Siswa memiliki banyak peluang untuk menebak jawaban saat menjawab soal.

d) Kemungkinan adanya kolaborasi antara siswa dalam mengerjakan tes lebih terbuka dan lebih mudah terjadi.

Beberapa variasi dari tes dalam bentuk objektif termasuk: tes melengkapi (completion test), pilihan ganda(Multiple Choice Test), menjodohkan (Matching), Tes isian (Fill-in), dan bentuk pilihan benar-salah (True-False). Berikut adalah penjelasan lebih detail tentang masing-masing jenis tersebut:

  • Melengkapi (Completion test)

Completion test, juga dikenal sebagai tes melengkapi atau menyempurnakan, adalah jenis tes objektif yang serupa dengan tes fill-in. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa tes fill-in menuntut peserta untuk melengkapi satu kesatuan, sedangkan pada tes completion, hal itu tidak selalu diperlukan.

  • Tes pilihan ganda (Multiple Choice Test)

Tes pilihan ganda, atau multiple choice test, adalah jenis tes objektif di mana setiap pertanyaan memiliki beberapa pilihan jawaban, dan hanya satu jawaban yang dianggap benar atau paling tepat.

  • Tes menjodohkan (Matching)

Tes menjodohkan, yang sering disebut sebagai tes mencocokkan, tes mencari pasangan, atau tes menyesuaikan, adalah jenis tes objektif di mana peserta diminta untuk menghubungkan dua set informasi yang berkaitan satu sama lain.

  •  Tes isian (Fill-in)

Tes objektif berbentuk fill-in umumnya terdiri dari cerita atau teks yang memiliki bagian yang kosong, yang harus diisi dengan jawaban yang tepat oleh peserta.

  • Tes benar atau salah (True-False)

Tes objektif bentuk true-false, yang juga dikenal sebagai tes ya-tidak, melibatkan peserta dalam menentukan kebenaran atau ketidakbenaran pernyataan yang diberikan.

  • Bentuk Jawaban Singkat (Short Answer)

Bentuk respon singkat adalah tipe item respons yang memberikan kebebasan kepada peserta untuk menjawab dengan singkat dan padat pada setiap pertanyaan.

  • Non-tes

Teknik non-tes adalah pendekatan evaluasi yang memperoleh informasi tentang perkembangan peserta didik tanpa mengandalkan alat tes formal. Penting untuk diingat bahwa evaluasi hasil belajar tidak selalu memerlukan penilaian dalam bentuk skor dari tes. Sebaliknya, banyak informasi tentang hasil belajar atau aspek lainnya dapat diperoleh melalui metode lain selain pengukuran langsung. Teknik non-tes meliputi berbagai metode seperti observasi, wawancara, skala sikap, check list, dan penilaian keterampilan.

 Anas Sudjiono menekankan pentingnya teknik evaluasi non-tes dalam menilai prestasi belajar siswa, terutama dalam aspek sikap dan keterampilan psikomotorik. Uno, Hamzah, dan Satria juga menyoroti bahwa alat evaluasi non-tes sering digunakan dalam berbagai metode evaluasi, seperti: (a) menilai kinerja, (b) mengevaluasi produk, (c) menilai proyek, (d) portofolio, dan (e) mengukur sikap.

(a) Daftar Cek

Uno, Hamzah, dan Satria (dalam Andri Kurniawan) menjelaskan bahwa daftar cek digunakan saat melakukan penilaian kinerja dalam situasi di mana kompleksitas penilaian relatif rendah. Metode ini memungkinkan klasifikasi kinerja siswa menjadi dua kategori: berhasil atau tidak berhasil. Dalam evaluasi kinerja dengan menggunakan daftar periksa, skor akan diberikan kepada siswa jika penilai dapat melihat kriteria tertentu terpenuhi. Jika tidak terlihat, siswa tidak akan dinilai. Kelemahan dari pendekatan ini adalah penilai hanya memiliki dua pilihan mutlak, yaitu ya-tidak atau dapat terlihat-tidak terlihat.

(b) Skala Rentang

Penilaian kinerja dengan menggunakan skala rentang memungkinkan penilai untuk memberikan evaluasi secara bertahap guna mengukur penguasaan kompetensi tertentu, dengan memiliki pilihan nilai yang lebih bervariasi daripada hanya dua kategori. Untuk mengurangi subjektivitas dan meningkatkan akurasi hasil penilaian, disarankan melibatkan lebih dari satu penilai dalam proses penilaian. 

(c) Penilaian Sikap

Sikap terdiri dari tiga komponen utama: afektif, kognitif, dan konatif. Komponen afektif menunjukkan perasaan atau evaluasi individu terhadap suatu objek. Elemen kognitif mencakup keyakinan atau pemahaman individu tentang objek tersebut. Elemen konatif mencerminkan kecenderungan individu untuk bertindak atau berperilaku tertentu terkait dengan objek sikap. Dalam konteks pembelajaran di berbagai mata pelajaran, aspek-aspek sikap yang perlu dievaluasi adalah sebagai berikut:

  • Sikap terhadap bahan pelajaran: Adalah krusial bagi siswa untuk memperlihatkan sikap positif terhadap bahan pelajaran untuk memfasilitasi perkembangan minat belajar, meningkatkan motivasi, dan memperdalam pemahaman materi secara efektif.
  • Sikap terhadap pendidik: Memperlihatkan sikap yang baik terhadap pendidik memiliki signifikansi besar bagi siswa karena mencerminkan penghargaan terhadap bahan pelajaran yang diajarkan. Sikap negatif terhadap pendidik bisa menghambat pemahaman materi yang disampaikan.
  • Sikap terhadap proses belajar: Penting bagi siswa untuk merasa menyenangkan dalam keseluruhan proses pembelajaran, termasuk suasana belajar, metode pembelajaran, dan teknik yang diterapkan. Suasana pembelajaran yang menarik dan nyaman dapat meningkatkan semangat belajar siswa dan mencapai hasil pembelajaran yang optimal.
  • Pendekatan terhadap nilai atau norma yang terkait dengan materi pelajaran: Sebagai contoh, sikap terhadap isu lingkungan hidup dalam mata pelajaran seperti Biologi atau Geografi. Siswa perlu menunjukkan pandangan positif terhadap nilai-nilai tertentu yang terkait dengan pelestarian lingkungan.
  • Sikap yang berkaitan dengan kompetensi afektif yang relevan dari berbagai mata pelajaran lintas kurikulum.
  • Penilaian sikap dapat dilakukan dengan berbagai metode atau teknik, termasuk melalui pengamatan perilaku, kajian langsung, dan catatan pribadi.

(d) Penilaian Proyek

Uno, Hamzah, dan Satria (dalam Andri Kurniawan) menjelaskan bahwa penilaian proyek melibatkan evaluasi terhadap tugas yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Proses ini meliputi berbagai tahapan, mulai dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan, hingga penyajian data. Menurut Kunandar, penilaian proyek adalah evaluasi terhadap tugas yang harus diselesaikan dalam batas waktu yang telah ditentukan, dengan penugasan dan pengumpulan tugas dilakukan sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Muslich menjelaskan bahwa penugasan atau penilaian proyek memberikan gambaran menyeluruh tentang kemampuan peserta didik dalam menerapkan konsep dan pemahaman suatu mata pelajaran. Metode ini memungkinkan guru untuk mengevaluasi kemampuan sesungguhnya dari setiap peserta didik.

Haryati menambahkan bahwa dalam merencanakan penilaian proyek, ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan:

  • Kemampuan manajemen: Keterampilan peserta didik dalam memilih topik, mencari informasi, mengatur waktu, dan menyusun laporan.
  • Relevansi: Kesesuaian proyek dengan materi pelajaran yang diajarkan, serta mempertimbangkan tingkat pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran.
  • Keaslian: Proyek harus merupakan karya orisinal peserta didik, dengan bimbingan guru yang memberikan petunjuk, arahan, dan dukungan selama pelaksanaan proyek.

(e) Penilaian Produk

Penilaian produk melibatkan evaluasi terhadap kemampuan peserta didik dalam menciptakan produk, kualitas hasil akhirnya, serta memperhatikan proses pembuatannya. Ini mencakup kemampuan peserta didik dalam membuat berbagai produk dalam berbagai bidang seperti teknologi dan seni, termasuk makanan, pakaian, karya seni seperti patung, lukisan, dan gambar, serta barang-barang dari bahan seperti kayu, keramik, plastik, dan logam. Proses pengembangan produk ini terdiri dari tiga tahap yang masing-masing memerlukan evaluasi:

  • Proses Persiapan: Evaluasi dilakukan terhadap keterampilan peserta didik dalam merencanakan, menghasilkan ide, dan merancang produk.
  • Proses Pembuatan Produk: Evaluasi keterampilan peserta didik dalam memilih dan menerapkan bahan, peralatan, serta teknik yang sesuai.
  • Proses Penilaian: Evaluasi terhadap kemampuan peserta didik dalam menciptakan produk yang berfungsi dengan baik dan memenuhi standar estetika yang telah ditetapkan.

Penilaian produk dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan berbeda: holistik atau analitik:

  • Pendekatan holistik: Fokusnya adalah pada kesan keseluruhan yang diberikan oleh produk, biasanya diterapkan pada tahap akhir penilaian.
  • Pendekatan analitik: Lebih menekankan pada evaluasi aspek-aspek khusus dari produk, dan umumnya digunakan untuk semua kriteria selama proses pengembangan.

(f) Penilaian Portofolio

Menurut perspektif Sumarna Surapranata dan Mohammad Hatta (dalam Andri Kurniawan), portofolio mengacu pada kumpulan dokumen atau materi evaluasi yang digunakan oleh individu, kelompok, lembaga, atau entitas lainnya untuk mencatat dan mengevaluasi perkembangan suatu proses dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Guru memanfaatkan portofolio sebagai alat untuk mencatat semua materi dan sumber daya yang terlibat dalam proses pembelajaran, termasuk evaluasi diri dan evaluasi terhadap peserta didik. Dalam konteks penilaian, portofolio merupakan koleksi karya atau dokumen peserta didik yang terorganisir dan terkumpul selama periode pembelajaran. Guru dan peserta didik menggunakan portofolio ini untuk mengevaluasi dan memantau perkembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik dalam suatu mata pelajaran.

(g) Penilaian Diri (self assessment)

Menurut Sudaryono (dalam Andri Kurniawan), penilaian diri adalah metode evaluasi di mana peserta didik mengevaluasi kemajuan mereka sendiri terkait dengan status, proses, dan pencapaian kompetensi yang telah dipelajari dalam suatu mata pelajaran. Pendekatan ini berguna untuk menilai kompetensi dalam tiga aspek: kognitif, afektif, dan psikomotorik.

  • Dalam penilaian kompetensi kognitif, sebagai contoh, siswa diminta untuk mengevaluasi pemahaman mereka terhadap pengetahuan dan keterampilan berpikir dalam mata pelajaran tertentu. Evaluasi diri ini dilakukan berdasarkan kriteria atau referensi yang telah ditetapkan.
  • Untuk penilaian kompetensi afektif, peserta didik mungkin diminta untuk mengekspresikan perasaan mereka terhadap suatu objek melalui tulisan, kemudian menilai perasaan mereka sesuai dengan kriteria atau referensi yang telah ditetapkan.
  • Dalam penilaian kompetensi psikomotorik, peserta didik diminta untuk menilai tingkat penguasaan keterampilan tertentu berdasarkan pada kriteria atau pedoman yang telah ditetapkan.

Penilaian diri dilakukan dengan menggunakan kriteria yang jelas dan pendekatan yang objektif. Dalam konteks ini, proses penilaian diri oleh siswa di kelas melibatkan langkah-langkah berikut:

  • Mengidentifikasi kompetensi atau aspek kemampuan yang akan dievaluasi.
  • Menetapkan kriteria penilaian yang akan digunakan dalam evaluasi.
  • Merancang format penilaian, seperti panduan penilaian, daftar periksa, atau skala penilaian.
  • Mendorong siswa untuk mengevaluasi diri mereka sendiri.
  • Guru melakukan evaluasi terhadap sampel hasil penilaian secara acak untuk memastikan bahwa siswa melakukan penilaian diri dengan teliti dan obyektif.
  • Memberikan umpan balik kepada siswa berdasarkan hasil evaluasi dari sampel hasil penilaian yang dipilih secara acak.

Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (Depdiknas), ada beberapa jenis penilaian diri (self-assessment), yang meliputi:

  • Penilaian Langsung dan Spesifik: Ini adalah evaluasi yang dilakukan secara langsung, baik selama maupun setelah menyelesaikan tugas, untuk mengevaluasi aspek-aspek kompetensi tertentu dalam suatu mata pelajaran.
  • Penilaian Tidak Langsung dan Holistik: Dilakukan dalam jangka waktu yang lebih panjang untuk memberikan evaluasi menyeluruh terhadap kemajuan siswa.
  • Penilaian Sosio-Afektif (Socio-Affective Assessment), yang menilai aspek afektif atau emosional siswa.

Kunandar menyatakan bahwa dalam penilaian diri, diperlukan pertimbangan terhadap prinsip-prinsip berikut:

  • Jaminan bahwa peserta didik menilai aspek tertentu melalui penilaian diri telah didefinisikan secara jelas dan rinci. 
  • Menetapkan teknik dan langkah-langkah yang akan digunakan untuk melakukan penilaian diri, seperti memanfaatkan checklist atau sistem skor.
  • Menata proses pengolahan dan penentuan nilai dari hasil evaluasi diri siswa.
  • Menyimpulkan berdasarkan evaluasi diri yang telah dilakukan oleh siswa.

Secara keseluruhan, evaluasi dapat dibagi menjadi dua pendekatan: tes dan non-tes. Tes tertulis mencakup pertanyaan esai (yang subjektif) dan pertanyaan objektif, sementara metode non-tes sering diterapkan dalam berbagai teknik evaluasi, termasuk penilaian kinerja, penilaian produk, penilaian proyek, portofolio, dan penggunaan skala sikap.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun