"Anda nonmuslim?" Tebak wanita berkerudung hijau itu melanjutkan sapanya. Pierre tersipu malu ditebak sedemikian, namun ia jujur langsung mengiyakan dengan anggukannya.
"Namaku Pierre!" Ia memperkenalkan diri dengan menjulurkan tangan kanannya hendak bersalaman. Agak canggung juga suasananya ketika si Cantik itu hanya menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada sambil sedikit membungkuk. Tersadar, pierre segera menarik uluran tangannya, sambil ikut-ikutan menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Kedua insan itu pun jadi tertawa ringan demi sadar kecanggungan yg sudah terjadi.
"Namaku Marrion." Balas Si cantik itu memperkenalkan diri. "Baru pertama datang ke sini?"
Pierre kembali mengangguk. Dengan jujur kemudian diceritakannya peristiwa yg telah terjadi sejak 3 hari yg lalu hingga sore hari ini. Hingga sekarang ia terisak menangis di dalam masjid ini.
Marrion menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum dan berujar, "Subhanalloh!"
Pierre yg tak paham dengan apa yg diucapkan Marrion hanya mengernyitkan dahinya, seolah minta penjelasan lebih lanjut dari ucapan Marrion itu.
Tanggap akan kebingungan Pierre tersebut, Marrion kemudian menjelaskan tentang ungkapan kekagumannya itu.
"sebaiknya aku antarkan Anda berkeliling dulu, sebelum nanti aku perkenalkan Anda dengan saudara-saudaraku." Marrion menawarkan diri menjadi pemandu berkeliling masjid itu. Awalnya Pierre menolak karena pemuda yg sebelumnya tadi sudah menawarkan diri juga.
Marrion hanya tertawa kecil mendapat penolakan tsb, dan kemudian menerangkan bahwa tak apa-apa krn pemuda tadi juga temannya. Namanya Ahmad, berasal dari Albania, namun sudah tinggal cukup lama di Paris ini, begitulah Marrion menerangkan tentang pemuda tadi. Kakinya mulai melangkah perlahan, yg akhirnya diikuti pula oleh Pierre. Mulailah Marrion menjadi guide dadakan, menjelaskan awal mula berdirinya masjid ini sebagai hadiah dari raja Perancis waktu itu kepada para pejuang Islam di Perang Dunia pertama. Ia juga menyambungkannya dengan kisah penyelamatan Yahudi di Paris dari kejaran tentara Nazi Jerman di dalam masjid itu pada masa perang Dunia kedua. Beberapa ruang seperti perpustakaan, ruang kantor dan bagian yang lain pun ikut diperkenalkannya. Pierre mengangguk-angguk menyimak cerita Marrion itu.
"Itu saudara-saudaraku sudah selesai sembahyang. Mari aku perkenalkan dengan guru yg ada di sini, mungkin beliau bisa lebih menjelaskan apa yg telah terjadi dengan Anda beberapa hari ini." Ajak Marrion untuk menemui beberapa orang saudaranya dan guru yg disebutkannya tadi.
Sang guru yg dimaksud ternyata adalah imam besar Masjid Paris ini. Seorang lelaki tua tinggi kurus namun terlihat tetap gagah dalam balutan jubah kuning dan kain surban merah putih menghiasi kepalanya. Pembawaannya lemah lembut, dan dengan sabar menyimak keterangan yg disampaikan Marrion sebagai awal pembuka perkenalan sang guru dengan Pierre.