Tanpa alas sajadah sama sekali, Pierre merasakan sengatan panas ketika paving trotoar itu bersentuhan dengan dahi pada setiap sujudnya. Ya, walaupun sudah masuk waktu ashar pun, tempat berpijak mereka saat itu masih cukup mendapat terik sinar matahari. Apalagi suhu udara Makkah saat ini bisa mencapai 45 sampai 47 derajat Celcius. Maka tak ayal kemudian, Pierre pun menangis terisak-isak dalam sholatnya. Di dalam hatinya terus berdzikir beristighfar memohon ampun atas kesalahannya melalaikan panggilan sholat ashar tadi. Ia merasa Allah sedang menghukumnya saat itu juga. Air wudhu sudah tak berbekas sama sekali di kulitnya saking panasnya pavement di sore itu.
"Ini masih ashar saja sepanas ini, bagaimana kalo ini waktu dhuhur? Terima kasih ya Allah, aku ikhlas Engkau hukum seperti ini. Aku lalai ya Allah, ampunilah aku. Sayangilah aku ya Allah!" jerit dalam hatinya berulang-ulang seperti gemuruh ombak yang bergulung-gulung tiada usai dan memecah di tepi pantai saja. Isak tangisnya masih susul menyusul, bahkan hingga jamaah fardhu selesai berganti dengan ajakan muadzin berjamaah berikutnya untuk shalat jenazah. Di Al Haram, hampir setiap usai jamaah fardlu selalu disusul dengan sholat jenazah.
"Lain kali atur waktu dan rencana lebih baik lagi. Malu aku kalau tertinggal seperti ini." gerutu Pierre pada dirinya sendiri setelah jamaah ramai mulai berdiri dan bubar. Sesekali tangannya berusaha menyeka mata dan pipinya. Sebastian yang mendengarnya hanya tersenyum. Ia pun juga mahfum akan gerutuan sahabatnya itu.
Sebenarnya rancangan mereka tadi sudah cukup baik. Jam satu seusai jamaah jumat, mereka segera bergegas ke arah pertokoan di distrik Misfalah selatan Al Haram. Harapannya mereka punya cukup waktu sekitar dua setengah jam sebelum masuk waktu ashar, untuk berbelanja atau setidaknya survey barang di Misfalah sana. Itu sudah cukup dengan bolak-baliknya juga, semestinya. Namun naasnya, mereka tak menyadari bahwa bubaran jamaah jum'ah dari Haram menuju Misfalah, sebagaimana juga ke arah Jarwal dan Aziziah, merupakan perjuangan menembus rapatnya manusia yang seolah berbaris dalam gerakan perlahan. Sehingga jarak pertokoan yang tak lebih jauh dari setengah mil itu pun baru bisa mereka jangkau dalam waktu setengah jam pula.
Ditambah lagi akibat tersesat arah karena belum pernah melancong sama sekali ke daerah itu. Mereka sempat berbelok ke kanan ke arah Bakhutmah, karena jalannya yang tampak lebih besar dan lebih banyak pula jamaah yang berbelok ke arah itu.
Meskipun semalaman mereka sudah banyak bertanya kepada Diouf, petugas hotel Le Meridien tempat mereka menginap dan yang dulu bertugas mendampingi umroh awal mereka, namun karena tak dilanjutkan dengan melihat ke lokasi langsung, akhirnya mereka tersesat juga. Sebenarnya pula, hotel Le Meridien sangat dekat dengan blok pertokoan ini, karena Le Meridien di sebelah timur bukit Misfalah, dan pertokoan di sebelah baratnya. Hanya saja itu harus ditempuhi dari terowongan yg juga rutin dilalui bus Saptco pada arah pulangnya dari Menara Jam.
Apesnya bagi mereka berdua, bahasa Inggris keduanya tak begitu fasih, didukung aksen perancis mereka yang sengau, membuat percakapan mereka dengan orang-orang yang mereka jumpai cukup menyulitkan untuk saling paham. Bangsa Arab, India, Asia Timur maupun rumpun Melayu yang banyak mereka temui di distrik pertokoan itu semuanya kesulitan bercakap-cakap dengan mereka.
Nasib baiknya, setelah sempat berputar-putar tak tentu arah di daerah pertokoan itu, hingga sempat kebablasan di bawah fly over tempat pembagian halalan dari Raja Arab, akhirnya mereka berjumpa dengan seorang pemuda asal Indonesia yang bisa berbahasa Perancis pula di seputaran kios buah. Pemuda itu bahkan rela menemani mereka mencari-cari toko dan barang yang sedang mereka tuju.
Sebenarnya, Pierre ingin membeli sajadah berwarna ungu yang tampak cantik saat dilihatnya beberapa hari sebelumnya. Sajadah Turki yang dipegang oleh Fatimah, seorang nenek dari Indonesia pula. Ia sempat mencari di toko-toko di dalam Menara Jam, namun tak ditemuinya sajadah yg sama dengan milik nenek dari Indonesia itu. Sekarang kebetulan ada seorang Indonesia yang menemaninya, ia pikir pemuda Indonesia itupun tahu pasti letak toko yang menjual sajadah yang sama persis dengan milik nenek tersebut. Sayangnya, walaupun pemuda yang menemani mereka itu pemuda Indonesia, dan pertokoan Misfalah juga merupakan pusat perdagangan karpet, sajadah, kain dan pakaian yang sangat lengkap di Mekkah, akan tetapi bahkan ketika adzan ashar mulai berkumandang pun mereka belum pula menjumpai sajadah yang diidam-idamkan itu. Banyak pilihan sajadah, namun belum sama dengan yg diinginkan Pierre.
Usai bangkit dari trotoar tempat sholat tadi, mereka mulai menepi dan meneruskan berjalan ke arah serambi Al Haram. Proritas mereka saat ini untuk merampungkan jamaah maghrib dan isya di dalam masjid dulu, rencananya di lantai atas bergabung dengan rombongan mereka yang lain yang dipimpin Abdullah. Mereka sudah saling berjanji untuk bertemu di depan gerbang no. 91, di bawah tiang lampu terdekat. Urusan belanja belakangan saja. Nyali mereka betul-betul ciut jika sampai tak bisa berjamaah dengan baik seperti tadi, apalagi bila sampai terlewatkan jamaahnya. Langkah mereka sempat terhambat kerumunan orang yang mulai memesan makanan di toko roti yang mulai buka kembali. Semua toko memang menutup counternya saat jamaah fardlu, bahkan semua staffnya pun ikut bergabung berjamaah di trotoar atau selasar di depan tokonya masing-masing. Begitu jamaah usai, aktivitas dagang pun dimulai kembali. Seperti halnya toko roti itu tadi.
Jelang pukul lima sore, di dalam masjid Al Haram, Sayid mulai terkantuk-kantuk saat mendarus Al Quran-nya. Ia terpaksa harus mengulangi bacaannya dari ujung atas halaman bilamana terlewatkan ayat mana dia terakhir kali membaca sebelum akhirnya terkantuk-kantuk lagi. Selepas ashar memang waktu yang paling berat baginya. Di waktu yang lain, ia bisa bebas bergerak sehingga tidak sampai mengantuk dengan menunaikan sholat-sholat sunnah, selain pilihan mendarus Al Quran. Namun jika lepas ashar, tak ada pilihan lain selain mendarus Al Quran. Ada pula pilihan untuk tidur-tiduran saja di sini, atau malah sekalian thawaf di bawah sana. Ia tak sampai hati untuk merebahkan diri beristirahat sejenak seperti beberapa jamaah yang lain di dekat situ. Khawatir jika betul-betul tertidur, dan harus mengulang wudhu di saat yang sudah dekat dengan adzan, karena ia tak sanggup untuk bolak-balik dari tempat wudhu di serambi masjid di bawah sana dan kembali ke lantai tiga ini. Oleh karenanya, wudhunya betul-betul dijaga agar tak sampai batal bila sudah tinggal setengah jam dari waktu adzan. Untuk ke kamar kecil di bawah tanah serambi sana, biasanya hanya dilakukannya bila sudah persis selesai jamaah fardhu. Waktunya akan sangat longgar. Bahkan cukup pula waktu untuk memesan segelas teh susu dan sekotak kentang goreng di toko roti sana.