Pierre tersenyum mendengar kalimat "man jadda wajada" tersebut. Angannya sejenak terbayang ke hari-hari sebelum ia mengikrarkan dua kalimat syahadatnya lima bulan yg lalu. Hari ketika kakinya mendadak terhenti sendiri saat melintasi distrik 5 di Paris, tepat di depan Grande Mosquee de Paris (Masjid Agung Paris), dalam perjalanannya menuju stasiun metro Place Morge.
Saat itu pandangan kedua bola matanya tersita untuk melihat lima anak-anak kecil yg berlomba lari dengan riang gembira melompati anak tangga menuju ke dalam masjid itu. Tangan kanan mereka sambil menggenggam buku kecil hijau yang sama, sambil memekikkan tawa yg tiba-tiba menghujam dan menenangkan hati Pierre. Topi-topi bulat putih, yg belakangan dikenalnya sebagai peci ikut menghiasi kepala, menambah kelucuan malaikat-malaikat kecil itu. Beberapa orang tua usia sebaya, yang mungkin ayah dan ibu dari anak-anak kecil tadi, tampak tenang mengikuti mereka dari belakang. Ada aura penuh kedamaian terpancar dari wajah keluarga itu.
"Hei ... Ayo ambil tas kita!" Seruan David membuyarkan sejenak angannya tadi. Pierre bergegas berdiri membuka kabin di atasnya, dan dengan sigap menurunkan ketiga tas koper kecil milik mereka. Sebastian yg duduk di antara Pierre dan David ikut berdiri membantu menata tas koper tsb di atas kursi mereka.
Ketika penumpang yg duduk di depan mulai meninggalkan tempat, berjalan menuju ke pintu keluar, segera pula ketiga sahabat ini pun bergegas menyusul. David sedikit keheranan demi melihat raut wajah Pierre yg tiba-tiba sudah berubah penuh senyuman. Tak seperti tadi yg penuh kecemasan. Tangan David memegang pundak Pierre sekali lagi. Pierre menoleh ke arahnya. Mereka hanya saling berpandangan dan tersenyum.
"Man jadda wajada!" Kata Pierre sambil balas memegang tangan David yang berada di pundaknya, seolah menjawab apa yg ingin diketahui oleh benak David tadi. Sehingga senyum David pun makin lebar karena senang mendengarnya. Tangannya kemudian kembali menepuk-nepuk pundak Pierre menandakan kepuasannya.
"Setelah pemeriksaan dokumen oleh petugas bandara, nanti segera ambil tas koper masing-masing di ruang baggage claim ... Tapi jangan pergi jauh dari situ. Kita nanti bersama-sama ke ruang tunggu di luar, untuk sama-sama bersiap ihram." Komando Abdullah kembali terdengar lantang saat rombongan mereka telah melintasi jalur kedatangan.
Saat di dalam antrian pemeriksaan dokumen, angan Pierre seolah menyambungkan kisah di depan Grande Mosquee de Paris tadi. Setelahnya, selama tiga sore berturut-turut ia lalui hanya dengan berdiri di depan masjid itu, tak kurang tak lebih, tak beranjak sejengkal pun dari tempat ia pertama kali berhenti dan berdiri. Namun sore ini, tak berselang lama kemudian ada satu tanda tanya besar menyeruak muncul di dalam hatinya.
"Mengapa kakinya tiba-tiba selalu berhenti di sana?"
"Dan mengapa pula hatinya ikut menjadi begitu damai saat melihat keluarga-keluarga kecil yg hendak masuk ke dalam masjid itu?"
Dan suara-suara itu, entah orang menyanyikan apa dari dalam masjid sana (yg di kemudian hari akan dikenalinya sebagai adzan), seperti menariknya untuk mulai berani melangkah menapaki tangga masjid ... Hingga nyaris menginjakkan kakinya di pintu masjid itu, saat dirinya tersadar dan berhenti melangkah lebih jauh.
"Assalaamu alaikum." Sapa lembut seorang pemuda tampan, sepertinya mahasiswa dengan wajah layaknya orang Eropa timur, seakan menghentikan geraknya yg berniat menarik mundur kakinya dari pintu masjid itu.