Mohon tunggu...
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani Mohon Tunggu... -

seorang bodoh yang sedang belajar untuk terus memberi manfaat ... ciyeeeeee! Idealis banget!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sajadah Milik Pierre

17 Desember 2014   20:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:07 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku sih manut saja, Mi. Cuman agendanya pagi ini apa? Mau thawaf dulu sebelum shubuh, sebelum dhuha atau mau nanti sore saja?" Sayid belum memutuskan. Tangannya menyambut satu botol minum yang disodorkan Fatimah kepadanya, untuk dimasukkan ke dalam tas "rojokoyo"-nya.

"Aku nanti sore saja, bakdo ashar ya Bi." Jawab Fatimah. "Pagi ini sholatul lail saja, sekalian aku pengin sholat tasbih. Biar ndak kesusu-susu."

"Baiklah, aku sebenarnya pengin mencoba thawaf di lantai atap. Kata pak Mursyid kok lantainya yang utara sudah selesai dicor hingga bersambung dengan lantai yg segaris dengan rukun Yamani. Kemarin blok plastik pembatasnya juga sudah disingkirkan. Ya besok sajalah dicobanya." Kata Sayid mengulang informasi dari pak Mursyid ketua regu mereka.

Fatimah hanya tersenyum mendengarnya. Ia paham betul akan sifat keingin tahuan suaminya itu, yg selalu ingin mencoba-coba hal yg baru di saat "eling" atau bersemangat, ... namun kemudian bakal angin-anginan lagi kalo tidak ada yg mengingatkan atau menyemangati. Padahal, yang didengar Fatimah dari info pak Mursyid pula, satu putaran thawaf di lantai atap itu sama dengan tiga sampai empat kali putaran thawaf di lantai utama di bawah. Terbayang olehnya bagaimana siang nanti si suami bakal ribut meminta dipijiti karena capek kakinya bilamana saja jadi melakukan thawaf di lantai atap dini hari ini.

"Kok pakai sajadah yang itu, bi?" Tanya Fatimah saat melihat sajadah tebal yang digantungkan si suami di tas rojokoyo-nya. "Apa ndak jadi bawa sajadah yg dibeli pagi tadi?"

"Pakai ini saja kalau malam, biar gak kedinginan kena lantainya nanti." Sayid menerangkan mengapa ia tetap memakai sajadah Turki yg tebal itu, sajadah yang dulu dihadiahi seorang kawan yg pulang haji. Kata kawannya itu, biar ia segera ketularan berhaji. Sayid hanya terkekeh bila mengingat itu, karena ia tahu di beberapa pasar di Surabaya pun gampang sekali ia jumpai sajadah yg sama dengan sajadah ini. Apalagi di pasar Turi dan di pasar Slompretan, tinggal pilih sesuai budget masing-masing.

"Nanti siang saja aku bawanya." Sambung Sayid sambil memencet tombol lift untuk turun di tempat penginapan itu. Fatimah segera mengekor di belakangnya saat pintu lift terbuka di lantai lobby. Tangan kecilnya segera meraih lengan Sayid, untuk sedikit menahan langkah cepat suaminya itu. Dua insan sepuh ini pun mulai membelah jalan Hijrah, dalam tiupan angin yang masih berasa gerahnya, menyusuri sepanjang trotoar dan jalan pertokoan Misfalah, menuju ke Haram, dengan diterangi lampu-lampu jalan yang benderang.

Saat mentari mulai menampakkan semburat sinarnya di bukit-bukit batu di sekeliling Haram, langkah Fatimah ketika keluar dari pintu annisa no. 89 sedikit terhenti karena terhalang sosok-sosok lelaki yang tinggi besar yang masih berihram yang baru saja turun dari escalator di gerbang 91. Ia menahan dirinya sesaat, ketimbang kalah tenaga bertubrukan dengan jamaah tadi. Namun rupanya mereka sama-sama berhenti di bawah tiang lampu di depan gerbang 91. Di tempat yang sama yang dipakai sebagai gathering point dengan Sayid, suaminya. Fatimah agak kesulitan menebarkan pandangan saat mencari-cari bilamana sosok suaminya mungkin telah muncul di dekat situ.

Sosok-sosok lelaki besar yang tak lain adalah Pierre, David dan Sebastian itu masih saja menghalangi pandangan Fatimah, sehingga kecemasan dan kejengkelan mulai merasuki hati Fatimah. Namun ia segera menepisnya dengan cepat dalam kalimat istighfar.

"Astaghfirullohal adziim." Fatimah terus berdzikir menenangkan hatinya. Ia berharap sang suami segera muncul di hadapannya.

Desis istighfar Fatimah rupanya terdengar juga di telinga Pierre. Ia menoleh kepada perempuan tua di dekatnya itu yang masih kesulitan melongokkan kepala karena terhalang tubuhnya dan rekan-rekannya yang lain. Demi membantu nenek ini, Pierre mengingsutkan badannya agak ke timur menjauhi si nenek sembari menarik pundak David dan Sebastian, sehingga pandangan Fatimah bisa lebih bebas lagi. Bola matanya melirik sajadah ungu yg cantik yang didekap sang nenek itu. Sebuah sajadah yg pasti tidak mengecewakan jika ia hadiahkan pada Marrion. Namun belum sempat ia bertanya di mana ia bisa mendapatkan sajadah yg sama seperti itu, seorang kakek datang menghampiri nenek itu, menggamit tangan sang nenek dan segera beranjak pergi. Mulut Pierre tak jadi bersuara untuk bertanya. Pandangannya terpaku pada sosok kakek-nenek yang asyik bergandengan menembus kerumunan kecil jamaah lainnya. Ada kegelian dan juga rasa iri dalam hatinya yg tiba-tiba muncul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun