"Anda akan masuk atau apa?" Sambung pertanyaan si pemuda itu ketika Pierre tidak menjawab salam darinya.
Suara Pierre seolah terkunci di kerongkongannya, tak bisa keluar sepatah kata pun. Ia gelagapan demi ketahuan telah berdiri di muka pintu itu.
"Mari masuk saja, sebentar lagi jamaah ashar akan segera dimulai." Ajak si pemuda itu.
Pierre mengumpulkan segenap kekuatan dan keberaniannya untuk menjawab ajakan tsb. Menolak, mungkin lebih tepatnya.
"Saya bukan muslim!" Tegas Pierre akhirnya setelah berani berkata-kata.
Namun Si pemuda justru meraih tangannya dan menggeretnya masuk.
"Tak apa, Anda bisa melihat-lihat sisi dalamnya. Setelah itu terserah Anda, apakah akan pulang atau ikut saya berkeliling melihat-lihat masjid ini." Si pemuda berusaha menjelaskan niatnya.
"Banyak juga kok nonmuslim yg berkunjung ke masjid ini, meski ya hanya sampai di tamannya saja." Sambung si pemuda sambil tetap menggandeng tangan Pierre. "Baiklah, saya akan melanjutkan sembahyang di dalam masjid sana, sedangkan Anda silakan jika ingin berkeliling terlebih dahulu. Tapi sebaiknya lepaskan sepatu Anda itu, biar lebih bebas melihat bagian bangunan yg lain."
Pierre hanya mengangguk mengiyakan semua kata-kata si pemuda tadi, karena saat ini matanya sedang terbelalak kagum demi memandang kolam dan taman yg terhampar di dalam masjid itu. Dirinya yg sebenarnya seorang jurnalis gaya hidup di sebuah majalah anak muda, justru baru kali ini bisa melihat langsung sebuah keelokan di dalam masjid Paris ini. Padahal hampir setiap hari dia lalu lalang di depannya.
Teringat pesan si pemuda tadi, Pierre segera bergegas melepas sepatunya. Ia memandang berkeliling hingga terlihat olehnya beberapa deret loker untuk meletakkan sandal dan sepatu. Selesai mengurus sepatunya, Pierre mulai melangkah menapaki sisi taman dan kolam yg ada di sekitar situ. Hatinya masih takjub setakjub-takjubnya. Bahkan kedamaian yg tadi sudah menghiasi hatinya, saat ini makin menggelora, hingga tiba-tiba air matanya mengucur tak tertahankan olehnya.
Pierre kelabakan demi mendapati dirinya menangis tanpa sebab seperti itu. Terburu-buru dikeluarkannya sapu tangan dari saku celananya, sehingga malah sempat jatuh ke lantai, menarik perhatian seseorang yg berdiri tak jauh darinya. Akhirnya setelah dengan penuh perjuangan menyeka pipi, mata, hidung dan menenangkan hatinya, tinggallah matanya saja yg masih berkaca-kaca. Ada satu ruang hampa yg mendadak muncul dalam hatinya. Sebuah kehampaan seperti sedang merindukan sesuatu yg amat sangat. Namun Pierre sendiri tak tahu apa yg sedang dirindukannya itu, dan mengapa pula timbul rasa sedemikian.
"Hai ..!" Tiba-tiba sebuah sapaan lembut terdengar di sampingnya. Sapaan yg ketika ditolehnya berasal dari satu makhluk manis yg sudah berdiri tak jauh darinya.