Mohon tunggu...
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani Mohon Tunggu... -

seorang bodoh yang sedang belajar untuk terus memberi manfaat ... ciyeeeeee! Idealis banget!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sajadah Milik Pierre

17 Desember 2014   20:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:07 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa rekan memang ada pula yang berwudhu di tempat kran air zamzam. Namun baginya untuk menyia-nyiakan zamzam seperti itu bila tidak terpaksa dan mendesak betul merupakan satu hal yang berat. Malu sekali rasanya kepada Allah bila ia harus berbuat berlebihan seperti itu. Demi mencegah kantuknya, sebotol sprayer yg telah diisi air dari kamar penginapan disemprotkannya guna membasahi dan membasuh wajahnya. Percikan air itu cukup menyejukkan kulitnya di saat udara Al Haram mulai kering dan panas seperti sore ini. Hatinya mulai menimang-nimang, apakah dia sebaiknya turun ke lokasi thawaf di bawah sana atau dia akan tetap duduk di sini saja sambil menahan kantuknya. Belum selesai ia menimang-nimang, tiba-tiba bahunya disergap oleh tangan yang cukup kuat milik pak Mursyid, ketua regunya.

"Mbah Sayid di sini rupanya." pak Mursyid atau rekan-rekan yang lain lebih akrab memanggilnya pak Karu membuka percakapan. "Dengan siapa di sini Mbah?"

"Enggih Mas, cuma sendirian. Tadi dengan pak Tono dan pak Mochtar waktu jumatan. Trus, mereka pamitan makan siang kok belum balik lagi ke sini. Mungkin pindah di tempat lain. Kebetulan ada Njenengan di sini sekarang, saya nggak jadi ngantuk. Hehehe" jawab Sayid menimpali pertanyaan pak Karu.

Pak Karu cuman ikut terkekeh mendengarnya. "Lha mbok dipakai tadarusan, ketimbang ngantuk, mbah!"

"Sampun, Mas. Dapat lima klebet, mata saya sudah minta merem terus. Klira-kliru wae ini tadi, mesti ngulangi dari atas lagi di halaman terakhirnya. Saya nyerah wis, ga kuat." terang Sayid.

Tak berselang lama obrolan mereka mulai berganti tema. Dari membicarakan sisi barat bangunan di Haram yang terus dikebut penyelesaiannya, berganti kabar bu Tutik salah satu jamaah rombongan mereka yang pagi tadi harus dilarikan ke rumah sakit, terus persiapan ke Armina dalam waktu dekat, hingga tentang cara menembus rapatnya barisan thawaf di seputaran Hajar Aswad, Multazam dan Hijir Ismail.

"Njenengan sudah bisa sampai di sana semuanya, mbah?" tanya pak Mursyid yang dijawab dengan gelengan pelan Sayid.

"Belum, Mas. Dua kali saya coba mepet ke sana, kalah kuat dengan jamaah-jamaah lain. Saya kalau harus rebutan begitu nggak bisa, Mas. Saya takut dzolim." jawab Sayid lirih. Pandangan matanya menatap lekat ke arah Multazam Ka'bah, yang berada di antara hajar aswad dan pintu Ka'bah. Sinar matanya masih memancar seperti menegaskan api harapannya untuk dapat menggapai Hajar Aswad dan Multazam, sekaligus sholat sunnah di Hijir Ismail.

"Habis maghrib nanti turun ke sana bareng saya nopo pripun, mbah? Kita coba lagi, siapa tau Gusti Allah paring gampil semuanya" pak Mursyid mengajak thawaf selepas jamaah maghrib. Sayid menoleh dan menatap erat ke wajah Mursyid seolah-olah berharap tidak salah dengar.

"Bakdo maghrib itu pas padat-padatnya lho Mas." ada keraguan terbersit dalam jawabannya.

"Sepertinya begitu, mbah. Asalkan niat kita kuat, insya Allah diparingi gampil." Mursyid menyemangati kembali. Tak berselang lama, adzan maghrib berkumandang menghentikan percakapan mereka. Keduanya pun mulai bersiap merentangkan sajadah mereka kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun