Mohon tunggu...
Muhammad Sevaja Ansas
Muhammad Sevaja Ansas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

facta sunt potentiora verbis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perdebatan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka vs Proporsional Tertutup, Kajian Konstitusional, dan Implikasinya Terhadap Demokrasi

9 Juni 2024   12:19 Diperbarui: 9 Juni 2024   12:19 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Proporsional tertutup merupakan sistem pemilihan yang memungkinkan pemilih hanya memilih partai politik saja. Artinya, kursi yang dimenangkan partai politik nantinya diisi oleh kandidat yang ditentukan partai. Dalam model proporsional tertutup penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut , sedangkan nomor urut ditentukan oleh partai politik. 

Apabila partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah calon dengan nomor urut satu dan dua. Sistem proporsional tertutup menjadi model sistem pemilu khususnya legislatif yang diadopsi pertama kali dalam sejarah kepemiluan di Indonesia dan terlama yang digunakan sebelum akhirnya berganti menjadi sistem proporsional terbuka.

Pemilu pertama pada tahun 1955 sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. 

Pemilu pun berlangsung aman. Dapat diamati bahwa pemilihan umum pertama nasional di Indonesia pada 1955 telah mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah partai politik tidak dibatasi, berlangsung dengan prinsip umum bebas rahasia (luber), serta merefleksikan pluralisme dan representativeness karena melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk di dalamnya anggota angkatan bersenjata (TNI) dan kepolisian. 

Pemilu 1955 ini memilih anggota DPR dan dewan konstituante. Regulasi terkait hak memilih bagi anggota Angkatan bersenjata dan kepolisian secara jelas diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Mencermati hal tersebut, secara fundamental angkatan bersenjata dan Polri diberikan hak yang sama sebagai warga negara dalam ranah politik, walau mereka memilih beragam partai politik, namun institusi angkatan bersenjata dan Polri tetap utuh.

Pemilihan umum 1955 (masa Orde Lama) berhasil digelar sebanyak 7 kali, enam kali pemilu di masa Orde Baru mulai dari 1971--1997, hingga pasca reformasi yakni pemilu 1999, semua pemilu tersebut menggunakan model sistem proporsional tertutup. Sistem proporsional tertutup kerap mengalami stigmatisasi karena lekat dengan pemilu masa Orde Baru yang banyak kecacatan krusial, cenderung bukan pada esensi demokrasi namun lebih pada "mobilisasi". Demokrasi yang hadir merupakan demokrasi yang semu (pseudo democracy). 

Pada masa pemilihan umum era Orde Baru, keberadaan ABRI ditegaskan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Spesifiknya Pasal 11 yang menyatakan bahwa Anggota Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih serta Pasal 14 yang menyatakan bahwa Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak dipilih. 

Hal tersebut menegaskan bahwa memang ABRI tidak diberikan hak untuk memilih dan dipilih, namun dalam wadah ABRI tetap diberikan kewenangan dalam proses politik melalui proses pengangkatan guna menjadi anggota legislatif. Hal tersebut sudah termaktub di dalam pasal 10, 14, dan 24 Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 

Mencermati hak memilih dan dipilih yang dihilangkan dari ABRI, namun tetap saja militer turut mendominasi kehidupan sosial-politik nasional dengan menggunakan berbagai justifikasi , macam konsep dwifungsi ABRI melalui mekanisme pengangkatan dalam lembaga legislatif, bukan melalui pemilihan umum. 

Gaya pemerintahan di masa Orde Baru jauh dari supremasi sipil, terkesan pada militeristik. Sistem proporsional tertutupnya benar-benar mudah dibajak dan diintervensi sesuai dengan kepentingan penguasa. Pemenang pemilu pada sistem proporsional tertutup selalu sama saja, khususnya di masa Orde Baru. 

Pada masa Orde Lama PNI menjadi partai pemenang pemilu 1955, setelah itu di masa Orde Baru selama enam kali pemilu dari 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, sampai pada pemilu terakhir di masa Orde Baru yakni tahun 1997, Golkar begitu superior, karena selalu menjadi partai pemenang, menjadi instrumen langgengnya kekuasaan saat itu, tanpa adanya perlawanan dari partai politik lainnya. Sedangkan satu kali pemilu pasca reformasi yakni pemilu 1999 dimenangkan oleh PDI-P.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun