Mohon tunggu...
Muhammad Sevaja Ansas
Muhammad Sevaja Ansas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

facta sunt potentiora verbis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perdebatan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka vs Proporsional Tertutup, Kajian Konstitusional, dan Implikasinya Terhadap Demokrasi

9 Juni 2024   12:19 Diperbarui: 9 Juni 2024   12:19 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

-LATAR BELAKANG

Pemilu adalah salah satu indikator untuk melihat apakah ada kehidupan demokrasi di sebuah negara. Pemilu menjadi hal yang sangat penting karena menjadi sarana kedaulatan rakyat sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 

Dalam catatan historis negara kita sudah pernah merasakan sistem pemilu proporsional tertutup dan proporsional terbuka dengan rezim dan kondisi masyarakat yang berbeda. Proporsional tertutup pernah dilaksanakan pada pemilu 1955 (Orde Lama), pemilu masa Orde Baru mulai dari 1971 hingga 1997 dan pasca reformasi yakni pada pemilu 1999. 

Pada pemilu 2004 proporsional tertutup berubah menjadi penerapan sistem proporsional terbuka yang relatif tertutup (relatively closed open list system) berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003, yang pada selanjutnya berdasarkan Putusan Perkara No. 22--24/PUU-VI/2008 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang berdasarkan amar putusan tersebut diarahkan pada proporsional terbuka yang lebih sejalan dengan aturan konstitusi. 

Alhasil berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang bersifat final dan mengikat, praktis sistem pemilu kita khususnya legislatif menjadi proporsional terbuka mulai dari pemilu 2009 hingga pemilu terakhir, yakni 2019.

Pada tahun 2022 yang lalu, wacana terkait kembalinya sistem pemilu proporsional tertutup muncul ke permukaan dan menimbulkan polemik. 

Hal ini berawal atas hadirnya Perkara No. 114/PUU-XX/2022 Perihal Pengujian Materiil Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum terhadap UUD NRI Tahun 1945. Judicial Review tersebut diajukan oleh enam pemohon yang di mana salah satunya merupakan kader PDI-P. 

Pemohon-pemohon tersebut membawa argumentasi-argumentasi seperti rumitnya sistem proporsional terbuka, mahar politik yang sangat besar, dan kemunduran demokrasi karena kapitalisasi politik, oligarki, dan liberalisasi persaingan politik. Polemik ini merembet hingga ke parlemen, sebanyak 8 fraksi dari total 9 fraksi di parlemen, kompak menyatakan sikap untuk menolak sistem proporsional tertutup kembali diadopsi pada pemilu 2024, hanya PDI-P saja yang mendukung kembalinya sistem proporsional tertutup, dan belakangan PBB pun senada dengan sikap PDI-P yang menyatakan bahwa Yusril Ihza Mahendra (Ketua Umum PBB) bersedia untuk menjadi pihak terkait dalam sidang perkara tersebut. Polemik tersebut juga tidak luput dari pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy'ari pada sambutan acara Catatan Akhir Tahun KPU 2022, Desember lalu. Pernyataan tersebut condong pada preferensi individu yang jauh dari kesan independen dan menabrak amanat KPU yang seharusnya fokus untuk menjalankan mandat UU yang sudah ada.

Sidang perkara No. 114/PUU-XX/2022, saat itu sudah cukup banyak digelar, berbagai pihak sudah ikut hadir untuk memberikan keterangan dan argumen pro dan kontranya masing-masing, namun amar putusan masih saja belum diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. 

Hal tersebut menimbulkan asumsi-asumsi liar dan spekulatif karena muncul di tengah tahapan pemilu yang sudah dimulai, begitu juga dengan pertanyaan apakah nanti akan ada hal krusial saat injury time, kemungkinan-kemungkinan buruk dan hal-hal tidak terduga dari nasib dan eksistensi demokrasi negara kita.

 Dan masing-masing varian sistem proporsional tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan sehingga selalu menimbulkan perdebatan dan diskursus terkait mana yang lebih efektif, efisien, dan kompatibel dengan perkembangan zaman dan situasi masyarakat

-RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana efektivitas dan efisiensitas atau kelebihan dan kekurangan dari sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup?

2. Bagaimana kajian konstitusi dalam memandang sistem proporsional terbuka dan tertutup dalam implikasinya terhadap demokrasi?

-TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui efektivitas dan efisiensitas atau kelebihan dan kekurangan dari sistem pemilu proporsional terbuka dan proporsional tertutup

2. Mengetahui kajian konstitusional kita dalam memandang dan mengkomparasikan sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup

3. Mengetahui implikasinya terhadap kehidupan berdemokrasi di Indonesia

-MANFAAT PENELITIAN

1. Menjadi pengetahuan dan wawasan baru bagi saya dan pembaca terkait khazanah kepemiluan

2. Menjadi bahan diskursus bagi saya dan pembaca untuk dapat menemukan sistem pemilu mana yang lebih efektif, efisien, dan kompatibel dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat

3. Sebagai instrumen masukan bagi praktik kepemiluan dan stakeholder yang bersentuhan langsung.

-PEMBAHASAN

1. SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA, SEJARAH, DAN PRAKTIKNYA

Sistem pemilu adalah seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih ke dalam satu lembaga perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan, sistem pemilu menjadi elemen penting yang turut mengkonstruksi struktur sistem politik. Perubahan sebuah sistem pemilu kepada sistem pemilu yang lain akan berpengaruh pula pada struktur sistem politik yang ada seperti dalam sistem kepartaian dan spektrum representasi. 

Karenanya, Sartori mengatakan sistem pemilu sebagai "sebuah bagian yang paling esensial dari kerja sistem politik. Sistem pemilu bukan hanya instrumen politik yang paling mudah dimanipulasi; ia juga membentuk sistem kepartaian dan mempengaruhi spektrum representasi". 

Sistem proporsional atau perwakilan berimbang atau yang juga dikenal sebagai proportional representation system atau multi-member representation menawarkan beberapa kursi untuk diperebutkan dalam suatu wilayah pemilihan. Dalam sistem ini suatu kesatuan administratif jumlah suara yang diperoleh setiap partai menentukan jumlah kursi di parlemen. 

Artinya, rasio perolehan suara antar partai politik sama dengan rasio perolehan kursi dalam parlemen. Proporsional terbuka merupakan sistem pemilihan yang memungkinkan pemilih memilih salah satu nama calon. Dalam model proporsional terbuka calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak, yaitu calon yang paling banyak dipilih oleh pemilih.

Sistem proporsional terbuka secara fundamental merupakan hasil sebuah kompromi. Dalam pembahasan RUU mengenai Pemilu pada tahun 2002, PDI-P, Golkar, dan PPP menolak usulan sistem daftar terbuka. Alasannya penentuan caleg merupakan hak partai peserta pemilu. 

Memang, diberlakukannya sistem daftar terbuka, akan merugikan otoritas partai di dalam menyeleksi caleg mana saja yang dipandang lebih tepat untuk duduk di parlemen. Tetapi, tiga partai itu pada akhirnya menyetujui perubahan. Hanya saja, formatnya tidak terbuka secara bebas, melainkan setengah terbuka. 

Sehingga berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003, pemilihan umum 2004, khususnya untuk legislatif memulai sistem proporsional yang sedikit berbeda dibanding sebelumnya yakni sistem proporsional terbuka yang relatif tertutup (relatively closed open list system) dengan caleg akan menduduki kursi yang diperoleh partai apabila mendapat suara sejumlah kuota harga satu kursi yang disebut Bilangan Pembagi Pemilih atau BPP. 

Kehendak sebagian masyarakat dan elemen yang menginginkan sistem proporsional terbuka tidak lahir dari ruang hampa akan tetapi ini terjadi karena pemantik demokratisasi yang hadir pada semangat reformasi termasuk semangat amandemen konstitusi yang di mana pemilu menjadi salah satu substansi yang diatur dalam konstitusi. 

Implikasinya saat itu UUD NRI 1945 pasca amandemen memuat asas-asas yang akan menjadi roh penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Asas-asas tersebut termaktub dalam pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945 yang terdiri dari tujuh asas, yakni Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil. 

Terkhusus asas langsung, asas ini inheren dengan engaged sang "demos" untuk memilih secara langsung wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen. Praktis pemilu 2004 merupakan masa transisi dari sistem proporsional tertutup menjadi terbuka (walaupun belum sepenuhnya terbuka). 

Fenomena demokratisasi pasca reformasi yang berimplikasi pada sistem proporsional terbuka pada masa 2004 dan seterusnya memperlihatkan terjadinya variasi partai pemenang yang tidak pernah terjadi dalam format proporsional tertutup khususnya masa Orde Baru, 2004 Golkar sebagai partai pemenang, 2009 giliran Demokrat yang jadi menjadi pemenang, serta 2014 dan 2019 (proporsional terbuka terbatas) yang dimenangkan oleh PDI-P. 

Selain itu produk hukum yang mengatur pemilihan umum di era proporsional terbuka silih berganti sehingga mempengaruhi format sistem dan menyesuaikan dengan kondisi terbaru. Terakhir produk hukum terkait pemilihan umum kita sampai UU No. 7 Tahun 2017 yang di mana diupdate kembali sehingga menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Sistem proporsional terbuka benar-benar dilaksanakan pasca Putusan Perkara No. 22--24/PUU-VI/2008 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mahkamah Konstitusi saat itu mengabulkan permohonan dari Pemohon I dan Pemohon II yang secara substansi keinginan untuk diarahkannya sistem pemilu pada sistem proporsional terbuka. Indikator sudah diterapkannya sistem proporsional terbuka (2004--2019) yaitu:

1. Pemenang dalam pemilu ditentukan berdasarkan suara terbanyak sehingga pemilih dapat menyalurkan hak politiknya untuk memilih wakil rakyat yang dikehendaki;

2. Partai politik pemenang pemilu bervariasi dan partai-partai baru mampu meraup kursi legislatif;

3. Perang politik terbuka sehingga para kontestan bersaing secara terbuka untuk meraup suara. Persaingan tidak hanya antar partai politik, namun juga antar caleg dalam satu partai politik. Kondisi ini menyebabkan banyak caleg yang sekian lama sudah dibina dan dimatangkan dalam partai serta dianggap mumpuni sebagai anggota DPR, ternyata harus kalah bersaing denga kader dadakan yang memiliki sumber dana dan popularitas lebih.

4. Eksistensi calon dapat meningkatkan elektabilitas partai sehingga partai lebih mendahulukan popularitas calon untuk mengikuti kontestasi pemilu seperti selebritis, influencer, dan sebagainya. Sehingga banyak kader khususnya dari selebritis yang tidak tersaring dengan baik dan kurang mempunyai kapasitas dan kapabilitas maju sebagai anggota parlemen.

Sistem proporsional terbuka bukan saja berhenti sebagai sistem yang solid dan mapan. Sistem ini juga mempunyai kekurangan dan kelebihan, pro dan kontra, dan variabel-variabel yang lain sehingga selama digunakan, beberapa kali sistem ini berusaha untuk diganti dengan cara judicial review atau uji materiil ke Mahkamah Konstitusi oleh berbagai pihak entah itu yang mewakili partai politik atau perseorangan, entah yang mempunyai legal standing atau tidak. Pengujian yang terakhir yakni Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 Perihal Pengujian Materiil UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang berfokus pada praktik proporsional terbuka yang tidak lagi konstitusional dan mengalami banyak cacat.

Polemik ini juga hadir hingga ke parlemen di mana 8 fraksi dari 9 fraksi menyatakan sikap menolak wacana kembalinya sistem proporsional tertutup, minus PDI-P yang mendukung wacana kembalinya sistem proporsional tertutup. 8 fraksi ini mengadakan pertemuan di Hotel Dharmawangsa pada 8 Januari lalu untuk membahas penolakan dan respon terkait wacana sistem proporsional tertutup. Senada dengan PDI-P, PBB juga turut mendukung wacana kembalinya sistem proporsional tertutup yang di mana Yusril Ihza Mahendra (Ketua Umum PBB) bersedia untuk menjadi pihak terkait dan sudah terlihat bahwa Yusril pernah hadir dalam sidang perkara Nomor 114/PUU-XX/2022, sekaligus menambah legitimasi legal standing dari para pemohon. Statement Ketua KPU Hasyim Asy'ari juga menjadi pemantik polemik yang hadir, bagaimana tidak KPU yang seharusnya fokus menjalankan mandat UU yang ada justru malah membicarakan hal-hal yang masih bersifat spekulatif, terkesan tidak independen -melanggar Pasal 1 Ayat (8) UU No. 7 Tahun 2017 yang seharusnya KPU bersifat mandiri, statement tersebut juga tidak mewakili lembaga negara justru lebih pada preferensi pribadi.

2. SISTEM PROPORSIONAL TERTUTUP, SEJARAH, DAN PRAKTIKNYA

Proporsional tertutup merupakan sistem pemilihan yang memungkinkan pemilih hanya memilih partai politik saja. Artinya, kursi yang dimenangkan partai politik nantinya diisi oleh kandidat yang ditentukan partai. Dalam model proporsional tertutup penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut , sedangkan nomor urut ditentukan oleh partai politik. 

Apabila partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah calon dengan nomor urut satu dan dua. Sistem proporsional tertutup menjadi model sistem pemilu khususnya legislatif yang diadopsi pertama kali dalam sejarah kepemiluan di Indonesia dan terlama yang digunakan sebelum akhirnya berganti menjadi sistem proporsional terbuka.

Pemilu pertama pada tahun 1955 sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. 

Pemilu pun berlangsung aman. Dapat diamati bahwa pemilihan umum pertama nasional di Indonesia pada 1955 telah mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah partai politik tidak dibatasi, berlangsung dengan prinsip umum bebas rahasia (luber), serta merefleksikan pluralisme dan representativeness karena melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk di dalamnya anggota angkatan bersenjata (TNI) dan kepolisian. 

Pemilu 1955 ini memilih anggota DPR dan dewan konstituante. Regulasi terkait hak memilih bagi anggota Angkatan bersenjata dan kepolisian secara jelas diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Mencermati hal tersebut, secara fundamental angkatan bersenjata dan Polri diberikan hak yang sama sebagai warga negara dalam ranah politik, walau mereka memilih beragam partai politik, namun institusi angkatan bersenjata dan Polri tetap utuh.

Pemilihan umum 1955 (masa Orde Lama) berhasil digelar sebanyak 7 kali, enam kali pemilu di masa Orde Baru mulai dari 1971--1997, hingga pasca reformasi yakni pemilu 1999, semua pemilu tersebut menggunakan model sistem proporsional tertutup. Sistem proporsional tertutup kerap mengalami stigmatisasi karena lekat dengan pemilu masa Orde Baru yang banyak kecacatan krusial, cenderung bukan pada esensi demokrasi namun lebih pada "mobilisasi". Demokrasi yang hadir merupakan demokrasi yang semu (pseudo democracy). 

Pada masa pemilihan umum era Orde Baru, keberadaan ABRI ditegaskan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Spesifiknya Pasal 11 yang menyatakan bahwa Anggota Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih serta Pasal 14 yang menyatakan bahwa Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak dipilih. 

Hal tersebut menegaskan bahwa memang ABRI tidak diberikan hak untuk memilih dan dipilih, namun dalam wadah ABRI tetap diberikan kewenangan dalam proses politik melalui proses pengangkatan guna menjadi anggota legislatif. Hal tersebut sudah termaktub di dalam pasal 10, 14, dan 24 Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 

Mencermati hak memilih dan dipilih yang dihilangkan dari ABRI, namun tetap saja militer turut mendominasi kehidupan sosial-politik nasional dengan menggunakan berbagai justifikasi , macam konsep dwifungsi ABRI melalui mekanisme pengangkatan dalam lembaga legislatif, bukan melalui pemilihan umum. 

Gaya pemerintahan di masa Orde Baru jauh dari supremasi sipil, terkesan pada militeristik. Sistem proporsional tertutupnya benar-benar mudah dibajak dan diintervensi sesuai dengan kepentingan penguasa. Pemenang pemilu pada sistem proporsional tertutup selalu sama saja, khususnya di masa Orde Baru. 

Pada masa Orde Lama PNI menjadi partai pemenang pemilu 1955, setelah itu di masa Orde Baru selama enam kali pemilu dari 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, sampai pada pemilu terakhir di masa Orde Baru yakni tahun 1997, Golkar begitu superior, karena selalu menjadi partai pemenang, menjadi instrumen langgengnya kekuasaan saat itu, tanpa adanya perlawanan dari partai politik lainnya. Sedangkan satu kali pemilu pasca reformasi yakni pemilu 1999 dimenangkan oleh PDI-P.

Pemilihan umum tahun 1999 menjadi pemilihan umum terakhir yang mengadopsi sistem proporsional tertutup. Pemilu tahun ini dilaksanakan secara serentak pada 7 Juni 1999. Pemilihan umum tahun 1999 ini merupakan pemilu pertama kali yang diselenggarakan pasca tumbangnya Orde Baru dan yang terakhir kalinya diikuti Provinsi Timor Timur yang nantinya merdeka pada tanggal 20 Mei 2002 (Hari Restorasi Kemerdekaan) menjadi negara Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL). 

Sistem proporsional tertutup di pemilu 1999 ini cenderung cukup demokratis karena diikuti oleh 48 partai politik, yang mencakup hampir semua spektrum arah politik (minus komunisme yang sudah dilarang di Indonesia). Penentuan kursi dilaksanakan secara proporsional berdasarkan persentase suara nasional. 

Pada pemilu 1999 ini ada beberapa tambahan asas pemilu yakni asas jujur dan adil. Dan pada pemilu 1999 inilah terbentuk Komisi Pemilihan Umum atau KPU yang kita kenal sekarang sebagai salah satu penyelenggara pemilu. Saat itu KPU dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 16 Tahun 1999.

3. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA

Sistem proporsional terbuka bukanlah sistem yang benar-benar sudah mapan dan solid. Walaupun sistem proporsional terbuka kini sudah diadopsi secara konsisten dari beberapa pemilu terakhir kita, tapi tetap saja sistem proporsional ini tidak lepas dari plus atau minusnya, pro dan kontranya, atau kelebihan dan kekurangannya. Sistem ini masih banyak mendapat sorotan dan kritik dari para banyak ahli.

3.1 Kelebihan

1. Dalam sistem ini, rakyat secara direct atau langsung memilih calon yang diusulkan oleh partai politik. Sistem ini meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya. Secara konkret, wakil rakyat di suatu daerah pemilihan akan diketahui jelas oleh rakyat di daerah tersebut. Rakyat mengetahui siapa yang mewakili mereka dan siapa yang bertanggungjawab untuk menyuarakan suara mereka di parlemen.

2. Mempunyai derajat keterwakilan yang tinggi serta memiliki tingkat keadilan yang tinggi untuk caleg peserta pemilu.

3. Membuat masyarakat dapat melihat serta menyeleksi secara cermat caleg-caleg yang tampil untuk dipilih oleh masyarakat sehingga dampaknya masyarakat dapat lebih selektif dan rasional di dalam memilih caleg yang didukung. Dapat pula meningkatkan partisipasi masyarakat khususnya terkait direct punishment.

4. Mengurangi nepotisme

5. Menghindari caleg-caleg yang tidak punya andil atau sumbangsih di dapil untuk maju.

3.2 Kekurangan

1. Pertarungan menjadi berganda, selain persaingan antar partai politik, sesama caleg dari partai yang sama pun akan bersaing untuk mendapatkan suara terbanyak sehingga setiap calon akan mengeluarkan biaya besar dalam kampanyenya yang berimbas pada ongkos politik yang begitu mahal.

2. Money politics dan KKN akan merajalela

3. Akan melahirkan pemilih yang pragmatis. Para pemilih akan cenderung memilih para calon yang kuat secara finansial

4. Partai-partai cenderung pragmatis, mencari tokoh terkenal dan populer atau vote getter seperti artis dan sebagainya untuk mendulang suara sehingga minim standar kualifikasi pencalonan.

5. Partai akan cenderung kurang dalam menentukan peran, gagasan, dan kaderisasi politik.

6. Kinerja calon anggota legislatif yang terpilih tidak optimal dan maksimal. Mengingat pada saat caleg tersebut mengeluarkan banyak dana kampanye, maka mereka akan cenderung berpikir agar dana yang telah mereka keluarkan dapat kembali (balik modal).

4. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN SISTEM PROPORSIONAL TERTUTUP

Sistem proporsional tertutup sebagai sebuah mekanisme yang pernah diadopsi juga tidak jauh dari perdebatan kekurangan dan kelebihan, pro dan kontra terkait implikasinya, dan lain-lain. Stigmatisasi terhadap sistem proporsional tertutup tidak lepas kaitannya dengan pernahnya sistem ini diadopsi oleh Orde Baru yang lekat dengan cap tidak demokratis, sehingga terkadang beberapa dan sebagian masyarakat merasa bahwa sistem proporsional ini sangat tidak demokratis, padahal tidak sepenuhnya seperti itu.

4.1 Kelebihan

1. Mendorong kontrol dan peran yang signifikan dari partai politik untuk memberikan gagasan dan kaderisasi (rekrutmen) terhadap kadernya yang akan maju sebagai caleg

2. Meminimalkan konflik internal di dalam partai, sehingga solid dalam sikap dan pengambilan keputusan.

3. Mendorong institusionalisasi partai politik

4. Dapat menekan praktik money politics ke masyarakat dan korupsi politik karena dana kampanye yang dikeluarkan tidak begitu besar

5. Memudahkan pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas karena partai politik yang menentukan calon legislatifnya.

6. Dana anggaran untuk penyelenggaraan pemilu tidak sebesar proporsional terbuka dan formatnya cukup lebih mudah

4.2 Kekurangan

1. Money politics tidak terjadi di masyarakat, tetapi terjadi di internal partai khususnya dalam bentuk praktik jual-beli nomor urut.

2. Pengkondisian mekanisme pencalonan kandidat wakil rakyat yang tertutup sehingga pemilih akan seperti "beli kucing dalam karung" hanya beli partai dan calegnya nanti akan ditentukan oleh partai.

3. Menguatnya oligarki dan nepotisme di internal partai politik

4. Kurangnya kedekatan antara caleg dengan konstituennya

5. Caleg akan kurang aspiratif dan jauh dari rasa akuntabilitas kepada rakyat karena caleg merasa partai yang paling berjasa dalam keterpilihan dirinya di parlemen

6. Pendidikan politik untuk masyarakat akan berkurang.

7. Tidak responsif dan adaptif terhadap perubahan yang cukup pesat.

5. KAJIAN KONSTITUSIONAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP DEMOKRASI

Setiap pemilu memiliki masing-masing landasan hukumnya terkait pelaksanaan dan segala hal yang mengatur variabel-variabel lainnya. Dalam setiap landasan hukum tersebut aturan mainnya cukup variatif sesuai dengan kondisi masyarakat dan kebutuhan saat itu. Pada pemilu 1955 misalnya hanya memilih DPR dan Konstituante, angkatan bersenjata dan polri pun memiliki hak memilih dan dipilih, format secara tertutup dan lain-lainnya yang secara jelas sudah diatur sedemikian rupa sehingga jalannya pemilu bisa sesuai dengan rel konstitusional. Pun dengan pemilu-pemilu selanjutnya beberapa klausul hukum yang mengatur pemilu atau bahkan produk hukumnya secara umum bisa saja berganti, namun konstitusi tetap menjadi acuan bagi berjalannya turunan-turunan hukum yang mengatur secara spesifik. Konstitusi kita sudah semakin mengarah pada prinsip-prinsip demokrasi. Asas-asas pemilu yang sebelumnya hanya Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (Luber), pada era Reformasi ditambahkan dengan asas Jujur dan Adil (Jurdil). Konstitusi kita pada hakikatnya sudah begitu terang-benderang sebagai acuan untuk membuat turunan produk hukum.

Pada praktik sistem proporsional tertutup atau pun terbuka jelas ada landasan hukumnya yang mengatur, misal sistem proporsional terbuka di pemilu 2004 tidak hadir begitu saja, terjadi perdebatan yang sengit terkait undang-undang pemilu khususnya terkait ketentuan sistem pemilu apa yang berlaku nantinya. Perdebatan tersebut berakhir dengan sebuah win-win solution yakni proporsional terbuka, formatnya tidak terbuka secara bebas, melainkan setengah terbuka. Secara praktik saat itu pemilihan umum 2004, khususnya untuk legislatif memulai sistem proporsional yang sedikit berbeda dibanding sebelumnya yakni sistem proporsional terbuka yang relatif tertutup (relatively closed open list system) dengan UU No. 12 Tahun 2003 menjadi landasan hukumnya. Legitimasi awal dari diadopsinya sistem proporsional terbuka adalah berdasarkan Putusan Perkara No. 22--24/PUU-VI/2008 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang berdasarkan amar putusan tersebut diarahkan pada proporsional terbuka yang lebih sejalan dengan aturan konstitusi. Alhasil berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang bersifat final dan mengikat, praktis sistem pemilu kita khususnya legislatif menjadi proporsional terbuka mulai dari pemilu 2009 hingga pemilu terakhir, yakni 2019 dengan memasukkan pasal terkait proporsional terbuka di masing-masing landasan hukumnya. Lantas bagaimana uji materiil terkait proporsional tertutup yang pernah diperjuangkan pada tahun 2022 oleh beberapa pihak di Mahkamah Konstitusi? Bagi mereka yang pro dengan proporsional terbuka, berargumen bahwasanya konstitusi (UUD NRI 1945) kita jelas sudah pro terhadap terbuka, mereka membawa pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 terkait kedaulatan rakyat, pasal 22E ayat 1 terkait asas-asas pemilu, khususnya asas langsung yang jelas esensinya hanya hadir pada sistem proporsional terbuka bukan pada tertutup, pasal 27 ayat (1) terkait kesamaan kedudukan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (equality and opportunity before the law), begitu juga dengan pasal 28D ayat (3) yang secara substansi mirip yakni terkait hak kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pada turunan hukumnya yakni UU No. 7 Tahun 2017 pasal 168 ayat (2) juga secara jelas menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka dan argumen-argumen lainnya. Sedangkan mereka yang kontra membawa argumen pada pasal 22E ayat (3) yang berkaitan dengan peserta pemilu anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, kecacatan dan ketidakefektifan sistem proporsional terbuka juga menjadi sorotan dari pihak kontra, dan argumen-argumen lainnya.

Entah proporsional terbuka atau tertutup, pada dasarnya keduanya memiliki argumennya masing-masing. Namun jika berkaca pada Putusan Perkara No. 22--24/PUU-VI/2008 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mahkamah Konstitusi saat itu mengabulkan permohonan dari Pemohon I dan Pemohon II yang secara substansial diarahkannya sistem pemilu pada sistem proporsional terbuka karena lebih konstitusional atau sejalan dengan konstitusi. Beberapa pihak mengkritik konsistensi MK apabila nantinya MK mengabulkan permohonan sistem proporsional tertutup.

Secara fundamental sistem proporsional terbuka dan tertutup mempunyai substansi demokrasinya masing-masing, namun pertanyaannya seberapa jauh intensitas dan implikasinya terhadap kehidupan demokrasi negara kita. Sebagian pihak cenderung mengatakan sistem proporsional terbuka jauh lebih mencerminkan semangat demokrasi, ada pula yang mengatakan jika sistem proporsional tertutup jika tidak dilekatkan dengan sistem pemilu masa Orde Baru dan diubah beberapa bagiannya maka sistem proporsional tertutup juga pada akhirnya membawa semangat demokrasi. Jika mengkaji derajat keterwakilan, sistem proporsional terbuka jauh lebih signifikan dibanding proporsional tertutup. Demokrasi yang pada substansinya berkaitan dengan semangat antroposentris dan humanis jelas lebih terefleksikan pada proporsional terbuka. Proporsional terbuka secara teoritis akan mengedepankan semangat persamaan hak dan mengurangi determinasi partai politik. Jika nantinya Mahkamah Konstitusi mengabulkan Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 dan memutuskan bahwa sistem yang paling konstitusional adalah sistem proporsional tertutup, menurut Fadil Ramadhanil (Pihak Perludem) dalam sidang uji materi atas sistem proporsional terbuka di ruang sidang MK, Jakarta (16/3/2023) maka yang terjadi "ruang evaluasi akan tertutup karena sistem pemilu yang paling konstitusional hanyalah sistem proporsional tertutup. Imbasnya, pembentuk undang-undang tidak bisa menerapkan sistem pemilu varian lain di Indonesia. Padahal begitu banyak sistem pemilu dengan berbagai varian dengan kekhasannya masing-masing. Dan yang perlu dilakukan adalah simulasi dan kajian komprehensif untuk menentukan sistem pemilu mana yang paling cocok diimplementasikan di Indonesia". Karena itu, menurut Fadli, penentuan terkait sistem pemilu semestinya tetap menjadi ranah pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Presiden, dan sudah seyogianya penentuan sistem pemilu tidak dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan terkait gugatan atas sistem proporsional terbuka, MK dapat memberikan batasan-batasan serupa, seperti koridor-koridor yang secara haluannya untuk memastikan prinsip-prinsip pemilu seperti jujur dan adil dapat berjalan secara konsekuen. Koridor itu di antaranya adalah partai politik harus secara demokratis menentukan caleg yang akan diusung, memprioritaskan kader yang sudah berbakti di internal partai politik dalam kurun waktu tertentu. Menurut Fadli, jika MK sudah dapat menjelaskan dan memberikan koridor-koridor dan prinsip-prinsip yang sepatutnya dilaksanakan partai politik dalam mengajukan calegnya, maka masalah yang dibawa dalam perkara ini sebenarnya sudah dapat terselesaikan tanpa perlu mengubah sistem pemilu.

KESIMPULAN

Pada dasarnya terkait perdebatan sistem ini berkutat pada substansi yang sama yakni sistem proporsional dengan variannya yang berbeda yakni terbuka dan tertutup. Sistem proporsional tertutup hadir dengan semangat perwakilan dan kepercayaan kita terhadap partai politik sebagai mesin politik yang harus terus diasah yang harapannya dapat mengakomodir dan memperjuangkan aspirasi-aspirasi masyarakat sedangkan sistem proporsional terbuka hadir dengan semangat equality, direct, dan antroposentris membawa pada hubungan, koneksi akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, keduanya mempunyai landasan historisnya masing-masing, keduanya mempunyai landasan filosofisnya masing-masing, keduanya memiliki variabel masing-masing. Namun yang perlu digarisbawahi perdebatan antara sistem proporsional terbuka dan tertutup tersebut merupakan sebuah dialektika untuk dapat menemukan sintesis model sistem mana yang paling cocok, efektif, efisien, dan kompatibel dengan zaman dan aspirasi masyarakat.

Entah proporsional terbuka atau proporsional tertutup yang nantinya terpilih, maka ada variabel atau faktor lain yang sangat perlu untuk menjadi sorotan yakni baik proporsional terbuka dan tertutup, kedua sistem ini membutuhkan penegakan hukum yang konsekuen dan konsisten. Misal jika menghendaki sistem proporsional tertutup, maka partai harus dilarang untuk berjualan "kendaraan", partai politik harus diketatkan, partai harus terbuka dan transparan termasuk peran dan partisipasi public harus dibuka untuk dapat menentukan siapa caleg bagi partai di internalnya, agar semangat mencerminkan semangat demokratisasi, bukan ketertutupan dan gejala oligarki di internal partai yang kemudian hadir. Sistem proporsional terbuka pun membutuhkan hal yang sama, penegakan hukumnya harus kuat dan konsisten, termasuk money politics harus benar-benar dikontrol, pembatasan dana kampanye. Faktanya dalam proporsional terbuka (menurut penelitian Perludem) nomor urut menjadi faktor penting keterpilihan caleg dan yang terpilih pun cukup signifikan. Jadi walaupun praktiknya proporsional terbuka namun bacaleg masih jelas mengincar nomor urut "cantik" atau nomor urut teratas karena sering diasosiasikan dengan peluang kemenangan. Jadi baik itu sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup, kondisi dan aspirasi kemasyarakatan lah yang akan menjawab bahwa keinginan masyarakat terhadap sistem proporsional terbuka masih cukup tinggi dan ketidakidealan sistem kita untuk menganut proporsional tertutup

DAFTAR PUSTAKA

-BUKU LITERATUR

Anggara, Sahya. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2013.

Asy'ari, Asnan. Pemilu Proporsional Terbuka Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Dalam Perspektif Siyasah Dusturiyah. Pekanbaru: Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2021.

Jamaluddin, Penerapan Sistem Proporsional Terbuka Pada Pemilu Legislatif Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pekanbaru: Universitas Islam Riau, 2021.

Mashad, Dhororudin. Reformasi Sistem Pemilu dan Peran Sospol ABRI. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1998.

Pamungkas, Sigit. Perihal Pemilu. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2009.

Sihotang, Januari. Pemilu Dalam Transisi Demokrasi Indonesia Catatan Isu Kontroversi. Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2018.

-ARTIKEL JURNAL

Johansyah, "Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat (Binding)," Fakultas Hukum Universitas Palembang Vol. 19 (Mei 2021), h. 167

Kadarsih, Setiajeng dan Tedi Sudrajat, "Analisis Terhadap Hak Plih TNI dan Polri Dalam Pemilihan Umum," Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 (Januari 2011).

Pratiwi, Diah Ayu "Sistem Pemilu Daftar Terbuka di Indonesia: Melahirkan Korupsi Politik?", Jurnal Trias Politika Vol. 2 (2018).

Rahayu, Mega dkk, "Sistem Proporsional Dalam Pemilihan Umum Legislatif Di Indonesia," Diponegoro Law Journal Vol. 6 (2017).

Rahma, Nurida Maulidia "Review Buku: Sebuah Pembelajaran Untuk Pemilu Yang Akan Datang," Jurnal Penelitian Politik LIPI Vol. 19 (Juni 2022).

Ramdani, Muhamad Doni dan Fahmi Arisandi. "Pengaruh Penggunaan Sistem Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Proporsional Daftar Terbuka," Jurnal Rechtsvinding Vol. 3 (April 2014).

-ARTIKEL ONLINE

Anggraini, Titi. "MK dan Pilihan Sistem Pemilu," Perludem: 4 Februari 2023; tersedia di https://perludem.org/2023/02/04/mk-dan-pilihan-sistem-pemilu-oleh-titi-anggraini/ , diakses pada 18 Mei 2023.

Caesar Isabela, Monica Ayu. "Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup dan Terbuka," tersedia di https://nasional.kompas.com/read/2023/01/05/19235551/kelebihan-dan-kekurangan-sistem-pemilu-proporsional-tertutup-dan-terbuka , diakses pada 19 Mei 2023

Kedutaan Besar Republik Indonesia Di Dili Republik Demokratik Timor Leste, tersedia di https://kemlu.go.id/dili/id/pages/profil_negara_timor-leste_/1748/etc-menu , diakses pada 19 Mei 2023.

Mochtar, Zainal Arifin. "Pro Kontra Pemilu Proporsional Terbuka Vs Tertutup," 13 Februari 2023, tersedia di https://www.youtube.com/watch?v=4dYpQoWFCiI , diakses pada 19 Mei 2023

Pujianti, Sri "Menyoal Konstitusionalitas Sistem Proporsional Terbuka dalam Pemilu" Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: 23 November 2022. Tersedia di https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18721&menu=2 , diakses pada 18 Mei 2023

Raharjo, Agus. "Perludem: Perbaikan Sistem tak Bisa Dilakukan Jika MK Putuskan Proporsional Tertutup," (16 Maret 2023), tersedia di https://news.republika.co.id/berita/rrlp6d436/perludem-perbaikan-sistem-tak-bisa-dilakukan-jika-mk-putuskan-proporsional-tertutup , diakses pada 20 Mei 2023

Raharjo, Agus "Tanpa PDIP, Delapan Parpol Bertemu Bahas Penolakan Sistem Proporsional Tertutup". Republika: 8 Januari 2023. Tersedia di https://news.republika.co.id/berita/ro5juu436/tanpa-pdip-delapan-parpol-bertemu-bahas-penolakan-sistem-proporsional-tertutup , diakses pada 18 Mei 2023.

Wulandari, Trisna. "Apa Itu Sistem Pemilu Proporsional Tertutup? Begini Kelebihan dan Kekurangannya," tersedia di https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6505809/apa-itu-sistem-pemilu-proporsional-tertutup-begini-kelebihan--kekurangannya , diakses pada 19 Mei 2023.

-PRODUK HUKUM

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1999. Tersedia di http://www.bphn.go.id/data/documents/99kp016.pdf , diakses pada 19 Mei 2023

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Perkara Nomor 114/PU-XX/2022. Tersedia di https://www.mkri.id/public/filepermohonan/Permohonan%20diRegistrasi_3197_2583_Permohonan%20Registrasi%20114%20PUU%20XX%202022.pdf , diakses pada 20 Mei 2023

Mahkamah Konstitusi, Ikhtisar Putusan Perkara Nomor 22--24/PUU-VI/2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Berdasarkan Suara Terbanyak. Tersedia di https://www.mkri.id/public/content/persidangan/sinopsis/sinopsis_perkara_123_22-24+PUU-VI+2008.pdf , diakses pada 18 Mei 2023

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI, cetakan kesembilanbelas. Tersedia di https://www.mpr.go.id/img/sosialisasi/file/1610334013_file_mpr.pdf , diakses pada 20 Mei 2023.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Tersedia di https://www.mkri.id/public/content/pemilu/UU/UU%20No.7%20Tahun%202017.pdf , diakses pada 20 Mei 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun