Mohon tunggu...
Muhammad Sevaja Ansas
Muhammad Sevaja Ansas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

facta sunt potentiora verbis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perdebatan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka vs Proporsional Tertutup, Kajian Konstitusional, dan Implikasinya Terhadap Demokrasi

9 Juni 2024   12:19 Diperbarui: 9 Juni 2024   12:19 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkhusus asas langsung, asas ini inheren dengan engaged sang "demos" untuk memilih secara langsung wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen. Praktis pemilu 2004 merupakan masa transisi dari sistem proporsional tertutup menjadi terbuka (walaupun belum sepenuhnya terbuka). 

Fenomena demokratisasi pasca reformasi yang berimplikasi pada sistem proporsional terbuka pada masa 2004 dan seterusnya memperlihatkan terjadinya variasi partai pemenang yang tidak pernah terjadi dalam format proporsional tertutup khususnya masa Orde Baru, 2004 Golkar sebagai partai pemenang, 2009 giliran Demokrat yang jadi menjadi pemenang, serta 2014 dan 2019 (proporsional terbuka terbatas) yang dimenangkan oleh PDI-P. 

Selain itu produk hukum yang mengatur pemilihan umum di era proporsional terbuka silih berganti sehingga mempengaruhi format sistem dan menyesuaikan dengan kondisi terbaru. Terakhir produk hukum terkait pemilihan umum kita sampai UU No. 7 Tahun 2017 yang di mana diupdate kembali sehingga menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Sistem proporsional terbuka benar-benar dilaksanakan pasca Putusan Perkara No. 22--24/PUU-VI/2008 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mahkamah Konstitusi saat itu mengabulkan permohonan dari Pemohon I dan Pemohon II yang secara substansi keinginan untuk diarahkannya sistem pemilu pada sistem proporsional terbuka. Indikator sudah diterapkannya sistem proporsional terbuka (2004--2019) yaitu:

1. Pemenang dalam pemilu ditentukan berdasarkan suara terbanyak sehingga pemilih dapat menyalurkan hak politiknya untuk memilih wakil rakyat yang dikehendaki;

2. Partai politik pemenang pemilu bervariasi dan partai-partai baru mampu meraup kursi legislatif;

3. Perang politik terbuka sehingga para kontestan bersaing secara terbuka untuk meraup suara. Persaingan tidak hanya antar partai politik, namun juga antar caleg dalam satu partai politik. Kondisi ini menyebabkan banyak caleg yang sekian lama sudah dibina dan dimatangkan dalam partai serta dianggap mumpuni sebagai anggota DPR, ternyata harus kalah bersaing denga kader dadakan yang memiliki sumber dana dan popularitas lebih.

4. Eksistensi calon dapat meningkatkan elektabilitas partai sehingga partai lebih mendahulukan popularitas calon untuk mengikuti kontestasi pemilu seperti selebritis, influencer, dan sebagainya. Sehingga banyak kader khususnya dari selebritis yang tidak tersaring dengan baik dan kurang mempunyai kapasitas dan kapabilitas maju sebagai anggota parlemen.

Sistem proporsional terbuka bukan saja berhenti sebagai sistem yang solid dan mapan. Sistem ini juga mempunyai kekurangan dan kelebihan, pro dan kontra, dan variabel-variabel yang lain sehingga selama digunakan, beberapa kali sistem ini berusaha untuk diganti dengan cara judicial review atau uji materiil ke Mahkamah Konstitusi oleh berbagai pihak entah itu yang mewakili partai politik atau perseorangan, entah yang mempunyai legal standing atau tidak. Pengujian yang terakhir yakni Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 Perihal Pengujian Materiil UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang berfokus pada praktik proporsional terbuka yang tidak lagi konstitusional dan mengalami banyak cacat.

Polemik ini juga hadir hingga ke parlemen di mana 8 fraksi dari 9 fraksi menyatakan sikap menolak wacana kembalinya sistem proporsional tertutup, minus PDI-P yang mendukung wacana kembalinya sistem proporsional tertutup. 8 fraksi ini mengadakan pertemuan di Hotel Dharmawangsa pada 8 Januari lalu untuk membahas penolakan dan respon terkait wacana sistem proporsional tertutup. Senada dengan PDI-P, PBB juga turut mendukung wacana kembalinya sistem proporsional tertutup yang di mana Yusril Ihza Mahendra (Ketua Umum PBB) bersedia untuk menjadi pihak terkait dan sudah terlihat bahwa Yusril pernah hadir dalam sidang perkara Nomor 114/PUU-XX/2022, sekaligus menambah legitimasi legal standing dari para pemohon. Statement Ketua KPU Hasyim Asy'ari juga menjadi pemantik polemik yang hadir, bagaimana tidak KPU yang seharusnya fokus menjalankan mandat UU yang ada justru malah membicarakan hal-hal yang masih bersifat spekulatif, terkesan tidak independen -melanggar Pasal 1 Ayat (8) UU No. 7 Tahun 2017 yang seharusnya KPU bersifat mandiri, statement tersebut juga tidak mewakili lembaga negara justru lebih pada preferensi pribadi.

2. SISTEM PROPORSIONAL TERTUTUP, SEJARAH, DAN PRAKTIKNYA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun