14 TEMA DENGAN TEORI DI BAWAH INI Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
 Â
1. KONSEP DASAR SOSIAL EMSIONAL.
   pembelajaran sosial emosional ialah salah satu pendekatan dalam meningkatkan ranah emosi anak. Kompetensi- kompetensi sosial emosional anak diorganisasikan dalam tugas- tugas pertumbuhan yang positif. Pengembangan kompetensi tersebut akan dicapai lewat eksplorasi serta interaksi anak dengan orang tua, pendidik, sahabat, ataupun lingkungan. Dengan demikian diharapkan anak mempunyai kepribadian unggul yang dapat diterima selaku makhluk sosial.
kompetensi sosial serta emosional merupakan keahlian guna menguasai, mengelola, serta mengekspresikan aspek- aspek sosial serta emosional kehidupan seorang dengan demikian seorang anak sanggup mencapai keberhasilan, melakukan tugas tiap hari seperti belajar, membentuk ikatan/ berhubungan, memecahkan permasalahan kehidupan tiap hari, serta menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan serta pertumbuhan yang kompleks. Ini mencakup pemahaman diri, kontrol impulsif, bekerja kooperatif, serta peduli tentang diri sendiri serta orang lain. Menurut Elias dkk ( 1997: 2). Pembelajaran sosial serta emosional merupakan "the process through which children and adults develop the skills, attitudes, and values necessary to acquire social and emotional competence". Proses dimana kanak- kanak serta orang dewasa meningkatkan keterampilan- keterampilan, perilaku, serta nilai- nilai yang dibutuhkan buat mendapatkan kompetensi sosial dan emosional.
norris juga berkata pendidikan sosial emosional merupakan pendekatan pendidikan yang mengarahkan regulasi diri, monitoring diri serta keahlian sosial dalam bermacam setting/ area. Zins dkk( 2001) berkata Pendidikan sosial serta emosional merupakan proses dimana kanak- kanak meningkatkan keahlian mereka guna mengintegrasikan benak, perasaan, serta sikap guna menggapai tugas- tugas sosial yang berarti. Mereka belajar guna mengidentifikasi serta mengelola emosi mereka; membangun ikatan yang sehat; menetapkan tujuan yang positif; penuhi kebutuhan individu serta sosial; membuat keputusan yang bertanggung jawab serta memecahkan permasalahan. Mereka diajarkan untuk memakai bermacam keahlian kognitif serta interpersonal guna menggapai secara etis tujuan yang relevan serta pertumbuhan sosial.
selanjutnya, mendukung diciptakan area guna mendesak pengembangan serta pelaksanaan keahlian ini buat sebagian pengaturan serta situasi. Ini menampilkan kalau pendidikan sosial emosional bisa meminimalisir perilaku- perilaku negatif serta menanamkan perilaku- perilaku positif sehingga terjadinya kepribadian unggul pada anak. Sejalan dengan definisi di atas Jean Gross berpendapat pembelajaran sosial emosional adalah proses pembelajaran yang dilalui oleh anak guna memperoleh pengetahuan, perilaku, serta skill guna memahami serta mengendalikan emosi, menyusun, serta mencapai tujuan positif, mempertunjukkan kepedulian dan atensi pada orang lain, menghasilkan serta memelihara ikatan yang baik, membuat keputusan yang dipertanggungjawabkan, dan sanggup mengatasi situasi interpersonal secara efisien.
goleman( dalam Elias, 1997) memaparkan kecerdasan emosional terdiri dari 5 bidang, yaitu
1) self- awareness; memahami perasaan( pemahaman) sebab terletak dalam suasana kehidupan
nyata
2) managing emotions; mengendalikan emosi dengan perasaan yang kokoh sehingga tidak kewalahan serta terbawa oleh emosi.
3) self- motivation; motivasi diri yang berorientasi pada tujuan serta sanggup menyalurkan emosi ke arah hasil yang diinginkan.
4) empathy and perspective- taking; berempati serta mengidentifikasi emosi serta menguasai sudut pandang orang lain.
5) social skills, keahlian melindungi ikatan di area sosial.
kelima area intelegensi sosial tersebut dijadikan sebagai kompetensi kunci yang dapat dibesarkan, dipraktikkan serta dikuatkan dalam pembelajaran sosial emosional. Sebab dengan meningkatkan kelima kompetensi tersebut akan melahirkan bermacam sifat- sifat positif serta keterampilan- keterampilan sosial yang lain. Keterampilan- keterampilan tersebut ialah karakter- karakter unggul yang diperlukan anak pada tiap sisi kehidupannya guna dapat hidup nyaman serta aman dengan orang lain.
1. self- Awareness/ Emotional Expressiveness
kesadaran diri/ manajemen diri dan ekspresi emosional, terutama pengakuan serta penyampaian pesan dengan positif, ialah pusat guna pembelajaran sosial emosional.
2. self- Management
emosi negatif ataupun positif memerlukan regulasi, kala emosi mengecam untuk mengalahkan atau perlu diperkuat.
3. social Awareness
pemahaman sosial hendak menjadikan anak dapat mempunyai empati terhadap orang lain, serta tekun dalam menangani bermacam cobaan dalam kehidupan tiap hari, memahami serta menghargai perbedaan serta persamaan pribadi dan orang banyak, serta memahami kalau keluarga, sekolah serta warga merupakan sumber segalanya.
4. responsible Decision Making
sebab pemikiran serta emosi berkolaborasi dalam hidup, yakni berguna untuk meningkatkan keahlian tiap anak dalam berpikir tentang interaksi antar individu, melampaui pengalaman emosional, pengetahuan, regulasi, serta ekspresi. Kanak- kanak wajib belajar guna menganalisis suasana sosial, menetapkan tujuan sosial, serta menentukan metode yang efisien guna menyelesaikan perbedaan yang muncul antara mereka serta teman- teman mereka.
5. Relationship Management
kemampuan mengendalikan hubunganmerupakan komponen berarti juga dalam pengembangan sosial emosional anak. Ini termasuk, misalnya, membuat tawaran positif pada diri sendiri buat bermain dengan orang lain, mengawali serta mempertahankan obrolan sepanjang bermain bersama, mendengarkan aktif, bekerja sama, berbagi, bergiliran, perundingan, serta mengatakan" tidak" ataupun mencari dorongan apabila dibutuhkan. Anak bisa memakai banyak keahlian tertentu semacam dalam pelayanan berteman dengan teman- teman sepermainannya.
2. Determinal ( faktor yang mempengaruhi ) perkembangan sosial dan kongnitif.
   Secara garis besar, Perkembangan kognitif mengacu pada tahapan kemampuan seorang anak dalam memperoleh makna dan pengetahuan dari pengalaman serta informasi yang ia dapatkan. Perkembangan keterampilan tersebut penting agar si Kecil bisa memproses informasi, belajar mengevaluasi, menganalisis, mengingat, membandingkan dan memahami hubungan sebab akibat.
Namun, perkembangan kognitif pada tiap anak bisa saja berbeda-beda dan seringkali dikaitkan dengan faktor genetik, namun sebagian besar sebetulnya bisa dipelajari. Kemampuan berpikir dan belajar dapat ditingkatkan dengan mempraktikkannya atau memberikan stimulasi yang tepat. Tahapan perkembangan kognitif anak juga akan berbeda-beda seiring bertambahnya usia anak tersebut.
Ada banyak faktor yang berperan dalam perkembangan kognitif seorang anak, berikut adalah beberapa poin penting:
Menyusui
Banyak studi menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara menyusui dan perkembangan kognisi. Sebuah penelitian yang dilakukan di American Society for Clinical Nutrition menyimpulkan bahwa ASI dapat membantu perkembangan kognitif yang jauh lebih cepat daripada pemberian susu formula. (1)
Pengaruh makanan
Pengaruh nutrisi pada otak bayi dimulai bahkan sebelum dilahirkan, yaitu dengan nutrisi yang ibu konsumsi selama fase kehamilan. Gizi yang buruk mengakibatkan efek negatif pada perkembangan sang buah hati selama kehamilan. Oleh karena itu, makanan sehat dengan gizi seimbang sangat diperlukan untuk ibu hamil guna menunjang segala nutrisi yang dibutuhkan oleh ibu dan sang buah hati.
Peran orang tua
Keterampilan kognitif paling baik dapat diajarkan oleh orang tua, baik dalam berperan sebagai panutan maupun dalam interaksi orang tua dengan anak. Orang tua mendidik anak-anak mereka tentang bagaimana cara berpikir kritis, memecahkan suatu masalah, dan pengendalian diri. Dari sudut pandang perkembangan kognitif alami, orang tua memegang peran terpenting dalam bagaimana cara anak berpikir. (1)
Faktor keturunan
Faktor keturunan diketahui dapat menentukan perkembangan kognitif anak, terutama dari sisi intelektual. Ini berarti seorang anak kemungkinan akan mempunyai kemampuan berpikiran yang mirip dengan orangtuanya, apakah normal, di bawah normal, atau di atas normal. (2)
Pengaruh dari lingkungan sekitar
Selain faktor keturunan, faktor lingkungan juga punya peran dalam perkembangan tingkat kognitif anak. Dua lingkungan yang paling berpengaruh untuk perkembangan kognitif anak adalah lingkungan rumah dan juga sekolah (2). Oleh karena itu, menjaga lingkungan tumbuh kembang anak sangat penting guna menunjang perkembangan sang buah hati.
Cara Mendukung Perkembangan Kognitif Si Kecil
Seperti yang sudah dibahas di atas, orang tua memiliki peran terpenting dalam menunjang perkembangan kognitif anak. Berikut adalah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk membantu perkembangan kognitif anak:
- Bantu si Kecil untuk mengenali suatu objek.
Anak akan memiliki ketertarikan dan rasa penasaran yang tinggi terhadap berbagai hal yang dianggap baru. Bantulah ia untuk memahami keingintahuannya tersebut dengan mengamati atau menyentuh objek tersebut secara langsung. Setelah itu, jelaskan padanya mengenai objek yang sedang ia pelajari tersebut. - Respon pertanyaannya
Ketika seorang anak sedang berada dalam usia tumbuh kembang, ia mungkin akan sering menanyakan berbagai hal kepada Anda. Usahakan untuk selalu menanggapi dan jawablah setiap pertanyaannya dengan benar dan mudah dimengerti. Untuk meningkatkan kemampuan kognitifnya, orang tua juga perlu sering memberikan pertanyaan pada anak agar kemampuan berpikir dan memecahkan masalah yang ia miliki semakin meningkat. - Melatih kemampuan gerak dan keseimbangannya.
Perkembangan kognitif juga dapat dipengaruhi oleh kemampuan gerak dan keseimbangan. Jadi, ketika ia sedang aktif bergerak, jangan terlalu banyak memberinya larangan. Sebaiknya bantu dia melampiaskan keaktifannya tersebut dengan melakukan suatu hal atau aktivitas tertentu yang positif. Misalnya merapikan sesuatu atau bermain dengan mainan yang mengasah kemampuan kognitif seperti balok atau puzzle.
Itulah tadi berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif seorang anak. Pastikan Anda memahaminya demi proses tumbuh kembang anak yang lebih baik. Selain itu untuk memenuhi nutrisi yang sehat, pastikan sang buah hati mendapatkan asupan hidrasi yang baik dengan air mineral berkualitas seperti AQUA yang hadirkan berbagai kebaikan untuk kesehatan anak Anda.
3. Teori lev vygotsky dan piaget tentang perkembangan sosial dan kongnitif.
   Teori Vygotsky -- Setiap anak berkembang dengan keunikannya sendiri. Perkembangan-perkembangan tersebut dipengaruhi oleh pola asuh,  pendidikan, dan lingkungan tempat anak bertumbuh. Perkembangan anak harus diperhatikan baik dari fisik maupun psikologi.
Keduanya sama pentingnya. Perkembangan pemerolehan pengetahuan juga pemting bagi anak. Orang tua harus memperhatikan perkembangan kognitif anak karena hal tersebut penting untuk perekambangan pengetahuan anak.
Tentu pengetahuan sangat penting sebagai bekal di masa depan. Terutama soal bertahan hidup, setidaknya untuk dirinya sendiri. Seperti yang Grameds tahu bahwa perkembangan dunia sangat cepat dan kebutuhan akan tenaga kerja sangat minim.
Karena, sebagian besar jenis pekerjaan yang menggunakan tenaga manusia diganti oleh mesin. Misalnya dalam bidang pertanian, dahulu, untuk memanen membutuhkan banyak tenaga manusia. Tetapi, sekarang cukup dengan alat combine harvesters, memanen padi tidak membutuhkan tenaga manusia yang banyak.
Oleh sebab itu, anak harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan. Kecerdasan tersebut harus dipupuk sejak dini. Caranya dengan memaksimalkan kemampuan kognitif anak di usia-usia emas.
Lev Vygotsky, seorang guru sastra yang tertarik dengan dunia psikologi. Ia menjadi salah satu tokoh dunia psikologi pendidikan. Pemikiran-pemikirannya menjadi penting dalam perkembangan pendidikan. Berikut pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Lev Vygotsky.
Perkembangan Kognitif Anak
Melansir dari laman halodoc.com, J. Piaget merumuskan setidaknya ada empat tahap perkembangan kognitif anak. Berikut rinciannya.
1. Tahap Sensorimotor (Usia 18-24 Bulan)
Bayi dengan usia 18-24 bulan masuk ke dalam tahap sensorimotor, bayi akan mengembangkan pemahaman mengenai dunia melalui koordinasi pengalaman sensorik (melihat, mendengar) dengan tindakan motorik (menggapai, menyentuh).
Perkembangan utama dalam tahal sensorimotor adalah pemahaman bahwa ada objek dan peristiwa yang terjadi di dunia secara alami dari tindakannya sendiri. Sebagai contoh, jika ibu meletkkan mainan di bawah karpet maka anak tahu bahwa mainannya hilang atau tidak terlihat.
Ia akan secara aktif mencarinya. Pada awal tahapan ini, anak akan berperilaku seolah mainan itu hilang begitu saja.
2. Tahap Praoperasional (Usia 2-7 Tahun)
Tahap Praoperasional dimulai sekitar usia 2 tahun sampai 7 tahun. Selama periode ini, anak berpikir pada tingkat simbolik. Tetapi belum menggunakan operasi kognitif. Ia belum mampu menggunakan logika atau mengubah, menggabungkan, atau memisahkan ide atau pikiran.
Perkembangan anak terdiri dari membangun pengalaman tentang dunia melalui adaptasi dan bekerja menuju tahap (konkret) ketika ia bisa menggunakan pemikiran logis. Selama akhir tahap ini, anak akan secara mental dapat merepresentasikan peristiwa dan objek (fungsi semiotik atau tanda) dan terlibat dalam permainan simbolik.
3. Tahap Operasional Konkret (Usia 7-11 Tahun)
Perkembangan kognitif anak pada tahap operasional konkret berlangsung pada sekitar usia 7 sampai 11 tahun. Hal tersebut ditandai dengan adanya perkembangan pemikiran yang terorganisir dan rasional.
Tahapan ini menjadi titik balik utama dalam perkembangan kognitif anak. Karena, menandai awal pemikiran logis. Pada tahap ini, anak akan cukup dewasa untuk menggunakan pemikiran logis. Tetapi, hanya dapat menerapkan logika pada objek fisik.
Anak akan mulai menunjukkan kemampuan konservasi (jumlah, volume, luas, dan orientasi). Meskipun anak dapat memecahkan masalah secara logis namun, mereka belum mampu berpikir secara abstrak atau membuat hipotesis.
4. Tahap Operasional Formal (Usia 12 Tahun ke Atas)
Perkembangan kognitif anak dimulai ketika usia 12 tahun dan berlangsung hingga dewasa. Di usia remaja memasuki tahap ini maka mereka akan memperoleh kemampuan untuk berpikir secara abstrak dengan memanipulasi ide di kepalanya.
Hal tersebut dilakukan tanpa ketergantungan pada manipulasi konkret. Seorang remaja dapat melakukan perhitungan matematis, berpikir kreatif, menggunakan penalaran abstrak, dan membayangkan hasil dari tindakan tertentu.
Teori Belajar Sosial Menurut Vygotsky
Melansir dari laman tirto.id, filosofi Vygotsky yang sangat terkenal adalah mengenai manusia dan lingkungan. Menurutnya, "manusia tidak seperti hewan yang hanya bereaksi terhadap lingkungan, manusia memiliki kapasitas untuk mengubah lingkungan sesuai keperluan mereka".
Dari pemikirannya mempengerahi terciptanya teori konstruktivisme sosial yang memiliki fokus pada pembangunan kognitif anak melalui interaksi sosial. Vygotsky mengajukan teori bahwa perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang sejalan dengan teori sosiogenesis.
Artinya, pengetahuan dan perkembangan kognitif individu berasal dari sumber-sumber sosial di luar dirinya. Hal ini tidak berarti bahwa individu bersikap pasif dalam perkembangan kognitifnya, tetapi Vyogotsky juga menekankan mengenai pentingnya peran aktif seseorang dalam mengkonstruksi pengetahuannya.
Sebenarnya, teori Vygotsky lebih tepat disebut sebagai pendekatan sosiokonstruktivisme. Artinya, perkembangan kognitif seseorang ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga oleh lingkungan sosial yang secara aktif pula.
Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan diterapkan dalam beragam tujuan dengan konteks yang berbeda-beda. Penbetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas yang mana pengetahuan itu dikosntruksikan.
Tempat terciptanya sebuah makna dan asal komunitas budaya yang mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas interaksi sosial tersebutlah maka tercipta makna. Sementara itu, tiga ide utama dari pemikiran Vygotsky sebagai berikut.
- Intelektual berkembang pada saat individu menghadapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan ide-ide tersebut dengan apa yang mereka ketahui.
- Interaksi dengan orang lain memperkaya perkembangan intelektual.
- Guru adalah bertindak sebagai seorang fasilitator dan mediator pembelajaran siswa.
Dalam pandangan Vygotsky, belajar merupakan sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama, belajar yang menjadi proses biologi sebagai proses dasar. kedua, proses secara psikologisial sebagai proses yang lebih tinggi dan essensinya berkaitan dengan lingkungan sosial budaya.
Melansir dari artikel jurnal berjudul "Perkembangan Teori Vygotsky dan Implikasi dalam Pembelajaran Matematika di Mis Rajadesa Ciamis" karya Fitri Fitriani dan Maemonah. Ada beberapa asumsi yang diutarakan oleh Vygotsky ini yang menjadi inti pandangan darinya sebagai berikut.
- Keahlian kognitif dapat dipahami apabila di teliti dan di tafsirkan secara berkaitan dengan asal usulnya dan perubahan dari bentuk awal ke bentuk selanjutnya;
- Kemampuan dalam memperoleh pengetahuan baru dengan kata, bahasa, yang berfungsi sebagai alat berpikir untuk membantu mentransformasi aktivitas mental;
- Kemampuan kognitif berasal dari hubungan timbal balik sosial dan dipengaruhi oleh kultur.
Teori Perkembangan Proksimal Vygotsky
Melansir dari laman tirto.id, Vygotsky mengemukakan konsep mengenai zona perkembangan proksimal (Zone of Proximal Development), yakni jarak antara perkembangan aktual dengan perkembangan potensial. Adapun tingkat perkembangan aktual akan tampak dari kemampuan seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri.
Sedangkan, tingkat perkembangan potensial terlihat dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa. Atau ketika sedang berkolaborasi dengan teman sebayanya yang lebih kompeten.
Adapun, zona perkembangan proksimal dimaknai sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang dan masih berada dalam proses pematangan. Sementara itu, gagasan Vyogotsky mengeai zona perkembangan proksimal ini menjadi dasar perkembangan teori belajar untuk meningkatkan kualitas dan mengoptimalkan perkembangan kognitif anak.
Â
4. Teori psikososial erik erikson.  Â
Erik Erikson merumuskan teori perkembangan psikososial yang mengemukakan bahwa perkembangan diatur di sekitar delapan tugas perkembangan bertingkat usia. Pada setiap usia, bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, menegosiasikan tugas perkembangan target yang spesifik untuk periode perkembangan tersebut. Ketika tugas target berhasil dinegosiasikan, itu menciptakan dasar untuk perkembangan sehat di masa depan dan memberikan dasar untuk negosiasi yang sukses dari tugas-tugas pengembangan di masa depan. Ketika suatu tugas tidak diselesaikan dengan baik, ini membuat perkembangan sehat yang berkelanjutan menjadi lebih sulit. Pengembangan kepribadian yang sehat dan rasa kompetensi tergantung pada keberhasilan penyelesaian setiap tugas.
Erikson percaya bahwa kita sadar akan apa yang memotivasi kita sepanjang hidup. Kita membuat pilihan sadar dalam hidup, dan pilihan ini berfokus pada pemenuhankebutuhan sosial dan budaya tertentu daripada kebutuhan biologis murni. Manusia termotivasi, misalnya, oleh kebutuhan untuk merasa bahwa dunia adalah tempat yang dapat dipercaya, bahwa kita adalah individu yang cakap, bahwa kita dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat, dan bahwa kita telah menjalani kehidupan yang bermakna. Ini semua adalah masalah psikososial.
Erikson menggambarkan delapan tahap, masing-masing dengan tugas psikososial utama yang harus dicapai atau krisis yang harus diatasi. Erikson percaya bahwa kepribadian kita terus terbentuk sepanjang rentang hidup kita saat kita menghadapi tantangan ini. Berikut adalah ikhtisar dari setiap tahap:
Masa bayi: Kepercayaan vs. Ketidakpercayaan
Tugas perkembangan bayi adalah kepercayaan vs. ketidakpercayaan, dan itu dinegosiasikan dalam membangun hubungan keterikatan yang aman dengan pengasuh. Erikson berpendapat bahwa selama satu hingga satu setengah tahun pertama kehidupan, tujuan yang paling penting adalah pengembangan rasa kepercayaan dasar pada pengasuh seseorang (Erikson, 1982). Bayi bergantung dan harus bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis dasar mereka. Seorang pengasuh yang secara konsisten memenuhi kebutuhan ini menanamkan rasa percaya atau keyakinan bahwa dunia adalah tempat yang dapat dipercaya. Pengasuh tidak perlu khawatir terlalu memanjakan kebutuhan bayi akan kenyamanan, kontak, atau stimulasi. Responsivitas pengasuh mengomunikasikan kepada bayi bahwa kebutuhan mereka akan dipenuhi, dan sangat penting dalam mendukung pengembangan rasa percaya.Â
Masalah membangun kepercayaan
Erikson (1982) percaya bahwa ketidakpercayaan mendasar dapat mengganggu banyak aspek perkembangan psikososial dan membuatnya lebih sulit untuk membangun cinta dan persekutuan dengan orang lain. Pertimbangkan implikasi untuk membangun kepercayaan jika pengasuh tidak tersedia atau kesal dan tidak siap untuk merawat anak. Atau jika seorang anak lahir prematur, tidak diinginkan, atau memiliki masalah fisik yang membuatnya kurang menarik bagi orang tua. Dalam keadaan ini, kita tidak dapat berasumsi bahwa orang tua akan merawat anak dengan cara yang mendukung pengembangan kepercayaan. Seperti yang akan Anda baca nanti, adalah mungkin untuk mengerjakan ulang model mental dari hubungan awal yang tidak aman, tetapi hubungan yang dekat dan peduli dengan pengasuh utama membuatnya lebih mudah bagi bayi untuk menegosiasikan tugas perkembangan pertama ini.Â
Masa Balita: Otonomi vs. Rasa Malu dan Keraguan
Saat anak mulai berjalan dan berbicara, minat pada kemandirian atau otonomi menggantikan kepedulian akan kepercayaan. Jika bayi telah membangun keterikatan yang aman dengan pengasuh, mereka dapat menggunakan basis yang aman itu untuk menjelajahi dunia dan memantapkan diri mereka sebagai orang yang mandiri, dengan tujuan dan minat mereka sendiri. Adalah tugas balita untuk mengerahkan keinginannya, dan untuk menguji batas-batas dari apa yang dapat disentuh, dikatakan, dan dieksplorasi. Erikson (1982) percaya bahwa balita harus didorong untuk menjelajahi lingkungan mereka sebebas yang memungkinkan keamanan, dan dengan demikian mengembangkan rasa kemandirian yang nantinya akan tumbuh untuk mendukung harga diri, inisiatif, dan kepercayaan diri. Jika seorang pengasuh terlalu cemas tentang tindakan balita karena takut anak akan terluka atau terlalu kritis dan mengendalikan kesalahan yang mereka buat, anak akan mendapatkan pesan bahwa dia harus malu dengan siapa mereka dan menanamkan rasa keraguan dalam kapasitas mereka. Saran pengasuhan berdasarkan ide-ide ini adalah untuk menjaga balita tetap aman tetapi untuk memvalidasi keinginan mereka untuk eksplorasi dan kemandirian, dan untuk mendorong mereka untuk belajar sambil melakukan.Â
Anak Usia Dini: Inisiatif vs. Rasa Bersalah
Kepercayaan dan otonomi dari tahapan sebelumnya berkembang menjadi keinginan untuk mengambil inisiatif atau memikirkan ide dan memulai tindakan (Erikson, 1982). Begitu anak-anak mencapai tahap prasekolah (usia 3-6 tahun), mereka mampu memulai kegiatan dan menegaskan kendali atas dunia mereka melalui interaksi sosial dan bermain. Dengan belajar merencanakan dan mencapai tujuan sambil berinteraksi dengan orang lain, anak-anak prasekolah dapat menguasai tugas ini. Anak-anak mungkin ingin membangun benteng dengan bantal dari sofa ruang tamu atau membuka kios limun di jalan masuk atau membuat kebun binatang dengan boneka binatang mereka dan mengeluarkan tiket kepada mereka yang ingin datang. Atau mereka mungkin hanya ingin mempersiapkan diri untuk tidur tanpa bantuan apa pun. Inisiatif, rasa ambisi dan tanggung jawab, terjadi ketika orang tua mengizinkan anak untuk mengeksplorasi dalam batas dan kemudian mendukung pilihan anak. Untuk memperkuat inisiatif, pengasuh harus memberikan pujian atas upaya anak dan menghindari kritis terhadap kekacauan atau kesalahan. Menempatkan gambar gambar di lemari es, membeli pai lumpur untuk makan malam, dan mengagumi menara lego akan memfasilitasi rasa inisiatif anak. Anak-anak ini akan mengembangkan kepercayaan diri dan merasakan tujuan. Mereka yang tidak berhasil pada tahap ini---dengan inisiatif mereka salah tembak atau tertahan oleh orang tua yang terlalu mengendalikan---dapat mengembangkan perasaan tidak mampu dan bersalah.
5. Teori emotional intelligence dari daniel goleman.
Teori Kecerdasan Emosional Daniel Goleman adalah perspektif terobosan tentang kecerdasan manusia, menunjukkan bahwa kecerdasan emosional (EI) bisa lebih penting daripada IQ tradisional. Teori ini menyoroti lima domain utama: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Goleman menegaskan bahwa domain ini mewakili kemampuan yang dipelajari, bukan sifat bawaan, dan karena itu dapat dikembangkan. Sebagai dasar EI, kesadaran diri menopang semua domain lain, memungkinkan individu untuk mengenali dan mengelola emosi mereka. Pengaturan diri berhubungan dengan bagaimana kita mengendalikan reaksi dan dorongan emosional kita. Motivasi mengacu pada kecenderungan emosional yang membimbing atau memfasilitasi pencapaian tujuan di luar uang dan status. Empati menyangkut pemahaman dan respons terhadap keadaan emosional orang lain, sedangkan keterampilan sosial mencakup kemampuan yang dibutuhkan untuk interaksi interpersonal yang efektif. Teori yang berpengaruh ini telah berdampak signifikan pada berbagai bidang, seperti psikologi, kepemimpinan, dan pendidikan, menyoroti pentingnya kompetensi emosional dalam kesuksesan pribadi dan profesional. Latar Belakang Singkat: Daniel Goleman adalah seorang psikolog dan jurnalis sains terkenal yang karyanya telah mengubah pemahaman kita tentang kecerdasan emosional (EI). Buku terlarisnya "Emotional Intelligence," pertama kali diterbitkan pada tahun 1995, memperkenalkan konsep EI kepada khalayak luas dan mendorong perubahan dalam cara kita memandang kecerdasan dan kesuksesan. Goleman berpendapat bahwa EI adalah faktor penting dalam efektivitas kepemimpinan, mencakup keterampilan, dan kompetensi yang secara signifikan memengaruhi kemampuan seseorang untuk unggul dalam domain pribadi dan profesional.Â
Penelitian atau Kebutuhan: Sebelum karya Goleman yang berpengaruh, bidang psikologi sebagian besar difokuskan pada kecerdasan kognitif tradisional, atau IQ, sebagai ukuran utama potensi keberhasilan dan kemampuan. Aspek emosional sering terpinggirkan, meskipun dampaknya jelas pada interaksi pribadi dan profesional. Menyadari hal ini, Goleman mengintegrasikan penelitian dari ilmu saraf dan ilmu perilaku untuk menciptakan teori kecerdasan emosional yang komprehensif, memperluas pemahaman kita tentang kecerdasan dan potensi manusia. Karya Goleman dipengaruhi oleh David McClelland, mentornya, dan karya-karyanya seperti "The Competency Model" dari "Competency at Work," yang menekankan pentingnya kompetensi manusia tertentu, seperti keterampilan interpersonal, di tempat kerja. Namun, Goleman memperluas konsep dengan memperkenalkan gagasan bahwa kompetensi emosional, termasuk kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial, juga penting untuk kepemimpinan yang efektif, kerja tim, komunikasi, dan kinerja tempat kerja secara keseluruhan.
Â
Ringkasan Teori: Teori Kecerdasan Emosional Goleman mengusulkan bahwa individu bervariasi dalam kompetensi mereka dalam kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Unsur-unsur mendasar ini dibagi menjadi kompetensi pribadi dan sosial. Kompetensi pribadi menyangkut manajemen diri kita: kemampuan untuk menyadari dan mengatur emosi kita. Kompetensi sosial mencakup memahami emosi orang lain (empati) dan mengelola hubungan kita secara efektif (keterampilan sosial). Yang penting, Goleman berpendapat bahwa kompetensi emosional ini bukanlah sifat genetik yang tetap, tetapi keterampilan yang dapat dikembangkan dan diasah dari waktu ke waktu.Â
Kesadaran Diri: Domain ini mengacu pada kemampuan individu untuk mengenali dan memahami emosi, kekuatan, kelemahan, nilai, dan dorongan mereka sendiri. Orang dengan kesadaran diri yang tinggi jujur pada diri mereka sendiri dan sadar bagaimana perasaan mereka memengaruhi mereka, orang-orang di sekitar mereka, dan kinerja pekerjaan mereka. Domain ini membentuk dasar untuk komponen lain dari kecerdasan emosional karena mengenali emosi sendiri terlebih dahulu adalah prasyarat untuk menanganinya dengan tepat.
Â
Pengaturan Diri: Domain ini mencakup kompetensi seperti pengendalian diri, kepercayaan, kemampuan beradaptasi, dan inovasi. Pengaturan diri adalah kemampuan untuk mengontrol atau mengarahkan impuls dan suasana hati yang mengganggu dan kecenderungan untuk menangguhkan penilaian dan berpikir sebelum bertindak. Orang yang unggul dalam pengaturan diri memiliki kesadaran tinggi, mereka mampu mengelola reaksi emosional mereka terhadap situasi, dan mereka dapat beradaptasi dengan keadaan yang berubah.
Â
Motivasi: Domain ini mengacu pada kecenderungan emosional yang memandu atau memfasilitasi pencapaian tujuan. Motivasi mencakup hasrat untuk bekerja di luar uang atau status dan kecenderungan untuk mengejar tujuan dengan energi dan ketekunan. Hal ini terlihat dalam sifat-sifat seperti dorongan yang kuat untuk berprestasi, optimisme bahkan dalam menghadapi kegagalan, dan komitmen organisasi.
Â
Empati: Empati, domain keempat, melibatkan pemahaman susunan emosional orang lain dan memperlakukan mereka sesuai dengan reaksi emosional mereka. Kompetensi ini meliputi keterampilan dalam mengembangkan orang lain, memahami orang lain, kesadaran politik, dan memanfaatkan keragaman. Mereka yang memiliki empati pandai mengenali perasaan orang lain, bahkan ketika perasaan itu mungkin tidak jelas. Akibatnya, orang yang berempati biasanya sangat baik dalam mengelola hubungan, mendengarkan, dan berhubungan dengan orang lain.
Â
Keterampilan Sosial: Domain terakhir adalah tentang mengelola hubungan untuk menggerakkan orang ke arah yang diinginkan, yang mencakup kompetensi seperti pengaruh, komunikasi, manajemen konflik, kepemimpinan, katalis perubahan, membangun ikatan, kolaborasi, dan kerja sama. Individu yang terampil secara sosial mahir dalam mengelola tim dan menegosiasikan konflik. Mereka adalah komunikator yang sangat baik, mampu memimpin dan menginspirasi orang lain, dan pandai mengelola perubahan.
Masing-masing domain ini saling berhubungan dan memengaruhi yang lain, berkontribusi secara signifikan terhadap kecerdasan emosional seseorang secara keseluruhan. Meningkatkan dalam satu domain dapat membantu meningkatkan kemampuan di domain lain, dan melatih keterampilan ini dapat meningkatkan kecerdasan emosional seseorang.
Â
Pentingnya di Lapangan: Pengenalan Teori Kecerdasan Emosional telah menjadi katalis perubahan di berbagai bidang, seperti psikologi, kepemimpinan, dan pendidikan. Ini merevolusi pemahaman tentang kecerdasan, menekankan bahwa kompetensi emosional secara signifikan memengaruhi kinerja dan kesuksesan individu, seringkali melampaui pentingnya IQ tradisional. Teori ini menginspirasi banyak studi penelitian berikutnya dan aplikasi praktis, meningkatkan praktik di berbagai bidang seperti manajemen bisnis, pendidikan, kesehatan mental, dan banyak lagi.
Contoh Kehidupan Nyata:Â
1) Manajer yang cerdas secara emosional dapat melihat ketika anggota tim merasa stres, terlalu banyak bekerja, atau tidak terlibat. Mereka kemudian dapat terlibat dalam tindakan yang mendukung, seperti menawarkan bantuan, memberikan umpan balik positif, atau memastikan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih sehat. Ini tidak hanya meningkatkan moral tim tetapi juga meningkatkan produktivitas dan mengurangi pergantian karyawan.
2) Pada tingkat pribadi, seseorang dengan kecerdasan emosional yang tinggi diperlengkapi untuk mengelola emosi mereka secara efektif. Mereka dapat mengenali ketika mereka mengalami stres atau frustrasi, memahami apa yang menyebabkan perasaan ini, dan kemudian menggunakan strategi untuk mengelola emosi ini. Kemampuan ini menghasilkan respons yang lebih sehat terhadap situasi stres, peningkatan ketahanan, dan peningkatan hubungan pribadi.
Â
Relevansi untuk Pelatih: Pelatihan dalam Teori Kecerdasan Emosional Goleman sangat berharga karena memberi peserta didik kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami emosi mereka dan bagaimana mereka memengaruhi interaksi dan keputusan mereka. Pengetahuan ini memberdayakan individu untuk melatih keterampilan emosional mereka, yang mengarah pada peningkatan komunikasi, kepemimpinan, dinamika tim, dan kemampuan pemecahan masalah. Pelatih dapat memberikan latihan praktis dan skenario kehidupan nyata untuk membantu peserta didik menerapkan teori dalam situasi sehari-hari, yang selanjutnya meningkatkan nilai praktisnya.
Â
Relevansi untuk Pengembangan Pribadi: Kecerdasan emosional memainkan peran penting dalam pengembangan pribadi. Dengan memahami dan mengembangkan EI, individu dapat mengelola emosi mereka dengan lebih efektif, mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan.
Meningkatkan kecerdasan emosional juga mendukung pengembangan keterampilan interpersonal yang penting, yang mengarah pada komunikasi yang lebih empati dan efektif. Dengan peningkatan kemampuan untuk memahami, memahami, dan mengelola emosi, individu dapat membentuk hubungan pribadi dan profesional yang lebih kuat dan lebih memuaskan.
Selain itu, EI mendorong kesadaran diri dan introspeksi yang lebih besar, mendorong pertumbuhan pribadi dan manajemen diri yang lebih baik. Ketika individu menjadi lebih sadar akan respons dan pola emosional mereka, mereka dapat lebih memahami kekuatan, kelemahan, dan pemicu mereka. Kesadaran ini dapat menghasilkan strategi yang lebih efektif untuk pertumbuhan dan perubahan pribadi.
Dengan memahami bahwa kompetensi emosional dapat dipelajari dan ditingkatkan, individu diberdayakan untuk melatih keterampilan emosional mereka secara aktif. Hal ini dapat mengarah pada peningkatan rasa efikasi diri, peningkatan ketahanan dalam menghadapi tantangan, dan pandangan yang lebih positif tentang kehidupan mereka.
Kesimpulannya, Teori Kecerdasan Emosional Daniel Goleman adalah alat yang tak ternilai untuk pengembangan pribadi, menyediakan kerangka kerja untuk memahami, mengembangkan, dan menerapkan keterampilan emosional dalam berbagai konteks, yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan, hubungan yang lebih baik, dan pertumbuhan pribadi.
Â
Relevansi untuk Organisasi:Â Teori Kecerdasan Emosional oleh Daniel Goleman sangat penting bagi perusahaan. Ini sangat menekankan kapasitas untuk memahami, memahami, dan mengendalikan emosi baik dalam diri sendiri maupun orang lain. Motivasi, keterlibatan, dan kepuasan karyawan semuanya ditingkatkan oleh kecerdasan emosional, yang juga mendorong kerja sama produktif dan interaksi interpersonal. Budaya perusahaan yang sehat dapat dikembangkan oleh pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional. Mereka juga dapat memotivasi dan memberdayakan staf mereka, beradaptasi dengan perubahan, dan menginspirasi orang lain. Bisnis dapat berhasil dalam lingkungan kerja yang berubah saat ini dengan memasukkan kecerdasan emosional ke dalam prosedur organisasi, menghasilkan kinerja yang lebih tinggi, hubungan yang lebih kuat, dan kesuksesan menyeluruh.
6. Teori belajar sosial albert bandura.
    Teori belajar social Bandura (1965a, 1965b, 1971, 1977) menguraikan kumpulan ide mengenai cara perilaku dipelajari dan diubah. Penerapan teori ini hampir pada seluruh perilaku, dengan perhatian khusus pada cara perilaku baru diperoleh melalui belajar mengamati (observational learning). Teori ini digunakan dengan mudah untuk perkembangan agresi, perilaku yang ditentukan, ketekunan, belajar loncatan ski, dan reaksi psikologis yang datar pada emosi. Teori Bandura dengan jelas menggunakan sudut pandang kognitif dalam menguraikan belajar dan perilaku. Melalui kognitif kita berarti Bandura berasumsi tentang pikiran manusia dan menafsirkan pengalaman mereka. Contoh, Bandura (1977) membantsah bahwa belajar kompleks hanya dapat terjadi ketika orang sadar dari apa yang dikuatkan. Rangkaian kejadian itu merupakan perilaku ingin yang diikuti oleh penguatan)," tetapi Bandura akan membantah bahwa penguatan seperti itu tidak akan memberikan pengaruh yang kuat pada perilaku. Anak-anak pertama- tama harus mengerti hubungan antara perilaku yang benar dan peristiwa penguatan. Dalam perbedaan kedudukan Bandura, teori belajar tradisional (seperti Skinner dan Hull) berasumsi tidak menerima proses kognitif manusia. Agaknya masalah utama untuk mendapatkan perilaku dari manusia supaya dapat dikuatkan . menurut kedudukan tradisional, penguatan "menguatkan" perilaku, membantu perilaku lebih terjadi seterusnya. Hal utama dari pendekatan tradisional ini, untuk terjadinya belajar, manusia harus melakukan performa/tampilan utama dan kemudian diberi hadiah. Menurut teori belajar social, perbuatan melihat saja menggunakan gambaran kognitif dari tindakan , secara rinci dasar kognisi dalam proses belajar dapat diringkas dalam 4 tahap yaitu : atensi/perhatian, retensi/mengingat, reproduksi gerak, dan motivasi. 1. Atensi / Perhatian Jika reaksi baru yang dipelajari dari melihat/mendengar lainnya, maka hal itu jelas bahwa tingkat memberi perhatian yang lain akan menjadi yang terpenting. Lebih mendalam lagi berikut faktor-faktor untuk mendapatkan perhatian : (1) penekanan penting dari perilaku menoonjol (2) memperoleh perhatian dari ucapan /teguran (3) membagi aktivitas umum dalam bagian --bagian yang wajar jadi komponen keterampilan dapat menonjol. 2. Retensi Setiap gambaran perilaku disimpan dalam memori atau tidak, dan dasar untuk penyimpanan merupakan metode yang digunakan untuk penyandian atau memasukkan respon. Penyandian dalam symbol verbal dipermudah oleh berpikir aktif orang atau ringkasan secara verbal tindakan yang mereka amati. Waktu respon yang diamati disandikan, ingatan kesan visual atau symbol verbal dapat berlanjutdengan melatih kembali secara mental. Dengan begitu, penyandian akan mencoba untuk berpikir giat mengenai tindakan dan memikirkan kembali penyandian verbal. 3. Reproduksi Gerak Waktu fakta-fakta dari tindakan baru disandikan dalam memori, mereka harus dirubah kembali dalam tindakan yang tepat. Rangkaian tindakan baru merupakan symbol pertama pengaturan dan berlatih, semua waktu dibandiungkan dengan ingatan/memori dari perilaku model. Penyesuaian dibuat dalam rangkaian tindakan baru, dan rangkaian perilaku awal. Perilaku sebenarnya dicatat oleh orang dan mungkin juga oleh pengamat yang memberikan timbal balik yang benar dari perilaku suka meniru. Dasar penyesuaian dari timbal balik membuat pengaturan simbolik rangkaian tindakan baru, dan rangkaian perilaku dimulai lagi. Teori belajar social memperkenalkan tiga prasyarat utama untuk berhasil dalam proses ini. Pertama, orng harus memiliki komponen keterampilan. Biasanya rangkaian perilaku model dalam penelitian Bandura buatan dari komponen perilaku yang sudah diketahui orang. Kedua, orang harus memiliki kapasitas fisik untuk membawa komponen keterampilan dalam mengkoordinasikan gerakan. Terakhir, hasil yang dicapai dalam koordinasi penampilan/ pertuntukan memerlukan pergerakan individu yang dengan mudah tampak. 4. Penguatan dan Motivasi Pokok persoalan dari atensi, retensi, dan reproduksi gerak sebagian besar berhubungan dengan kemampuan orang untuk meniru perilaku penguatan menjadi relevan. Ketika kita mencoba menstimulus orang untuk menunjukkan pengetahuan pada perilaku yang benar. Walaupun teori belajar social mengandung penguatan untuk tidak menambah pengetahuan guna "mengecap dalam perilaku", itu peran utama memberi penguatan (hadiah & hukuman) seperti seorang motivator. Secara ringkas, teori belajar social Bandura memiliki 2 implikasi penting : (1) respon baru mungkin dipelajari tanpa having to perform them (learning by observation) (2) hadiah dan hukuman terutama mempengaruhi pertunjukan (performance) dari perilaku yang dipelajari: bagaimanapun ketika memberikan kemajuan, mereka memiliki pengaruh tambahan / kedua dalam pengetahuan / belajar dari perilaku baru yang terus pengaruhnya pada atensi dan latihan.Â
7. teori empati dari martin hoffman.
  Empati adalah kemampuan untuk merasakan atau memahami perasaan orang lain, yang dapat menjadi dasar untuk membangun hubungan sosial yang sehat dan harmonis. Dalam konteks psikologi perkembangan, Martin Hoffman adalah salah satu tokoh yang mengembangkan teori empati, yang memberikan pemahaman lebih dalam tentang bagaimana empati berkembang seiring dengan pertumbuhan individu dan bagaimana ia berperan dalam interaksi sosial. Dalam artikel ini, saya akan membahas teori empati dari Martin Hoffman, termasuk konsep-konsep utama, tahapan perkembangannya, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep Utama dalam Teori Empati Hoffman
Martin Hoffman, seorang psikolog perkembangan, mengemukakan bahwa empati bukanlah suatu kemampuan yang hanya muncul begitu saja pada individu, melainkan sebuah proses yang berkembang secara bertahap seiring waktu. Hoffman mengidentifikasi beberapa komponen dalam teori empatinya yang penting untuk memahami bagaimana empati berfungsi dalam kehidupan sosial kita.
1. Pengertian Empati
Hoffman mendefinisikan empati sebagai respons afektif terhadap perasaan orang lain yang muncul setelah individu merasakan atau memahami keadaan emosional orang lain. Empati melibatkan kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain, baik secara langsung maupun melalui perspektif kognitif.
2. Empati dan Perkembangan Sosial
Dalam teori Hoffman, empati dianggap berkembang seiring dengan usia dan pengalaman sosial. Artinya, empati tidak muncul begitu saja pada saat kelahiran, melainkan merupakan kemampuan yang semakin berkembang seiring dengan bertambahnya usia dan meningkatnya kompleksitas interaksi sosial.
Tahapan Perkembangan Empati Menurut Hoffman
Hoffman menyarankan bahwa empati berkembang dalam beberapa tahapan, yang setiap tahapan mencerminkan pemahaman yang semakin dalam tentang perasaan orang lain serta kemampuan untuk meresponsnya dengan cara yang lebih tepat. Tahapan ini berkaitan erat dengan perkembangan kognitif dan sosial seorang individu. Berikut adalah beberapa tahapan perkembangan empati menurut Hoffman:
1. Tahap Empati Emosional Dasar (0--2 tahun)
Pada tahap awal kehidupan, bayi sudah mulai menunjukkan respons terhadap perasaan orang lain meskipun belum sepenuhnya mengerti perasaan tersebut. Misalnya, bayi mungkin menangis saat mendengar suara orang lain menangis, atau menunjukkan kegembiraan saat melihat orang lain tersenyum. Pada tahap ini, empati lebih bersifat emosional dasar, yaitu respons afektif terhadap emosi orang lain. 2. Tahap Empati yang Terkait dengan Perbedaan Perspektif       (2--6 tahun)
Seiring bertambahnya usia, anak mulai dapat mengenali bahwa orang lain memiliki perasaan yang berbeda dengan perasaannya sendiri. Pada tahap ini, anak mulai menunjukkan kemampuan untuk merespons emosi orang lain secara lebih tepat. Misalnya, jika teman mereka sedih karena kehilangan mainan, anak mungkin akan menawarkan mainan mereka sebagai bentuk empati. Mereka mulai memahami bahwa orang lain memiliki pengalaman emosional yang berbeda dari diri mereka sendiri.
3. Tahap Empati Kognitif dan Moral (6 tahun ke atas)
Pada tahap ini, empati berkembang lebih kompleks, di mana anak mulai mengerti bahwa perasaan orang lain bisa berhubungan dengan situasi yang lebih besar atau dengan prinsip moral tertentu. Mereka tidak hanya merasakan emosi orang lain, tetapi juga mulai memahami mengapa orang lain merasakan hal tersebut. Pada usia ini, anak-anak mulai menunjukkan empati yang lebih mendalam, seperti membantu teman yang sedang kesulitan atau menunjukkan kepedulian terhadap orang yang sedang mengalami kesulitan atau penderitaan.
4. Tahap Empati Dewasa (Relevansi Sosial yang Kompleks)
Pada tahap dewasa, empati mencakup pemahaman yang lebih dalam tentang perasaan dan perspektif orang lain, termasuk konteks sosial dan budaya yang memengaruhi perasaan tersebut. Orang dewasa mampu merespons dengan cara yang lebih bijaksana dan sensitif terhadap perasaan orang lain, bahkan jika mereka tidak memiliki pengalaman langsung dengan perasaan tersebut.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Empati
Menurut Hoffman, ada beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan empati, baik dari dalam diri individu maupun dari lingkungan sosial di sekitarnya. Beberapa faktor tersebut adalah
1. Pengaruh Keluarga dan Pengasuhan
Keluarga merupakan lingkungan pertama di mana anak belajar tentang hubungan sosial. Pola pengasuhan yang penuh kasih sayang, perhatian, dan pemahaman terhadap perasaan anak akan memperkuat kemampuan anak untuk mengembangkan empati. Sebaliknya, pengasuhan yang keras atau tidak sensitif dapat menghambat perkembangan empati anak.
2. Pengaruh Teman Sebaya.
Teman sebaya memiliki peran penting dalam mengembangkan empati pada anak-anak dan remaja. Interaksi dengan teman sebaya memberikan peluang bagi individu untuk mengembangkan keterampilan sosial, berbagi perasaan, dan belajar tentang perbedaan perspektif dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pengaruh Media
Media, baik melalui film, buku, atau media sosial, dapat menjadi sumber pembelajaran yang kuat tentang empati. Karakter-karakter dalam cerita fiksi sering kali mengajarkan pemirsa tentang perasaan orang lain dan cara-cara yang berbeda untuk meresponsnya.
4. Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadi yang melibatkan kesulitan emosional atau penderitaan dapat memperdalam rasa empati seseorang. Mereka yang telah mengalami kesulitan mungkin lebih mampu memahami perasaan orang lain yang berada dalam situasi serupa.
Penerapan Teori Empati dalam Kehidupan Sehari-hari
Teori empati Hoffman memiliki relevansi yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa penerapan empati yang dapat kita temui dalam berbagai konteks
1. Dalam Keluarga
Keluarga adalah tempat pertama di mana anak belajar tentang empati. Orang tua yang menunjukkan empati terhadap anak-anak mereka dengan mendengarkan perasaan mereka dan merespons dengan perhatian akan mengajarkan anak-anak mereka untuk mengembangkan empati terhadap orang lain. Misalnya, seorang ibu yang menunjukkan perhatian ketika anaknya sedih atau cemas dapat membantu anak belajar cara mengelola perasaan mereka sendiri serta memahami perasaan orang lain.
2. Di Sekolah
Dalam lingkungan sekolah, guru dan teman sebaya memainkan peran penting dalam mengembangkan empati siswa. Ketika seorang guru mengajarkan pelajaran dengan memperhatikan perasaan siswa dan mendukung mereka dalam mengatasi tantangan emosional, siswa akan lebih mudah memahami dan merespons perasaan teman-teman mereka. Selain itu, sekolah dapat mengintegrasikan program pendidikan sosial dan emosional yang mengajarkan keterampilan empati kepada siswa.
3. Dalam Masyarakat
Di masyarakat yang lebih luas, empati memiliki peran penting dalam membangun hubungan sosial yang harmonis. Mengerti dan menghargai perasaan orang lain dapat mengurangi konflik dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif. Sebagai contoh, dalam situasi konflik antar individu atau kelompok, pemahaman empati dapat membantu mencapai solusi yang saling menguntungkan dan mengurangi ketegangan.
4. Dalam Dunia Profesional
Di tempat kerja, empati sangat diperlukan untuk menciptakan suasana kerja yang positif. Pemimpin yang memiliki empati terhadap karyawan mereka lebih mampu memotivasi dan mendukung mereka untuk mencapai tujuan bersama. Begitu juga dengan rekan kerja yang saling menunjukkan empati, yang akan menciptakan ikatan sosial yang lebih kuat dan meningkatkan kinerja tim.
8. Teori attachment yang di kemukakan okeh mary ainsworth dan john bowlby.  Â
   Teori keterikatan adalah kerangka psikologis dan evolusioner mengenai hubungan antara manusia, terutama pentingnya ikatan awal antara bayi dan pengasuh utama mereka. Dikembangkan oleh psikiater dan psikoanalis John Bowlby (1907-90), teori ini berpendapat bahwa bayi perlu membentuk hubungan dekat dengan setidaknya satu pengasuh utama untuk memastikan kelangsungan hidup mereka, dan untuk mengembangkan fungsi sosial dan emosional yang sehat. [1][2]
Aspek penting dari teori keterikatan termasuk pengamatan bahwa bayi mencari kedekatan dengan sosok keterikatan, terutama selama situasi stres. [2][3] Keterikatan yang aman terbentuk ketika pengasuh sensitif dan responsif dalam interaksi sosial, dan secara konsisten hadir, terutama antara usia enam bulan dan dua tahun. Saat anak-anak tumbuh, mereka menggunakan figur keterikatan ini sebagai basis yang aman untuk menjelajahi dunia dan kembali untuk kenyamanan. Interaksi dengan pengasuh membentuk pola keterikatan, yang pada gilirannya menciptakan model kerja internal yang memengaruhi hubungan di masa depan. [4] Kecemasan atau kesedihan perpisahan setelah hilangnya sosok keterikatan dianggap sebagai respons normal dan adaptif untuk bayi yang melekat. [5]
Penelitian oleh psikolog perkembangan Mary Ainsworth pada tahun 1960-an dan 70-an memperluas pekerjaan Bowlby, memperkenalkan konsep "basis yang aman", dampak responsivitas dan kepekaan ibu terhadap tekanan bayi, dan mengidentifikasi pola keterikatan pada bayi: keterikatan yang aman, menghindar, cemas, dan tidak teratur. [6][7] Pada tahun 1980-an, teori keterikatan diperluas ke hubungan orang dewasa dan keterikatan pada orang dewasa, sehingga dapat diterapkan di luar masa kanak-kanak. [8] Teori Bowlby mengintegrasikan konsep dari biologi evolusioner, teori hubungan objek, teori sistem kontrol, etologi, dan psikologi kognitif, dan sepenuhnya diartikulasikan dalam triloginya, Attachment and Loss (1969--82). [9]
Meskipun awalnya dikritik oleh psikolog akademis dan psikoanalis,[10] teori keterikatan telah menjadi pendekatan dominan untuk memahami perkembangan sosial awal dan telah menghasilkan penelitian ekstensif. [11] Terlepas dari beberapa kritik terkait temperamen, kompleksitas sosial, dan keterbatasan pola keterikatan diskrit, konsep inti teori telah diterima secara luas dan telah memengaruhi praktik terapeutik dan kebijakan sosial dan pengasuhan anak. [10][12].Â
Dalam teori keterikatan, keterikatan berarti ikatan kasih sayang atau ikatan antara individu dan sosok keterikatan (biasanya pengasuh/wali). Ikatan semacam itu mungkin timbal balik antara dua orang dewasa, tetapi antara seorang anak dan pengasuh, ikatan ini didasarkan pada kebutuhan anak akan keselamatan, keamanan, dan perlindungan---yang paling penting pada masa bayi dan masa kanak-kanak. [13] Teori keterikatan bukanlah deskripsi lengkap tentang hubungan manusia, juga tidak identik dengan cinta dan kasih sayang, meskipun ini mungkin menunjukkan bahwa ikatan itu ada. Dalam hubungan anak-ke-orang dewasa, ikatan anak disebut "keterikatan" dan padanan timbal balik pengasuh disebut sebagai "ikatan pengasuh". [14] Teori ini mengusulkan bahwa anak-anak melekat pada pengasuh secara naluriah,[15] untuk tujuan kelangsungan hidup dan, pada akhirnya, replikasi genetik. [14] Tujuan biologis adalah bertahan hidup dan tujuan psikologis adalah keamanan. [11] Hubungan yang dimiliki seorang anak dengan sosok keterikatan mereka sangat penting dalam situasi yang mengancam. Memiliki akses ke sosok yang aman mengurangi ketakutan pada anak-anak ketika mereka dihadapkan pada situasi yang mengancam. Memiliki tingkat ketakutan yang menurun tidak hanya penting untuk stabilitas mental secara umum, tetapi juga menyiratkan bagaimana anak-anak mungkin bereaksi terhadap situasi yang mengancam. Kehadiran sosok keterikatan yang mendukung sangat penting dalam tahun-tahun perkembangan anak. [16] Selain dukungan, attunement (pemahaman yang akurat dan hubungan emosional) sangat penting dalam hubungan pengasuh-anak. Jika pengasuh tidak selaras dengan anak, anak mungkin merasa disalahpahami dan cemas. [17]
Bayi membentuk keterikatan dengan pengasuh yang konsisten yang sensitif dan responsif dalam interaksi sosial dengan mereka. Kualitas keterlibatan sosial lebih berpengaruh daripada jumlah waktu yang dihabiskan. Ibu kandung adalah sosok keterikatan utama yang biasa, tetapi peran tersebut dapat diemban oleh siapa saja yang secara konsisten berperilaku "menjadi ibu" selama periode waktu tertentu. Dalam teori keterikatan, ini berarti serangkaian perilaku yang melibatkan keterlibatan dalam interaksi sosial yang hidup dengan bayi dan merespons dengan mudah terhadap sinyal dan pendekatan. [18] Tidak ada dalam teori yang menunjukkan bahwa ayah tidak sama mungkin menjadi tokoh keterikatan utama jika mereka menyediakan sebagian besar pengasuhan anak dan interaksi sosial terkait. [19][20] Keterikatan yang aman pada ayah yang merupakan "sosok keterikatan sekunder" juga dapat melawan kemungkinan efek negatif dari keterikatan yang tidak memuaskan pada ibu yang merupakan sosok keterikatan utama. [21]
Beberapa bayi mengarahkan perilaku keterikatan (mencari kedekatan) ke lebih dari satu sosok keterikatan hampir segera setelah mereka mulai menunjukkan diskriminasi antara pengasuh; sebagian besar datang untuk melakukannya selama tahun kedua mereka. Sosok-sosok ini disusun secara hierarkis, dengan figur lampiran utama di bagian atas. [22] Tujuan yang ditetapkan dari sistem perilaku keterikatan adalah untuk mempertahankan ikatan dengan sosok keterikatan yang dapat diakses dan tersedia. [23] "Alarm" adalah istilah yang digunakan untuk aktivasi sistem perilaku keterikatan yang disebabkan oleh ketakutan akan bahaya. "Kecemasan" adalah antisipasi atau ketakutan terputus dari sosok keterikatan. Jika gambar tidak tersedia atau tidak responsif, gangguan pemisahan terjadi. [24] Pada bayi, perpisahan fisik dapat menyebabkan kecemasan dan kemarahan, diikuti oleh kesedihan dan keputusasaan. Pada usia tiga atau empat tahun, perpisahan fisik tidak lagi menjadi ancaman bagi ikatan anak dengan sosok keterikatan. Ancaman terhadap keamanan pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa muncul dari ketidakhadiran yang berkepanjangan, gangguan komunikasi, ketidaktersediaan emosional atau tanda-tanda penolakan atau pengabaian.
9. Teori perkembangan moral yang di kemukakan lawrence kohlberg.
    Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral.
[1] Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958
[2] yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
  Kohlberg menggunakan cerita tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik dengan cara orang-orang dalam menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila berada pada persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.
[8][9][10] Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih kuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya.
  Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg adalah teori yang membagi perkembangan moral manusia menjadi tiga level dan enam tahap. Tahap-tahap tersebut adalah prekonvensional, konvensional, dan postkonvensional.
  Teori ini menyatakan bahwa perbuatan moral bukan hasil dari sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan norma kebudayaan.
  Teori ini juga mengemukakan bahwa penalaran moral merupakan dasar dari perilaku yang etis dan mempunyai stadium perkembangan moral dengan tingkat atau level yang teridentifikasi. Namun, teori ini juga memiliki kelemahan, seperti kesulitan membuktikan korelasi yang konsisten antara perkembangan moral Kohlberg dan sikap moral seseorang, serta sulit menjelaskan tentang keunggulan moral karena teori ini lebih menekankan pada rasionalitas moral dan cenderung mengabaikan karakter dan fitur moral. Selain itu, definisi fase dan asumsi yang menjadi dasar teori ini dianggap memiliki bias budaya dan etnosentris.
Kelebihan teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg:
* Memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang perkembangan moral manusia.
* Menjelaskan bahwa perbuatan moral bukan hasil dari sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan norma kebudayaan.
* Menekankan pentingnya penalaran moral sebagai dasar dari perilaku yang etis.
* Memiliki tingkat atau level yang teridentifikasi dalam stadium perkembangan moral.
* Kesulitan membuktikan korelasi yang konsisten antara perkembangan moral Kohlberg dan sikap moral seseorang.
* Sulit menjelaskan tentang keunggulan moral karena teori ini lebih menekankan pada rasionalitas moral dan cenderung mengabaikan karakter dan fitur moral.
* Definisi fase dan asumsi yang menjadi dasar teori ini dianggap memiliki bias budaya dan etnosentris.
Tahapan perkembangan moral menurut teori Lawrence Kohlberg terdiri dari tiga level dan enam tahap, yaitu:
1. Level pra-konvensional:
* Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Seseorang menilai baik buruknya suatu perilaku berdasarkan rasa takut terhadap hukuman.
* Tahap 2: Orientasi kepuasan diri. Seseorang menilai baik buruknya suatu perilaku berdasarkan kepuasan diri yang diperoleh dari tindakan tersebut.
2. Level konvensional:
* Tahap 3: Orientasi hubungan antarpersonal. Seseorang menilai baik buruknya suatu perilaku berdasarkan norma sosial dan harapan orang lain.
* Tahap 4: Orientasi otoritas dan ketertiban. Seseorang menilai baik buruknya suatu perilaku berdasarkan hukum dan kewajiban moral.
3. Level pasca-konvensional:
* Tahap 5: Orientasi kontrak sosial. Seseorang menilai baik buruknya suatu perilaku berdasarkan prinsip-prinsip moral yang diakui secara universal.
* Tahap 6: Orientasi prinsip etika universal. Seseorang menilai baik buruknya suatu perilaku berdasarkan prinsip moral yang dianggap universal dan berlaku bagi semua orang.
  Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg mengemukakan bahwa tahapan-tahapan tersebut didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif dan penalaran moral merupakan dasar dari perilaku yang etis. Namun, teori ini memiliki kelemahan, seperti kesulitan membuktikan korelasi yang konsisten antara perkembangan moral Kohlberg dan sikap moral seseorang, serta sulit menjelaskan tentang keunggulan moral karena teori ini lebih menekankan pada rasionalitas moral dan cenderung mengabaikan karakter dan fitur moral.
1o. Peran lingkungan dan budaya dalam perkembangan sosial-emosional.
     Perkembangan sosial emosional merupakan aspek penting dalam pertumbuhan individu, terutama bagi anak-anak. Faktor lingkungan, yang mencakup keluarga, teman, sekolah, dan masyarakat, memainkan peran krusial dalam menerapkan pembelajaran sosial dan emosional. Berbagai ahli telah mengemukakan pandangan mereka mengenai bagaimana lingkungan membentuk perkembangan sosial emosional individu.Perkembangan sosial emosional anak merupakan aspek penting dalam tumbuh kembangnya, yang mencakup kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi, membangun hubungan dengan orang lain, serta melakukan interaksi sosial yang positif. Lingkungan, baik fisik maupun sosial, memiliki peran yang sangat signifikan dalam mempengaruhi perkembangan ini. Artikel ini akan membahas pengaruh lingkungan terhadap perkembangan sosial emosional anak dengan penekanan pada faktor-faktor yang berdampak besar.
1. Lingkungan Keluarga
   Lingkungan keluarga adalah pondasi pertama bagi perkembangan sosial emosional anak. Interaksi antara orang tua dan anak-inilah yang membentuk pola sikap dan perilaku anak di masa mendatang. Ketika anak mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan dukungan dari orang tua, mereka lebih cenderung merasa aman dan percaya diri. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan dalam keluarga yang hangat dan suportif cenderung memiliki kemampuan sosial yang lebih baik, serta kemampuan untuk mengontrol emosi mereka.Sebaliknya, lingkungan keluarga yang penuh konflik atau kekerasan dapat menghambat perkembangan sosial emosional. Anak-anak yang mengalami atau menyaksikan kekerasan dalam keluarga sering kali mengalami kesulitan dalam berinteraksi secara positif dengan orang lain. Mereka mungkin mengembangkan sikap defensif atau bahkan agresif dalam menghadapi situasi sosial, yang berdampak negatif pada hubungan mereka di luar rumah.
John Bowlby, yang terkenal dengan teorinya mengenai keterikatan, menjelaskan bahwa hubungan awal antara anak dan caregiver sangat mendasar bagi perkembangan emosional. Bowlby mengemukakan bahwa anak-anak yang mendapatkan kasih sayang yang konsisten dari orang tua mereka memiliki rasa aman yang lebih tinggi, sehingga mampu menjalin hubungan emosional yang sehat di masa mendatang.Lingkungan sosial yang positif, di mana anak merasa dicintai dan dijaga, dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kestabilan emosional. Sebaliknya, anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh stres atau pengabaian bisa mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan sosial yang sehat. 2. Lingkungan Sekolah dan teman sebaya
Setelah keluarga, sekolah menjadi lingkungan kedua yang sangat mempengaruhi perkembangan sosial emosional anak. Di sekolah, anak-anak belajar berinteraksi dengan teman sebaya dan guru. Interaksi ini penting untuk membangun keterampilan sosial, seperti empati, kerja sama, dan kemampuan berkomunikasi.Sekolah yang menerapkan pendekatan pendidikan yang inklusif dan mendukung pengembangan sosial emosional dapat memberikan dampak positif. Misalnya, program-program yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan sosial dan manajemen emosi dapat membantu anak-anak dalam memahami dan mengelola perasaan mereka. Hal ini, pada gilirannya, berkontribusi pada suasana belajar yang lebih baik dan meningkatkan kinerja akademis.Di sisi lain, lingkungan sekolah yang toksik, seperti adanya bullying, dapat mengakibatkan dampak negatif pada perkembangan sosial emosional. Anak- anak yang menjadi korban bullying sering kali mengalami penurunan kepercayaan diri kecemasan, dan depresi. Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk menciptakan budaya positif yang mendukung setiap individu.
 Menurut penelitian oleh Daniel Goleman, penulis buku tentang kecerdasan emosional, pengalaman anak di sekolah dapat memperkuat atau merusak perkembangan emosional mereka. Lingkungan sekolah yang inklusif dan pendukung dapat membantu anak belajar mengatur emosi, berinteraksi dengan teman sebaya, dan mengembangkan empati.Selain itu, hubungan yang dijalin dengan teman sebaya di sekolah berperan penting dalam perkembangan keterampilan sosial. Teman sebaya sering kali menjadi sumber dukungan emosional dan pembelajaran sosial yang efektif. Anak yang mampu menjalin hubungan positif dengan teman-temannya cenderung lebih mampu mengatasi tekanan sosial dan memiliki kesejahteraan emosional yang lebih tinggi.
3.Budaya dan Nilai Sosial.
Lingkungan sosial juga mencakup norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat. Teori sociocultural yang diajukan oleh Vygotsky menunjukkan bahwa interaksi sosial, praktik budaya, dan keterampilan emosional dipelajari melalui proses sosial. Misalnya, di lingkungan yang menghargai kolaborasi dan saling membantu, anak diharapkan untuk mengembangkan empati dan kemampuan untuk bekerja dalam kelompok.Budaya juga mempengaruhi cara individu mengungkapkan dan mengelola emosi. Dalam beberapa budaya, ekspresi emosi dianggap penting dan diperbolehkan, sementara dalam budaya lain, pengendalian emosi lebih ditekankan. Hal ini dapat mempengaruhi cara anak-anak belajar mengekspresikan perasaan mereka dan berinteraksi dengan orang lain. Menurut Cole & Tan (2007) Mereka menekankan bahwa budaya mempengaruhi ekspresi dan regulasi emosi. Anak-anak yang dibesarkan di budaya kolektivis (seperti di Asia) diajarkan untuk menekan emosi negatif dan menekankan harmoni sosial. Sementara itu, budaya individualis (seperti di Barat) lebih mendorong ekspresi emosi dan kemandirian.
4. Implikasi untuk Pendidikan dan Keluarga.
Berdasarkan pemahaman tentang bagaimana lingkungan mempengaruhi perkembangan sosial emosional, terdapat beberapa implikasi penting bagi pendidikan dan keluarga. Pertama, penting bagi orang tua untuk menciptakan lingkungan keluarga yang mendukung dan penuh kasih. Orang tua perlu memberikan bimbingan dalam pengelolaan emosi dan membantu anak-anak memahami perasaan mereka sendiri serta perasaan orang lain.Di pihak sekolah, pendidik diharapkan untuk menerapkan pendekatan pembelajaran yang mempertimbangkan aspek sosial emosional. Program- program yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan sosial, seperti program pembelajaran sosial dan emosional (SEL), dapat meningkatkan kemampuan anak untuk menjalin hubungan yang sehat dan produktif.
11. Gangguan dalam perkembangan sosial-emosional.
     Seorang anak hidup paling aktif di dalam masa perkembangannya. Kepribadian sedang dalam pembentukan dan di dalam stadium perkembangan banyak sekali terjadi perubahan atau modifikasi tingkah laku. Sebab itu kita perlu mengetahui ciri tingkah laku normal pada setiap stadium perkembangan anak dan membedakan setiap tingkah laku anak. Semua anak memiliki berbagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk memastikan perkembangan akan berlangsung baik. Anak-anak memang sangat tabah dan teguh. Dalam kebanyakan kasus, dibutuhkan tekanan atau pengorbanan ekstrem agar memberikan pemecahan yang signifikan dan berdampak lama. Namun, jika anak tidak diberikan kebutuhan dasar dalam kadar yang cukup, akibatnya mungkin terjadi kelambatan dalam perkembangan.
Seperti dalam hal penggunaan pendekatan perkembangan untuk melihat kelainan yang diderita oleh anak sebenarnya berlandaskan empat tema dasar atau prinsip, yaitu pertama kelainan muncul atau terjadi hanya pada individu yang mengalami perkembangan, prinsip yang kedua kelainan perkembangan atau psikapatologi harus dipandang dalam kaitannya dengan perkembangan yang normal, tugas-tugas perkembangan utama dan perubahan-perubahan yang muncul sepanjang rentang kehidupan, selanjutnya prinsip yang ketiga yaitu tanda-tanda awal dari perilaku berkelainan harus dipelajarisecara serius, dan yang terakhir prinsip yang keempat bahwa ada beragam patokan atau karakteristik perkembangan baik yang normal maupun berkelainan .
Dalam kenyataan sehari-hari yang kita hadapi, tidak semua anak mengalami perkembangan yang normal sesuai dengan usia dan rata-rata anak sebayanya. Ada anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus karena ia memiliki kebutuhan khusus dalam aspek perkembangan. Pada masa lalu anak yang mengalami gangguan dianggap mengganggu dan mendapatkan pendidikan tidak selayak anak yang normal. Bahkan ada anggapan bahwa anak-anak seperti itu tidak dapat dididik sehingga tidak perlu mendapatkan pendidikan. Sementara anak-anak yang normal, namun mengalami masalah pada satu atau beberapa aspek perkembangannya, dirasakan menjadi masalah bagi kelancaran pendidikan dan teman-teman sekelasnya.
Anak yang mengalami gangguan adalah anak yang memiliki kemampuan yang berada di luar rentang kemampuan anak sebayanya. Sehingga guru dan orang tua perlu mengintervensi atau menangani anak yang mengalami gangguan. Dalam pembahasan ini kelompok kami akan membahas tentang gangguan sosial emosi anak usia dini. Kita ketahui bahwa gangguan sosial emosi dapat terjadi pada setiap individu dari semua usia. Keadaan tersebut biasanya ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Kebanyakan masalah sosial emosional dianggap sebagai hasil faktor lingkungan, seperti penyiksaan terhadap anak, pengasuhan yang tidak konsisten, kondisi hidup yang penuh tekanan, lingkungan yang penuh dengan kekerasan,atau penggunaan alcohol dan kekerasan fisik yang terjadi dalam keluarga. Pada saat yang bersamaan, penyebab bilogis,seperti faktor keturunan, ketidakseimbangan zat-zat kimia dalam tubuh, kerusakan jaringan otak, dan penyakit yang diderita, juga berperan dalam masalah sosial emosi anak.
Perkembangan sosial dan emosi anak memainkan peranan penting dalam hidup seseorang. Tiap bentuk emosi pada dasarnya membuat hidup terasa lebih menyenangkan. Karena dengan emosi dan hubungan sosial anak akan merasakan getaran-getaran perasaan dalam dirinya maupun orang lain. Bulan-bulan serta tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan masa yang penting dan rawan dalam perkembangan sosial emosi anak. Bila orang tua kurang menyadari pentingnya arti kualitas hubungan serta sikap penuh kasih saying pada masa ini, maka anak bisa mengalami berbagai masalah dan gangguan sosial emosional yang serius dikemudian hari. Tapi sebaliknya bila kebutuhan sosial emosinya terpenuhi secara seimbang dalam awal kehidupan, dikemudian hari ia pun akan berkembang menjadi individu yang bahagia dan diharapkan mampu mewujudkan potensi-potensinya secara optimal.Â
Gangguan sosial, emosional, dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu yang fokus di dalam diri anak. Suatu harapan dan cita-cita dari para orang tua, guru, maupun masyarakat pada umumnya untuk memiliki anak-anak yang sehat jasmani dan rohani. Betapa tenang dan tentramnya hati bila melihat anak-anak bermain dengan riang gembira, pandai,tekun dalam belajar dan bekerja, bebas dan lincah dalam mengutarakan buah pikiran dan kreativitasnya.
Harapan ini tentu menyangkut pertumbuhan dan perkembangan yang paling optimal dari segi fisik, emosi, mental dan sosial setiap anak. Tetapi suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah danya sejumlah anak yang memperlihatkan perilaku sumbang, bertingkah laku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku, baik norma budaya, norma umur,norma kecakapan/keterampilan maupun norma sosial yang berlaku dalam lingkungan di mana anak berada. Tingkah laku mereka mengalami gangguan dan kelainan, yang biasanya lebih dirasakan oleh lingkungan daripada oleh anak sendiri .
Perkembangan emosi memainkan peran yang sedemikian penting dalam kehidupan, maka penting diketahui bagaimana perkembangan dan pengaruh emosi terhadap penyesuaian pribadi dan sosial. Sukar mempelajari emosi anak-anak karena informasi tentang aspek emosi yang subyektif hanya dapat diperoleh dengan cara introspeksi sedangkan anak-anak tidak dapat menggunakan cara tersebut dengan baik karena mereka masih berusia sedemikian muda. Bahkan sulit mempelajari reaksi emosi melalui pengamatan terhadap ekspresi yang jelas tampak, terutama ekspresi wajah dan tindakan yang berkaitan dengan emosi,karena anak-anak suka menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial . Untuk mengetahuai apa itu gangguan perkembangan sosial emosional anak yang perlu kita ketahui terlebih dahulu yaitu pengertian gangguan. Gangguan adalah suatu kondisi yang menyebabkan ketidaknormalan pada individu yang memiliki masalah dalam menguasai keterampilan dan menunjukan kekurangan dalam berhubungan dengan orang lain . Selanjutnya perkembangan sosial emosi anak usia dini yaitu perkembangan yang berkaitan dengan emosi,kepribadian, dan hubungan interpersonal. Selama tahun kanak-kanak awal, perkembangan sosial emosi berkisar tentang sosialisas, yaitu proses ketika anak mempelajari nilai-nilai dan perilaku yang diterima dari masyarakat . Pada usia tersebut , terdapat tiga tujuan dalam perkembangan sosial emosional anak, yaitu:
1. Mencapai sense of self atau pemahaman diri serta berhubungan dengan orang lain
2. Bertanggung jawab terhadap diri sendiri meliputi kemampuan untuk mengikuti aturan dan rutinitas, menghargai orang lain, dan mengambil inisiatif
3. Menampilkan perilaku sosial , seperti empati, berbagi,dan menunggu giliran.
Gangguan sosial emosi dapat terjadi pada setiap individu dari semua usia. Keadaan tersebut biasanya ditandai dengan cirri-ciri tertentu, khususnya yang berhubungan dengan kondisi emosi. Sepanjang kehidupan, kondisi emosi kita memang tidak tetap, kadang naik atau turun. Tetapi, pada orang-orang tertentu, mereka lebih banyak mengalami kondisi emosi negatif. Kondisi ini akan mempengaruhi kualitas hidup dan kemampuan mereka mengatasi persoalan sehari-hari serta tugas perkembangan yang mereka jalani.
Kebanyakan masalah sosial dan emosi dianggap sebagai hasil faktor lingkungan,seperti penyiksaan terhadap anak, pengasuhan yang tidak konsisten, kondisi hidup yang penuh tekanan, lingkungan yang penuh dengan kekerasan,atau penggunaan alcohol dan kekerasan fisik yang terjadi dalam keluarga. Pada saat yang bersamaan, penyebab biologis, seperti faktor keturunan, ketidakseimbangan zat-zat kimia dalam tubuh, kerusakan jaringan otak, dan penyakit yang diserita juga berperan dalam masalah perkembangan sosial dan emosi ( Cicchetti & Toth dalam Rini Hildayani) .
Menurut Undang-Undang bagi Pendidikan Individu Penyandang cacat (IDEA) bahwa gangguan sosial emosi yaitu ketidak mampuan atau mengatur hubungan interpersonal yang memuaskan dengan teman sebaya dan guru .
Rolf, edelbrock dan Strauss menemukan bahwa anak-anak dengan masalah perkembangan sosial emosi cenderung memiliki hambatan yang besar dalam pertemanan, penyesuaian sosial, tingkah laku dan dan akademis apabila dibandingkan dengan kelompok anak yang normal. Anak-anak dengan gangguan ini dianggap beresiko terhadap sifat tersisih secara sosial, terisolasi penarikan diri, pemalu dan kesepian .
Dari penjelasan mengenai gangguan, perkembangan sosial emosi secara umum maka disintesiskan gangguan perkembangan sosial emosi anak usia dini yaitu ketidaknormalan yang menghambat perkembangan anak usia dini kaitannya dalam mengelola emosi, kepribadian, dan hubungan interpersonal anak dengan orang lain.
Emosi merupakan sesuatu yang muncul setiap hari, bahkan setiap saat dalam kehidupan kita. Emosi merupakan suatu pola yang kompleks dari perubahan yang terdiri dari reaksi fisiologis, perasaan-perasaan yang subyektif, proses kognitif, dan reaksi perilaku, yang semuanya itu merupakan respon atas situasi yang kita terima (Duffy, 2002) Kita mengenal beberapa emosi dasar, yaitu kegembiraan, kesedihan, ketakutan, kemarahan. . Selain itu kita juga mengenal adanya emosi positif, seperti kegembiraan, dan emosi negatif, seperti kemarahan dan kesedihan. Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir. Gejala pertama perilaku emosional ialah keterangsangan umum terhadap stimulasi yang kuat.
a. Pola emosi Positif
Pola emosi positif adalah yang berasal dari suatu kondisi yang menguntungkan Frederickson, Mayne dan Bonnano mencatat bahwa banyak emosi positif dengan mudah diidentifikasi dalam kecenderungan aksi. Emosi positif secara sederhana diidentifikasi sebagai sesuatu yang baik atau diiginkan. Emosi positif terdiri dari perhatian atau minat, surprise atau kekaguman, dan kegembiraan .
b. Pola emosi Negatif
Sedangkan pola emosi negatif menurut Lazarus (1991) berasal dari hubungan yang mengancam atau kondisi yang menyakitkan. Reaksi emosi negative terdiri dari marah, kecemasan, rasa malu, kesedihan, cemburu, merasa takut, dan cemburu.
12. Program peer auport, bimbingan konseling, dan layanan psikososial.    Â
   Kondisi darurat kekerasan di kalangan remaja dewasa ini sangat memprihatinkan. Menurut data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), terdapat 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang tahun 2023. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tetapi tetap saja, kekerasan terhadap perempuan, termasuk remaja, tetap menjadi isu serius yang perlu mendapat perhatian lebih. Diperkuat pula dari data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa kekerasan adalah salah satu penyebab utama kematian di kalangan remaja usia 15 hingga 29 tahun, dengan sekitar 176.000 kematian setiap tahun akibat kekerasan.
Data ini menyoroti betapa parahnya masalah kekerasan yang dihadapi oleh remaja di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pengaruh media sosial dan platform digital yang semakin meningkat turut memperburuk keadaan, di mana remaja menjadi lebih rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, termasuk bullying dan kekerasan seksual online.
Banyak remaja yang belum memiliki pemahaman yang cukup tentang hak-hak mereka, bagaimana mengenali dan melaporkan kekerasan yang mereka alami. Hal ini membuat mereka rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, baik itu kekerasan fisik, verbal, emosional, maupun seksual. Hal ini diperparah oleh stigma sosial yang sering melekat, butuh keberanian untuk speak up sebagai korban kekerasan, terlebih kekerasan seksual. Oleh karenanya kasus kekerasan seksual dipandang sebagai kejahatan kemanusiaan extraordinary. Faktor kerentanan ini harus dijembatani dengan dukungan sosial, namun dewasa ini banyak remaja yang seringkali merasa terasing dan tidak memiliki dukungan psikologis yang memadai saat menghadapi masalah.
Peran Peer Support
Peer Support dapat memberikan kontribusi dalam menurunkan angka kekerasan dan meningkatkan Kesehatan mental siswa. Bimbingan konseling berbasis peer support didasari oleh teori social learning Albert Bandura (Bandura, 1977) yang menyatakan bahwa siswa cenderung meniru perilaku yang mereka lihat pada teman sebaya. Dalam konteks ini, siswa perlu dilatih untuk menjadi pendukung bagi teman-temannya sehingga dapat mendorong sikap positif untuk mengurangi dampak psikologis dari perilaku kekerasan.
Penelitian oleh Smith dan Watson (2018) menunjukkan bahwa sekolah yang mengadopsi program peer support mengalami penurunan insiden kekerasan sebesar 25% dalam dua tahun setelah penerapan program tersebut. Data ini mengindikasikan bahwa dukungan sebaya efektif dalam membentuk lingkungan sekolah yang lebih aman. Demikian juga O'Neil (2019) menyatakan bahwa integrasi peer support dalam sistem konseling dapat berpengaruh dalam peningkatan pemahaman dan kesadaran siswa tentang kekerasan dan pentingnya kesehatan mental.
Program ini juga dinilai meningkatkan rasa kepemilikan terhadap gerakan anti-kekerasan, dengan lebih dari 70% siswa merasa termotivasi untuk speak up terhadap kasus kekerasan dan mendukung teman yang mengalami kesulitan. Kajian oleh Durlak et al. (2011), memperkuat bahwa siswa yang terlibat dalam program peer support tidak hanya lebih resilien terhadap kekerasan, tetapi juga memiliki tingkat kecemasan dan depresi yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang tidak terlibat dalam program ini. Meta-analisis ini menemukan bahwa peningkatan self-efficacy melalui dukungan sebaya dapat mengurangi tingkat stres akibat perundungan dan kekerasan di sekolah.
Program ini membantu siswa mengembangkan keterampilan emosional, seperti pengelolaan emosi dan keterampilan komunikasi, yang relevan dalam menangani konflik. Disinilah faktor pengaruh program peer support berdampak pada peningkatan kesehatan mental siswa.
Tentunya keberhasilan program peer support ini tidak bisa terlepas dari dukungan yang konsisten dan kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk tenaga pendidik, konselor, orang tua, siswa dan lingkungan sekitar. Keterlibatan aktif semua pihak tersebut dapat membantu menciptakan atmosfer yang mendukung bagi remaja untuk saling berbagi dan memberikan dukungan yang positif.
Studi dari Karcher (2009) menunjukkan bahwa efektivitas program ini juga bergantung pada pelatihan yang memadai bagi siswa pendukung, supervisi dari konselor profesional, dan dukungan administratif. Inovasi bimbingan konseling berbasis peer support, menawarkan solusi efektif dalam upaya menciptakan lingkungan sekolah yang bebas kekerasan.
Program ini tidak hanya membantu mencegah kekerasan, tetapi juga berkontribusi pada kesehatan mental siswa secara keseluruhan. Sebagai agen perubahan, siswa memiliki peran penting dalam membangun komunitas sekolah yang aman dan saling mendukung, sekaligus memperkuat gerakan anti-kekerasan di lingkungan sekolah. Saatnya bergerak dan berpihak, katakan STOP pada kekerasan.
13. Isus isu sosial-emosional di sekolah dasar, seperti bullinying masalah disiplin, atau interaksi sosial di kelas.
    Penelitian ini dilatarbelakangi banyaknya dampak bullying terhadap perilaku social emosional siswa di SD Negeri 013 Ujungbatu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak bullying terhadap perilaku sosial emosional siswa di SD Negeri 013 Ujungbatu. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus kualitatif. Pendekatan studi kasus ini adalah untuk memberi peneliti kesempatan dalam  memahami berbagai hal yang terjadi pada kasus. Hasil penelitian adalah perilaku bullying yang terjadi yaitu bullying verbal seperti tindakan mengejek yang berdampak pada rasa kepercayaan diri anak, rasa percaya, dan rasa simpati, tindakan memfitnah yang berdampak pada rasa kepercayaan diri anak, rasa percaya dan rasa simpati, dan bullying non verbal seperti menunjukkan sikap yang janggal, tindakan mengancam, yang berdampak terhadap perilaku social emoional siswa yaitu berrkurangnya rasa kepercayaan diri korban, berkurangnya rasa percaya korban terhadap pelaku dan berkurangnya rasa simpati korban terhadap pelaku, marah, sedih dan malu. Simpulan dari penelitian yakni dampak bullying terhadap perilaku sosial emosional siswa akan berdampak pada rasa kepercayaan diri anak, rasa percaya anak, rasa simpati anak, rasa takut, marah sedih dan malu.Â
14. Sel ( social-emotional learning ) dan CASES ( collaborative academic social-emotional learning ).
   Stres akademik merupakan kondisi umum yang terjadi saat seseorang mengalami tekanan yang bersumber dari kegiatan akademik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Liu, dkk [17] mengungkapkan bahwa penyebab seseorang mengalami stres akademik adalah ujian, minimnya prestasi, prokratinasi, pekerjaan rumah, sistem pembelajaran yang kurang mendukung serta motivasi dalam internal siswa. Selain itu, menurut Alvin [1] stres akademik juga disebabkan oleh pola pikir, kepribadian, jam pelajaran yang padat dan tugas yang banyak serta keterampilan belajar. Biasanya stres akademik sering terjadi pada momen-momen tertentu, seperti halnya mendekati tengah semester ataupun ujian akhir. Akan tetapi, sistem daring yang saat ini tengah dilakukan akibat pandemi COVID-19 menjadikan siswa rentan terkena stres akademik. Hal ini sesuai dengan hasil survey yang dilakukan oleh KPAI pada 20 provinsi dan 54 kabupaten menunjukkan bahwa 79,9% anak mengalami stres diakibatkan pembelajaran sistem daring [13]. Sistem pembelajaran dengan metode daring yang saat ini dilakukan mengakibatkan terjadinya peningkatan beban pembelajaran yang memicu stres akademik pada siswa [25]. Lebih jauh, Pujiastuti [25] pun menyatakan bahwa pembelajaran jarak jauh atau daring membuat peserta didik menjadi bosan yang dikarenakan tidak bisanya peserta didik beriteraksi langsung dengan guru dan teman-temannya. Pernyataan tersebut selaras dengan temuan Agus [9] bahwa pembelajaran jarak jauh yang dilakukan membuat siswa perlu waktu untuk beradaptasi dan hal tersebut berimbas pada kemampuan murid menyerap pelajaran, hal tersebut dikarenakan siswa sudah terbiasa melakukan pembelajaran tatap muka yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan teman dan gurunya. Padahal interaksi yang sering dilakukan oleh siswa bersama dengan teman dan gurunya akan dapat meningkatkan capaian prestasi akademik siswa (Gehlbach, Brinkworth, Hsu, King, Mclntyre & Rogers, 2016). Seperti yang dipaparkan di atas, bahwa kegiatan belajar dan mengajar yang dilakukan secara daring atau jarak jauh meningkatkan kerentanan stres akademik yang dialami oleh siswa. Stres akademik yang tidak segara ditangani akan berdampak pada kinerja siswa dan berpengaruh negatif secara langsung pada keberhasilan pendidikan siswa juga pada bagaimana kondisi emosional siswa [8]. Lebih jauh, Dhia [10] mengatakan bahwa stres akademik yang terjadi di masa pandemik ini juga didorong karena ketidakmampuan siswa dalam mengolah emosinya yang disebabkan oleh keharusan untuk menjaga jarak, mengurangi aktivitas di luar rumah yang akhirnya membuat siswa cepat bosan dan berdampak pada kondisi emosional mereka yang rentan cemas, gelisah, dan mudah marah. Oleh karena itu, penting adanya strategi guna menurunkan tingkat stres akademik yang terjadi pada siswa saat ini. Dhia [10] mengatakan bahwa salah satu metode pembelajaran yang tepat dan dapat digunakan dalam situasi seperti ini adalah Social Emotional Learning (SEL), ini dikarenakan metode SEL membantu siswa untuk meningkatkan motivasi dan resiliensinya dalam melakukan pengelolaan emosi. Penyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Helaludin dan Alamsyah [12] bahwa Social Emotional Learning atau SEL adalah proses kegiatan belajar-mengajar yang secara sengaja melibatkan anak-anak dan orang dewasa secara bersamaan agar saling memahami baik dari segi emosi, tujuan serta dapat membangun empati dan menjalin hubungan yang positif serta bertanggung jawab. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Khilmiyah (2013) yang menunjukkan bahwa penggunaan metode SEL dalam pembelajaarn Pendidikan Agama Islam dapat menumbuhkan kecerdasan emosional dan sosial pada anak jika dilakukan secara holistik. Selain itu, penelitian terdahlu yang dilakukan oleh Greenberg, dkk [11] menunjukkan bahwa siswa dengan kompetensi sosial dan emosional yang baik dapat hidup lebih sehat dan memiliki performa yang lebih unggul dibandingkan dengan yang tidak. Oleh sebab itu, penting untuk mengoptimalkan komponen-komponen dalam SEL guna meminimalisir terjadinya stres akademik siswa. Lebih jauh, penulisan ini bertujuan untuk memberikan solusi tentang bagaimana SEL berperan dalam mengurangi stres akademik memalui pengaplikasian komponen komponennya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI