d. Ibnu Al QayyimÂ
menyatakan bahwa ada kelompok muslim yang berlebihan dalam menjaga Maslahah Mursalah, sehingga mereka membuat syariat menjadi terlalu terbatas dan tidak mampu memenuhi kemaslahatan manusia. Ada yang bahkan melampaui batas, memperbolehkan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Allah dan menyebabkan kejahatan dan kerusakan yang luas.
C.Pertimbangan dalam poligami:
   Pada dasarnya, dalam Islam, poligami diperbolehkan dengan syarat adil terhadap istri dan anak-anaknya. Namun, Islam menyadari bahwa poligami memiliki risiko karena manusia secara alami cenderung cemburu, yang dapat menyebabkan konflik dalam keluarga.
  Islam memperlakukan kebolehan berpoligami dalam Al-Qur'an sebagai sebuah akibat, bukan sebagai inti ajaran. Islam tidak membuka pintu poligami secara luas, melainkan mempertimbangkan keadaan tertentu, dan tidak menutup pintu itu sepenuhnya, meninggalkan ruang bagi keadaan tertentu untuk menerapkannya.
  Ayat yang paling populer membicarakan poligami adalah Q.S An-Nisa' ayat 3. Menurut Quraish Shihab, penafsiran yang terbaik tentang ayat 3 dari surat an-Nisa' adalah bahwa itu berdasarkan penjelasan dari istri Nabi Muhammad, 'Aisyah ra. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan yang lainnya mencatat bahwa Urwah Ibn Zubair bertanya kepada 'Aisyah ra tentang ayat tersebut.
   'Aisyah ra menjelaskan bahwa ayat tersebut mengenai anak yatim yang diasuh oleh seorang wali, di mana harta mereka digabungkan dengan harta wali, dan wali tersebut tertarik pada kecantikan dan harta anak yatim tersebut sehingga ingin menikahinya tanpa memberikan mahar yang wajar. 'Aisyah ra menjelaskan bahwa setelah turunnya ayat tersebut, para sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad tentang perempuan, dan kemudian turunlah ayat 127 dari surat an-Nisa'.
  'Aisyah ra melanjutkan dengan menjelaskan bahwa ayat tersebut menyatakan bahwa para wali enggan menikahi anak yatim yang memiliki sedikit harta dan cantik. Maka dalam ayat 3 dari surat an-Nisa', mereka dilarang menikahi anak yatim yang mereka inginkan karena harta dan kecantikannya, tetapi mereka tidak mau bersikap adil terhadap mereka.
  Sebagai negara hukum, Indonesia mengatur masalah poligami melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam. Peraturan-peraturan ini digunakan oleh hakim sebagai acuan dalam mengambil keputusan terkait kasus-kasus yang melibatkan poligami.
BAB III
MUHAMMAD QURAISH SHIHAB DAN PEMIKIRANNYA
TENTANG POLIGAMI
A.Biografi Quraish Shihab
   Quraish Shihab memulai pendidikan formalnya di sekolah dasar di Ujung Pandang, kemudian melanjutkan ke pondok pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah di Malang. Pada jenjang pendidikan menengah atas, ayahnya mengirimnya ke Mesir, di mana ia melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadis, dan menyelesaikannya pada tahun 1967. Ia memperoleh gelar M.A. dengan jurusan yang sama pada tahun 1969 dengan tesis berjudul "al-I'jaz al-Tashri'i al-Qur'an al-Karim".